Menjadi Guru yang Baik

“Direfleksikan Dalam Rangka HARDIKNAS 02 Mei 2022”

Peringatan Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) setiap tanggal 2 Mei merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap sejarah lahirnya tokoh pendidikan, pendiri Sekolah Taman Siswa yang juga merupakan Pahlawan Nasional, Ki Hadjar Dewantara yang mempunyai nama asli R.M. Suwardi Suryaningrat (02 Mei 1889 – 29 April 1959).

Filsafat Pendidikan yang jugadijadikan filsafat kepemimpinan yang diwariskan Ki Hadjar Dewantara kepada kita adalah :

1. Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberikan keteladanan )
2. Ing Madya Mangunkarsa ( di tengh membangun karsa )
3. Tut Wuri Handayani ( dari belakang menjadi pendorong)

Tujuan negara “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 31 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pada hakekatnya merupakan tanggung jawab keluarga masyarakat dan pemerintah melalui jalur formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

Pada jalur dan jenis pendidikan formal Guru (bahasa jawa = digugu dan ditiru = menjadi contoh dan diteladani), merupakan ujung tombak dari seluruh proses belajar dan mengajar yang menjadi sasaran dan tujuan kurikuler yang meliputi pembelajaran, pelatihan, pembimbingan dan penilaian dari berkembangnya secara optimal kecerdasan emosional ganda yaitu kecerdasan otak, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan kecerdasan sosial secara terpadu.

Mengenai berbagai kecerdasan yang turut mempengaruhi keberhasilan anak didik yang perlu diperhatikan terutama oleh pendidik adalah :

1. Kecerdasan otak (Intelectual Quantient=IQ), meliputi :

a. Kecerdasan matematis/logis, yaitu kemampuan penalaran ilmiah,
penalaran induktif, penalaran deduktif, berhitung dan pola abstrak.

b. Kecerdasan verbal/bahasa, yaitu kemampuan yang berhubungan dengan
kata/bahasa tertulis maupun bahasa lisan.

- Iklan -

2. Kecerdasan Emosional (Emotional Quontient=EQ), meliputi :

a. Kecerdasan Interpersonal, yaitu kemampuan yang berhubungan dengan
keterampilan berelasi dengan orang lain , berkomunikasi antar pribadi;

b. Kecerdasan fisik/gerak/badan, yaitu kemampuan mengatur gerakan
badan, memahami sesuatu berdasarkan gerak;

c. Kecerdasan spasial/ruang/visual. Yaitu kemampuan yang mengandalkan
penglihatan dan kemampuan membayangkan obyek, kemampuan
menciptakan gambaran mental;

d. Kecerdasan intrapersonal, yaitu kemampuan yang berhubungan dengan
kecerdasan kebatinannya seperti refleksi diri, kesadaran akan hal-hal
rohani;

e. Kecerdasan musical/ritme, yaitu kemampuan penalaran berdaarkan pola
dan ritme, kepekaan akan suatu nada dan ritme. (Howard Gardner/1993,
Daniel Goleman/1995).

3…Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quontient=SQ), lebih menunjuk pada
kemampuan untuk memberi arti, memberi makna, memberi nilai
kehidupan. Ini sangat erat dengan pendidikan nilai religious dan moral.

4. Kecerdasan Sosial (Social Intelligence=SI), terbagi dalam dua kategori, yakni kesadaran social apa yang kita rasakan tentang orang lain; dan fasilitas social apa yang kemudian kita lakukan dengan kesadaran itu.

Sekitar tahun 1905 para ahli berpendapat bahwa manusia sukses ditentukan oleh 100% kecerdasan otak (Intellectual Quontient=IQ). Dr. Daniel Goleman (1995) dalam bukunya Emotional Intelligence (EI) atau Kecerdasan Emosional (EI=Emotional Quontient mengatakan SQ; atau EQ) mengatakan “ para ahli psikologi sepakat bahwa IQ hanya menyumbang sekitar 20% factor yang menentukan keberhasilan. 80% sisanya berasal dari faktor lain, termasuk yang dinamakan kecerdasan emosional “.

Baca Juga:  Transformasi Pendidikan Indonesia Pasca-Kurikulum Merdeka

Selanjutnya Danah Zohar dan Ian Marshall (2000) dalam bukunya SQ, Spiritual Intelligence (sama dengan Spiritual Quontient=SQ) mengatakan SQ : memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam berfikir integralistik dan holistic untuk memaknai kehidupan.

Sebagai bahan refleksi Guru dalam mengembangkan proses belajar mengajar perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Empat pilar pendidikan (UNESCO, tahun 1998)

a. Learn To Know( Belajar untuk tahu): menemukan ilmu, mengembangkan ingatan dan imajinasi, memahami lingkungan, berpikir secara koheren dan kritis, berkomunikasi, menemukan metode dan mengembangkan semangat ilmiah, mendapatkan kebebasan menilai.

b. Learn To Do, (Belajar untuk berbuat): menerapkan apa yang dipelajari, mengembangkan keterampilan kerja dan kritis, mengembangkan kelompok social, menciptakan lapangan kerja, mengembangkan kompetensi, komitmen, dan kemampuan berpartisipasi dalam pembangunan dan menangani ketidakpastian masa depan.

c. Learn To Live Together,( Belajar untuk hidup bersama): memahami orang lain, menghargai perbedaan ras dan budaya, mengenal jati diri, menerima pendapat orang lain melalui debat dan dialoq, memupuk kepedulian, kebersamaan, semangat kooperatif, dan mengatasi konflik.

d. Learn To Be, (Belajar untuk menjadi seorang pribadi): menemukan dan memecahkan masalah sendiri, mengambil keputusan sendiri, memikul tanggungjawab sendiri, mengembangkan kepribadian yang semakin otonom dan tanggung jawab.

2. “Anak Belajar Dari Kehidupannya” (Dorothy Law Notle):

a. Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar Memaki.
b. Jika anak dibesarka dengan permusuhan, ia belajar Berkelahi.
c. Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar Gelisah.
d. Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar Menyesali dirii.
e. Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar Rendah Diri.
f. Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar Merasa Bersalah.
g. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar Percaya Diri.
h. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar Menahan Diri.
i. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar Menghargai.
j. Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar Mengasihi.
k. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar Menyenangi.
l. Jika Anak Dibesarkan Dengan Pengakuan, Ia Belajar Mengenali Tujuan
m. Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar Dermawan.
n. Jika anak di besarkan dengan rasa aman, ia belajar Menaruh Kepercayaan.
o. Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar Menemukan Kasih dalam kehidupan.
p. Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar Damai dengan Pikiran.

3. “ Menjadi Guru yang Baik”, ( Oktovianus):

a. Memiliki bakat dan minat untuk menjadi Guru
b. Menguasai materi bidang ilmu yang diajarkan.
c. Menyediakan materi dan bahan ajar yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
d. Mengenali keadaan, masalah dan tingkat kemampuan Peserta Didik dari awal semester sampai dengan akhir semester.
e. Menyadari bahwa sasaran dan tujuan kurikuler adalah suatu proses pembelajaran, pelatihan, pembimbingan dan penilaian secara terpadu.
f. Menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi untuk mewujudkan sasaran dan tujuan kurikuler ( aspek kognitif, afektif dan psikomotor).
g. Melakukan penilaian yang bervariasi dan komprehensif mulai dari awal sampai akhir semester melalui kuis, tugas, keaktifan dan interaksi peserta didik, UTS, serta UAS.
h. Keberhasilan Peserta Didik dalam mengerjakan ujian sangat tergantung jumlah soal ujian dan variasi soal ujian dari yang termuda sampai yang tersulit denga bobot yang telah ditentukan.
i. Guru yang berhasil adalah Guru yang menghasilakan lulusan yang memiliki nilai kognitif, afektif serta psikomotorik yang baik, begitupun sebaliknya (perlu evaluasi diri).

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Seorang Guru adalah seorang pendidik dan pembimbing yang baik, sebagai bapak dan ibu yang baik, penolong yang baik, penilai yang baik. Untuk menjadi Guru yang baik butuh dukungan fasilitas dan standar kesejahteraan Guru yang memadai. Hal tersebut menjadi tanggung jawab sekolah dan pemerintah.

Guru dituntut memiliki kinerja yang mampu memberikan dan merealisasikan harapan serta keinginan kepada semua pihak terutama masyarakat umum yang telah mempercayai sekolah dan guru dalam membina peserta didik.

Untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang baik sangat dipengaruhi oleh kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya, sehingga kinerja guru menjadi tuntutan penting untuk mencapai keberhasilan pendidikan.Secara umum kualitas pendidikan yang baik menjadi tolak ukur bagi keberhasilan kinerja yang ditunjukkan guru.

Sejalan dengan perubahan dan tuntutan perkembangan pembangunan dalam berbagai bidang dalam seluruh lini mulai dari tatnan nasional pada level pemerintah pusat sampai ke lini daerah.

Pada kebijakan desentralisasi sekarang ini, pemerintah daerah kabupaten sebagai daerah otonomi paling ujung, khususnya dalam bidang pendidikan, dibutuhkan kinerja guru yang optimal agar pelaksanakan tugas dapat berjalan dengan baik sesuai harapan masyarakat.

Untuk itu perlu diperhatikan sikap dasar pimpinan dan guru terhadap diri sendiri, lingkungan sekolah dan masyarakat serta kompetensi guna menghasilkan tamatan yang dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.

Untuk meningkatkan kinerja guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, guru harus tetap bekerja pada koridor yang ada sehingga apa yang dilakukannya dapat tepat sasaran, efektif dan efisien serta tidak menyimpang.

Dalam upaya meminimalisir penyimpangan yang ada pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam peraturan tersebut dituliskan bahwa disiplin PNS adalah kesanggupan untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan atau peraturan kedinasan yang jika tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disipilin.

Beberapa kewajiban seorang PNS adalah masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja, mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan, membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas, memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier, bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat.

“Penulis adalah Kepala SMA Negeri 1 Messawa, Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat”.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU