Pasal 27A dengan frasa “menyerang kehormatan dan nama baik” dinilai subyektif, karena interpretasinya tergantung pada individu atau institusi yang menilai. Ketika diterapkan pada karya jurnalistik yang dipublikasikan melalui teknologi dan informasi elektronik, pemberitaan yang mengkritik pejabat publik, institusi, atau tokoh masyarakat sering dianggap sebagai serangan terhadap nama baik pribadi, padahal tujuannya adalah untuk mengkritisi kebijakan atau jabatan, yang merupakan bagian dari hak berdemokrasi.
Selain itu, Pasal 28 ayat (1) dan (2) tentang “pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan” serta “menghasut atau mengajak orang lain menimbulkan rasa kebencian” dapat membungkam karya jurnalistik yang membahas isu-isu sensitif seperti politik, diskriminasi, atau manipulasi. Hal ini berpotensi ditafsirkan sebagai ujaran kebencian. Publikasi fakta terkait pelanggaran atau kejahatan yang melibatkan pejabat publik atau tokoh masyarakat bisa memicu reaksi emosional yang luas, yang kemudian dianggap sebagai “permusuhan.”
Kritikan pers terhadap pejabat publik sering kali disalahartikan sebagai upaya memprovokasi kebencian, padahal sebenarnya hanya bertujuan untuk menyampaikan fakta dan kritik sebagai evaluasi kebijakan.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah pers dan jurnalis dapat terjerat pelanggaran UU ITE? Dalam era digitalisasi yang pesat, kebebasan berekspresi memang perlu dibatasi untuk mencegah penyalahgunaan. Namun, jika terjadi pelanggaran, harus ada mekanisme yang menghindari kriminalisasi berlebihan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu. Pasal-pasal yang bersifat multitafsir berpotensi digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik terhadap pejabat publik, yang menciderai cita-cita demokrasi.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 89 kasus serangan terhadap jurnalis dan media sepanjang 2023, jumlah yang tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir. Ini menjadi pengingat akan kondisi kebebasan pers di Indonesia yang semakin terancam.
Untuk mengatasi masalah ini, salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan membentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) yang melibatkan Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri terkait implementasi UU ITE terbaru.
SKB ini akan memberikan penjelasan lebih jelas terkait pasal-pasal yang multitafsir, agar pemaknaan pasal tersebut dapat diseragamkan dalam penegakan hukum. Proses pembentukan SKB harus melibatkan berbagai pihak berkepentingan, seperti pers, jurnalis, dan perwakilan masyarakat, sebagai bagian dari transparansi dan partisipasi.
Adapun substansi penting dari SKB ini setidaknya mencakup:
- Kritik terhadap kebijakan publik atau pejabat publik tidak boleh dianggap sebagai pencemaran nama baik atau menyerang kehormatan, kecuali berisi justifikasi pribadi.
- Pemberitahuan atau informasi terkait isu sensitif tidak dapat dianggap sebagai informasi menyesatkan atau menghasut, selama hal tersebut berdasarkan kenyataan atau fakta.
- Jurnalis yang menjalankan tugas jurnalistik tetap berlaku UU ITE, kecuali jika dilaksanakan di bawah naungan UU Pers No. 40 Tahun 1999 sebagai lex specialis.
Dengan adanya SKB yang jelas, diharapkan akan ada kepastian hukum dan batasan yang jelas bagi aparat penegak hukum, serta meminimalkan potensi kriminalisasi yang berlebihan. Ini juga akan memberikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan memastikan cita-cita demokrasi tetap terjaga.(Riska Ramadhani)