Sebelumnya tidak pernah terpikir mengunjungi pulau ini. Namun pada akhirnya, 4 Juli 2017, penulis menginjakkan kaki di kabupaten yang berbatasan dengan Timor Leste ini. Selamat datang di “Pulau 1000 Moko”, inilah Alor!
Kabupaten Alor masih berada dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 20 pulau. Sembilan pulau telah dihuni penduduk, yakni Pulau Alor, Pulau Pantar, Pulau Pura, Pulau Tereweng, Ternate, Kepa, Pulau Buaya, Pulau Kangge dan Pulau Kura. Sedangkan 11 pulau lainnya tidak berpenghuni.
Pulau ini memiliki banyak tempat wisata alam. Keindahan pantai, biota lautnya, serta spot terbaik untuk diving menjadi incaran wisatawan yang menyukai wisata bawah laut. Selain alam, Alor juga kaya akan budaya dan nilai sejarah. Seperti Kampung Adat Takpala, masjid pertama dan Al-Quran tertua, serta masih banyak lagi.
Ada satu hal yang menarik bagi saya, ialah Moko. Anda seorang pria ingin meminang putri Alor? Benda ini wajib Anda bawa, hehe.
Moko adalah gendang yang terbuat dari perunggu dan memiliki motif yang bervariasi. Uniknya, Moko bukan diproduksi baru, melainkan merupakan pusaka budaya, warisan nenek moyang.
Menurut para ahli arkeologi dan sejarah, teknik pembuatan Moko ini berasal dari Dongson, Vietnam bagian utara. Kemudian menyebar di berbagai wilayah di Asia Tenggara, dan salah satu tempat yang paling banyak ditemukan Moko adalah di Pulau Alor. Itulah kenapa pulau indah ini dijuluki sebagai “Pulau Seribu Moko”.
Mila, putri asli Alor yang menemani saya, menjelaskan, Moko merupakan barang peninggalan sejarah yang memiliki nilai jual tinggi. Pada zaman dulu, Moko sempat dijadikan barang yang ditukar dengan barang tertentu secara barter.
“Namun seiring dengan perkembangan zaman, Moko memiliki peran penting bagi kehidupan sosial masyarakat. Salah satunya adalah untuk peralatan belis serta sebagai simbol status sosial masyarakat Alor,” ujar Mila Niz.
Di beberapa pulau di NTT, mas kawin atau mahar dari pihak lelaki yang diberikan ke pihak perempuan, disebut belis. Masyarakat menggunakan Moko sebagai alat yang dipertukarkan dalam pelaksanaan belis.
Seorang putra asli Alor, Devis Karmoy mengatakan, dalam pernikahan adat, Moko adalah benda wajib ada untuk diberikan. “Kehadiran benda ini dalam pernikahan adalah identitas diri masyarakat Alor yang sudah membudaya secara turun temurun,” katanya.
Di setiap suku, lanjutnya, nilai Moko bisa berbeda-beda. Di satu suku bisa berharga rendah, sementara di suku lain bisa bernilai sangat tinggi.
“Misalnya di Suku Pantar mengenal dan memberi nama Moko terbesar mereka dengan sebutan Moko Pung, harganya bisa mencapai belasan bahkan puluhan juta. Sementara di Pulau Alor atau sering disebut gunung besar, Moko Pung bernilai rendah,” terang Devis. (*)