Menulis Opini dan Esai di Medsos dan Media Massa

Sejak bisa membaca, mungkin kelas satu atau kelas dua SD, saya memang sudah hobi membaca.

Oleh: Asnawin Aminuddin

Saya membaca apa saja yang bisa dibaca. Mulai dari buku, koran, majalah, tulisan di pembungkus (makanan, minuman, bedak, dan lain sebagainya), sampai nama toko dan nama jalan bila sedang melintas di jalanan.

Saya juga senang dan rajin membaca Al-Quran dan sudah khatam sejak kelas empat atau kelas lima SD, lalu kemudian menjadi asisten guru mengaji, yang waktu itu guru mengaji kami adalah ibu dari ibu saya alias nenek kami sendiri.

Dua dari empat kakak saya, sayalah yang melanjutkan mengajarinya mengaji sampai khatam (waktu itu kami sebut Tamat Qur’an Besar), padahal mereka lebih duluan mengaji.
Sejak SD, saya juga sudah menulis puisi (waktu itu disebut sanjak) dan juga menulis cerpen. Rasa-rasanya tidak banyak teman seusia saya waktu itu yang rajin menulis.

Saya juga sering diminta oleh guru di sekolah untuk meng-imla’, membacakan isi materi mata pelajaran untuk ditulis teman-teman di kelas. Artinya, sejak SD saya sudah jadi asisten guru, he..he..he..

Waktu SD sampai SMP, rumah yang paling sering saya kunjungi yaitu rumah salah seorang paman saya. Kami memanggilnya Etta Mappa’, yang waktu itu menjadi pejabat publik sebagai Anggota DPRD Kabupaten Bulukumba.

Saya sering ke rumahnya karena sebagai Anggota DPRD, ia mendapat jatah langganan koran dan majalah. Waktu itu, langganannya antara lain koran Harian Pedoman Rakyat, Koran Harian Kompas, dan juga Majalah Panjimas (Panji Masyarakat).

Saya membaca apa saja yang bisa dibaca, tapi ada dua bacaan favorit saya yaitu cerpen dan kisah tokoh-tokoh agama, penemu, pejabat, dll. Mungkin karena itulah, saya selalu memasukkan kisah-kisah dalam berbagai tulisan dan setiap kali berceramah di masjid (sebagai muballigh) setelah dewasa.

- Iklan -

Satu lagi hobi saya ketika masih sekolah, yaitu saya senang korespondensi. Dulu namanya sahabat pena. Saya saling berkirim surat dengan orang-orang seusia di berbagai daerah.

Kami berkenalan lewat surat menyurat yang dikirim lewat Kantor Pos, dan juga berbagi cerita. Sayalah yang berinisiatif mengirim surat untuk berkenalan setelah melihat foto dan alamat mereka terpajang di koran atau majalah. Surat yang dikirim ketika itu butuh waktu berhari-hari untuk sampai di alamat tujuan, begitu pun surat balasannya.

Setelah kuliah, saya melanjutkan kebiasaan menulis dengan menulis artikel opini untuk dimuat di koran Harian Pedoman Rakyat dan koran Harian Fajar, Makassar. Honor tulisan lumayanlah untuk ukuran mahasiswa, he..he..he..

Waktu itu, saya kuliah di Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK), Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Ujungpandang. Sekarang berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) Universitas Negeri Makassar (UNM).

Baca Juga:  Kenali 7 Tanda Anak Siap Sekolah, Faktor Usia Bukan Menentukan

Karena saya mahasiswa Fakultas Olahraga, maka saya lebih banyak menulis artikel olahraga, tetapi saya juga menulis artikel umum, juga menulis cerpen dan puisi.

Jadi Wartawan

Tahun 1992, Koran Harian Pedoman Rakyat membuka pendaftaran calon reporter (wartawan) dan saya mendaftar bersama lebih dari 100 orang lainnya. Syarat pertama yaitu harus sarjana. Pada waktu yang hampir bersamaan, saya juga mendaftar sebagai calon guru PNS di Makassar.

Waktu itu, saya sudah bekerja sebagai guru honorer mata pelajaran olahraga dan juga diminta mengajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia di STM Dharmawirawan Pepabri Bulukumba (sekarang SMK Dharmawirawan Pepabri Bulukumba).

Terus terang saya tidak punya pengetahuan, apalagi pengalaman jurnalistik ketika mendaftar sebagai calon reporter Harian Pedoman Rakyat pada tahun 1992.

Saya berani mendaftar jadi calon wartawan karena saya seorang penulis dan tulisan saya cukup banyak yang dimuat di Harian Pedoman Rakyat selama masih kuliah (1986-1991).

“Tentu nama saya sudah cukup dikenal di redaksi Pedoman Rakyat,” pikir saya waktu itu.
Pengumuman calon guru PNS hampir bersamaan dengan pengumuman calon reporter Harian Pedoman Rakyat. Hasilnya, saya tidak lulus jadi guru PNS, tapi lulus jadi calon reporter Harian Pedoman Rakyat.

Saya diterima sebagai calon reporter bersama sekitar 25 orang lainnya. Namun ternyata, kami belum diterima secara penuh, karena masih ada masa percobaan selama tiga bulan, kalau tidak salah Januari hingga Maret 1992.

Tiga bulan kemudian, keluarlah pengumuman dan saya dinyatakan lulus bersama enam orang lainnya, yakni saya sendiri Asnawin, Mohammad Yahya Mustafa, Mustam Arif, Rusdy Embas, Ely Sambominanga, Indarto (alm), dan Elvianus Kawengian (alm).

Sejak itulah, kami menjadi wartawan Harian Pedoman Rakyat, sampai akhirnya Harian Pedoman Rakyat tidak terbit lagi pada September 2007.

Gaya Penulisan

Setelah menjadi wartawan, saya tentu lebih bebas lagi menulis. Selain menulis berita, saya tetap banyak menulis artikel, juga menulis berita dalam bentuk feature dan reportase.

Dengan seizin teman-teman di redaksi harian Pedoman Rakyat, saya membuka kolom “Lanskap” yang dicantolkan pada rubrik Opini halaman 4, setiap hari Senin. Kolom Lanskap adalah opini saya dengan gaya esai.

Gaya penulisan saya banyak dipengaruhi tulisan Sumohadi Marto Siswoyo atau Sumohadi Marsis, pendiri dan Pemimpin Redaksi Tabloid Bola (Tabloid Bola awalnya terbit setiap hari Jumat sebagai sisipan Koran Harian Kompas, lalu kemudian Tabloid Bola berdiri sendiri dan saya selalu membeli setiap terbit).

Baca Juga:  Anak Suka Mencoret-coret? Jangan Dilarang, Ini Manfaatnya

Sumohadi Marsis punya rubrik di Tabloid Bola yang diberi nama “Catatan Ringan”. Isinya benar-benar catatan ringan, ringan bahasanya, kalimatnya pendek-pendek, tidak menghakimi, tidak menghujat, dan selalu diselingi humor.

Gaya penulisan saya juga banyak dipengaruhi oleh gaya tulisan HM Dahlan Abubakar, guru jurnalistik pertama saya di Harian Pedoman Rakyat. Beliau selain sebagai wartawan (mantan Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rakyat), juga seorang dosen (Universitas Hasanuddin) dan banyak menulis buku.

Mengajar di Kampus

Ketika Harian Pedoman Rakyat tidak lagi terbit, saya mengajar sebagai dosen luar biasa di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar (2008-2014), di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Makassar (tahun 2010), di Universitas Negeri Makassar (UNM, tahun 2020), serta di Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar (2007-2014), dan di Universitas Pancasakti (Unpacti) Makassar (masih mengajar sampai sekarang).

Saya mengajarkan beberapa mata kuliah, antara lain mata kuliah Jurnalistik, mata kuliah Penulisan Artikel, Esai dan Opini, mata kuliah Teknik Peliputan Berita, mata kuliah Teknik Penulisan Berita, mata kuliah Kehumasan dan Keprotokolan, mata kuliah Dasar-dasar Public Relation, mata kuliah Public Speaking dan Retorika, serta mata kuliah Pengembangan Kepribadian dan Human Relation.

Mata kuliah apapun yang saya ajarkan, saya selalu mewajibkan mahasiswa membuat tulisan, baik berupa makalah maupun artikel ilmiah populer atau artikel opini. Itu saya lakukan, karena saya ingin semua mahasiswa bisa dan mahir menulis artikel opini.

Menulis di Media Sosial

Tahun 2017, saya menulis secara rutin opini dalam bentuk obrolan di media sosial Facebook, dengan nama “Obrolan Daeng Tompo dan Daeng Nappa.”
Tulisan itu berisi obrolan antara dua tokoh rekaan bernama Daeng Tompo’ dan Daeng Nappa’, yang sambil ngopi membahas berbagai masalah, mulai dari masalah keseharian, masalah-masalah sosial kemasyarakatan, masalah politik dan pemerintahan, hingga masalah agama.

Beberapa teman menyarankan agar tulisan-tulisan dalam Obrolan Daeng Tompo’ dan Daeng Nappa’ dikumpulkan dan dibukukan. Mudah-mudahan hal itu dapat terwujud.

Materi Khutbah Jadi Artikel Opini

Dalam beberapa tahun terakhir, saya aktif berceramah di masjid, baik ceramah singkat yang biasa disebut kultum (kuliah tujuh menit), maupun ceramah tarwih dan khutbah Jumat. Materi khutbah Jumat selalu saya buat secara tertulis agar terdokumentasi.

Belakangan saya kemudian mengubah materi khutbah tersebut menjadi artikel opini dan memuatnya di media daring, antara lain di Pedoman Karya (www.pedomankarya.co.id), di website MUI Sulsel (https://muisulsel.com/), dan di website MUI Pusat (https://mui.or.id/).

Saya berharap tulisan-tulisan saya bermanfaat bagi banyak orang dan semoga menjadi amal jariyah bagi saya, amin. (*)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU