Menilik Perjuangan Siti Hajar Istri Nabi Ibrahim, Tonggak Sejarah Ibadah Haji

Perjuangan Siti Hajar, Menjadi Tonggak Sejarah Ibadah Haji yang di Napak Tilas Kaum Muslimin Setiap Tahun Sedunia.

Mungkin seandainya, tidak ada kisah sedih yang sangat memilukan,  dari perjuangan Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim,  ditinggal suaminya, Ibrahim, bersama anak semata wayang,  di sebuah lembah kering kerontang, dan tak berpenghuni, kala itu bernama Bakkah, tidak ada prosesi pelaksanaan ibadah Haji di tanah suci Mekah dan Madinah.

Pelaksanaan ibadah Haji bagi kaum Muslimin di tanah suci Mekah yang disebut sebagai Makkatul Mukarramah dan Madinah yang disebut Madinatul Munawwarah, menjadi tempat pengukuhan, penyempurnaan keimanan kaum Muslimin bagi yang mendapat  ‘’paggilan’’ Allah, dengan menyandang gelar Haji/Hajjah. Dan tempatnya menjalani prosesi gelar yang sangat sarkral tersebut, khususnya bagi kaum muslimin.

Prosesi yang puncak mengukuhannya, di padang yang sangat luas, bernama padang Arafah, sejauh mata memandang, tidak kelihatan ujungnya yang ada kehidupan manusa di bumi. Konon disitulah nantinya Padang Masyhar, tempat dihisapnya, seluruh ummat, untuk ditimbang amalnya, yang mana yang layak masuk syurga dan yang mana harus dijebloskan ke neraka.

Ibaratnya napak tilas kaum muslimin yang memiliki kelonggaran ekonomi, datang dari seluruh penjuru dunia setiap tahun, menjalani prosesi perjuangan Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim bersama anaknya Ismail yang juga kemudian Allah ‘’mengangkatnya’’ sebagai Nabi..

Dari  buku Mekah dan Madinah yang pernah saya baca, ada tiga golongan yang sudah dijamin masuk surga, Haji, jemaah yang pernah menjalani Umroh, dan Pejuang. Tak heran, bila animo ummat Islam untuk beribadah Haji ke Tanah Suci Mekah, sangat tinggi. Juga menyaksikan indahnya ‘’Rumah Allah’’ pertama dan ketiga di bumi, Masjidil Haram dan Mesjid Nabawi di Madinah.

Namun sangatlah tidak mudah menjangkaunya. Harus rela mengantri bertahun – tahun. Bahkan saat ini, kapasitas antrian sudah mencapai puluhan tahun.

Baca Juga:  Renungan Harian Kristen, Jumat, 29 November 2024: Supremasi (Keutamaan) Yesus Kristus
Tempat pemotongan hewan Qurban di Mekah.
Tempat pemotongan hewan Qurban di Mekah. [FOTO/IST]

Perjuangan Siti Hajar

Berawal dari ditinggalkannya Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim bersama putra tercintanya Ismail, oleh Ibrahim, di padang luas tak berpenghuni, yang namanya lembah Bakkah. Bakkah kemudian berubah menjadi Mekah. Hajar ditinggal bersama Ismail di termpat tersebut, dan Ibrahim pulang ke kampungnya Palestina. Hajar waktu itu dinikahi Ibrahim, lantaran isterinya Sarah, belum juga mendapatkan  ‘’buah kasih sayang’’.

Ibrahim pun menikahi Hajar, pembantunya, atas permintaan Sarah. Beruntung, Ibrahim setelah menikahi Hajar, mendapatkan ‘’buah kasih sayang’’. Lahirlah Ismail. Mungkin akibat kecemburuan Sarah, Ibrahim pun membawa Siti Hajar ke Lembah Bakkah, dan meninggalkannya disitu sendirian di lembah yang kering kerontang dan tak berpenghuni.

- Iklan -

Peristiwa tersebut, bukan karena ketegaan Nabi Ibrahim, sehingga meninggalkan isteri dan anaknya. Mungkin ada sebuah hikmah yang Allah ingin wujudkan, dari sebuah kisah sedih dan memilukan. Dan terbukti, setiap tahun menjadi moment kegembiraan dan kebahagian, bagi kaum muslim, yang beruntung menginjakkan kaki ke Tanah Suci Mekah dan Madinah, menunaikan Ibadah Haji,

Setelah membelakangi Hajar bersama anaknya, air mata Ibrahim mengucur. Hingga Hajar mengejarnya, dan Ibrahim tidak  berpaling, mungkin karena tidak ingin kelihatan cucuran air matanya, isterinya Hajar. ‘’Wahai suamiku, mengapa engkau tega meninggalkan kami disini. Bagaimana bisa kami bertahan hidup? Teriak Hajar.

Namun Ibrahim tidak menghentikan langkahnya, dan tak sedikitpun dia menoleh. Meski hatinya pun remuk, membiarkan isterinya ditinggal. Apalagi tanpa bekal. Dia terus melangkah dan melangkah. Hajar terus mengejar, sambil menggendong anaknya, Ismail. ‘’Wahai suamiku, ayahanda Ismail, apakah ini perintah Tuhanmu? Hajar teriak lagi, dengan jeritan yang seolah menembus langit.

Teriakan Hajar tersebut, sempat menghentikan langkah Ibrahim. Namun tidak menyurutkan tekadnya, untuk kembali menemui Hajar. Dia tetap meneruskan langkahnya. Dengan jeritan Hajar tersebut, dia menjawab : IYA, INI PERINTAH TUHANKU. Lalu terus melangkah dan Hajar pun berhenti mengejarnya. Hajar hanya bisa berujar : ‘’Jikalau ini perintah Tuhanmu, pergilah wahai suamiku. Tinggalkan kami disini. Jangan khawarir, Allah akan menjaga kami’’.

Baca Juga:  Umar bin Khattab, Khalifah Setelah Abu Bakar

Setelah ditinggal suaminya Ibrahim, Ismail yang dalam gendongan Hajar, merasakan haus dan lapar. Hajar lalu terduduk, sambil melayangkan fikiran. Kaki Ismail, mengepak – ngepak ke pasir. Lalu muncratlah air. Yang sekarang dikenal dengan sumur zam-zam. Disituah Hajar bersama anaknya, menjalani kehidupannya selama bertahun – tahun.

Saat Ismail beranjak remaja, ayahnya pun datang. Ibrahim datang dengan membawa cerita mimpinya, untuk menyembelih anaknya Ismail, yang juga dituruti Ismail. Maka Ismail pun dibaringkan untuk disembelih.Namun ternyata Allah menggantikannya dengan seekor domba besar.

Ada tokoh agama berpendapat, Allah tidak perintahkan Ibrahim untuk membunuh anaknya, Ismail. Allah hanya meminta Ibrahim membunuh rasa kepemilikan terhadap anaknya Ismail. Karena hakekatnya adalah semuanya milik Allah.

Ini semua pengabdian atas nama perintah Allah. Bukan pembiaran. Dan itulah ikhlas. Wujud dari sebuah keyakinan mutlak, pada sang maha mutlak. Ikhlas adalah kepasrahan. Bukan mengalah apalagi menyerah kalah.

Ikhlas adalah ketika sanggup untuk berlari, mampu untuk melawan dan kuat untuk mengejar. Namun memilih untuk patuh dan tunduk. Ikhlas adalah, sebuah kekuatan untuk menundukkan diri sendiri, dan semua yang dicintai. Memilih jalannya bukan karena terpojok tak punya jalan lain, bukan lari dari kenyataan. Bukan karena terpaksa. Bukan merasionalisasi tindakan,  bukan mengkalkulasi hasil akhir. Tetapi tangga menujuNya, mendengar PerintahNya, mentaatiNya.

Ikhlas adala ikhlas itu sendiri. Murni tanpa embel – embel kepamrihan apapun. Suci bersih 100%. Hanya kareNya dan mengikuti kehendakNya, tidak yang lain.  (dari berbagai sumber dan pengalaman Berhaji tahun 2017 dan Umroh Tahun Baru 2018)

Penulis: Nurhayana Kamar

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU