Gaya arsitektur ini terbilang sangat laku di Indonesia antara akhir tahun 1950an hingga awal 1960an. Gaya arsitektur ini merupakan gambaran terhadap suatu kebebasan dan pemberontakan terhadap pakem atau standard gaya arsitektur tradisional dan kolonial yang terlihat kaku dan kurang plastis atau fleksibel dengan gaya hidup masyarakat Indonesia yang sudah mulai modern saat itu.
Gaya arsitektur jengki merupakan gambaran pengaruh gaya arsitektur Amerika modern terhadap gaya aristektur Indonesia setelah ratusan tahun terpengaruh oleh gaya arsitektur kolonial Belanda. Gaya arsitektur ini dapat dianggap sebagai interpretasi gaya arsitektur tropis dari gaya rumah-rumah kaum urban modern Amerika pasca perang. Johan Silas, seorang arsitek Indonesia, berspekulasi bahwa gaya arsitektur ini sebenarnya adalah wujud ekspresi dari semangat kebebasan masyarakat Indonesia, yang dituangkan dalam sebuah karya arsitektur yang berbeda dari apa yang disukai oleh orang Belanda pada era kolonial.
Gaya arsitektur jengki tumbuh dan berkembang seiring dengan mulai dibangunnya kota satelit baru di daerah Kebayoran Baru. Pembangunan kota satelit di daerah ini selesai pada tahun 1955. Rumah-rumah yang dibangun untuk karyawan perusahaan minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) ini dikenal dengan karakternya yang berani dengan sudut-sudut yang sangat ekstrim di jamannya.
Rumah-rumah kelas menengah di Kebayoran Baru didesain dengan gaya kotak atau persegi panjang, tetapi lantai pertamanya dikedepankan untuk menutupi fasad lantai dibawahnya dari terpaan sinar matahari. Terdapat teras untuk rumah karyawan yang tingkatnya lebih rendah. Rumah-rumah bergaya arsitektur seperti ini juga mulai dibangun di kota-kota tempat operasi BPM lainnya seperti di Balikpapan.
Gaya arsitektur ini terus berkembang pada pertengahan tahun 1950an. Selain penggunaan warna yang berani dan atraktif, karakteristik gaya bangunan yang paling menonjol adalah adanya penggunaan sudut-sudut yang liar dan atap miring yang tidak sewajarnya. Jengki sendiri sebenarnya berarti miring. Gaya aliran ini mudah dilihat dari ciri utamanya yaitu adanya bidang miring baik pada dinding, tiang, kusen maupun atapnya. Gaya arsitektur ini juga dipengaruhi oleh gaya mid-century modern yang sedang populer di Amerika pada saat itu. Gaya arsitektur ini kemudian dikenal dengan Yankee type atau gaya jengki karena memiliki pengaruh gaya Amerika yang sangat kental.
Gaya Jengki bukan saja terdapat pada bangunan tetapi kemudian merambah ke perabotan rumah semisal lemari, kursi, meja dan lainnya tentu dengan ciri utama ada bidang miring baik pada kaki meja atau sandaran dan arm chair. Style ini juga mempengaruhi trend sepeda pada saat itu yang dikenal dengan nama sepeda jengki yang memiliki top tube yang miring.
Gaya arsitektur Jengki atau Yankee adalah interpretasi dari gaya arsitektur tropis dengan gaya Googie mid-century di Amerika. Bangunan gaya arsitektur Jengki di Indonesia ini kebanyakan dibangun oleh perusahaan konstruksi dengan arsitek para mahasiswa alumni departemen arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB).
Departemen arsitektur di ITB dibuka pada tahun 1951. Awalnya departemen ini dibuka dengan dosen-dosen dari Belanda, akan tetapi mereka harus pergi dari Indonesia di pertengahan tahun 1950an karena adanya repatriasi ke Belanda dari Indonesia yang pada waktu itu baru merdeka. Departemen ini kemudian sempat diajar oleh dosen-dosen dari Jerman, akan tetapi pada akhir tahun 1950an departemen ini diambil alih oleh dosen-dosen dari Amerika atau dosen Indonesia yang merupakan lulusan dari kampus-kampus di Amerika. Gaya rancangan para dosen dari Amerika ini kemudian mempengaruhi pola desain para mahasiswa alumni departemen arsitektur ITB. Arsitek alumni departemen arsitektur ITB yang terkenal pada saat itu adalah Djelantik, Harjono Sigit, Johan Silas dan Harry Winarno Kwari.
Pada dasarnya, gaya arsitektur Jengki adalah gaya arsitektur yang menolak bentuk-bentuk geometris kubik yang lazim digunakan orang Belanda sebelum Perang Dunia II. Ada banyak bentuk-bentuk aneh yang digunakan dalam gaya arsitektur jengki ini, seperti adanya bentuk pentagon dan munculnya sudut-sudut berani yang tajam.
Dalam gaya arsitektur jengki ini terdapat sebuah semangat keberanian dan kebebasan dalam penggunaan atap-atap dan fasad yang asimetris, pintu-pintu dan jendela yang unik serta atap dan talang air yang bersudut aneh. Gaya arsitektur ini dapat diasosiasikan sebagai sebuah jiwa politik kebebasan yang sedang muncul pada diri orang-orang Indonesia pada saat itu. Frances Affandi, direktur eksekutif Bandung Heritage Society, menyatakan bahwa gaya ini “… menarik, tetapi kurang diriset, kurang didokumentasikan, dan kurang dihargai.”