Menyusuri Pegunungan Arfak yang Menakjubkan

Setelah menjelajah di Raja Ampat selama satu minggu, saya kemudian melanjutkan perjalanan ke Manokwari. Dari Sorong, saya menempuh perjalanan sekitar 1 jam dengan pesawat udara.

Oleh: SRIYANTO – Manokwari, Papua Barat

Provinsi Papua Barat tidak hanya memiliki Raja Ampat. Satu lagi tempat yang tidak boleh Anda lewatkan jika berkunjung di Tanah Papua, yakni Pegunungan Arfak.

Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf) terletak di pegunungan Arfak, dengan ketinggian 2.950 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebelah utara Kabupaten Pegaf berbatasan dengan kabupaten Manokwari. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Manokwari Selatan. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Teluk Bintuni. Dan sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Sorong Selatan.

Ada dua jalur menuju Pegaf, yaitu pertama, jalur dari Kabupaten Manokwari dan kedua, jalur dari Kabupaten Manokwari Selatan (Mansel). Selain itu, Pegaf juga bisa dikunjungi dengan pesawat udara perintis.

Kali ini, saya melalui kedua jalur tersebut. Saat pergi ke Pegaf, saya melalui jalur yang pertama dan pulang melalui jalur yang kedua.

Butuh perjuangan untuk sampai di Pegaf. Saya yang naik mobil umum, harus melewati tantangan jalan pegunungan yang meliuk-liuk penuh tanjakan dan turunan.

Kondisi jalanan yang berbatu, di sisi kiri maupun kanan terdapat jurang yang dalam. Bahkan beberapa kali, kendaraan harus menyeberangi sungai-sungai besar. Oleh sebab itu, kendaraan penumpang ke Pegaf pada umumnya adalah mobil-mobil jenis offroad, khusus medan berlumpur dan berbatu.

Meski kondisi jalan yang menantang adrenalin, namun tidak terasa melelahkan karena suguhan panorama alam luar biasa indahnya. Saya menikmatinya dengan banyak mengabadikan gambar dari dalam mobil.

- Iklan -

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam, akhirnya saya pun tiba di Pegaf. Hari itu, Selasa, 2 Mei. Saya memilih turun di Anggi dan menumpang menginap di Kantor Polsek Anggi, sebab tidak ada penginapan.

Kabupaten Pegaf memiliki spot yang sungguh menakjubkan. Salah satunya adalah danau Anggi. Selain itu, juga ada rumah kaki seribu, wisata kuliner, hingga merasakan hidup bersama masyarakat di Pegaf.

Legenda Danau Anggi

Pernah mendengar nama Danau Anggi? Namanya memang masih terbilang asing di telinga, belum setenar Danau Toba di Sumatera Utara. Tapi keindahannya tidak kalah dengan danau-danau lainnya yang ada di Indonesia.

Baca Juga:  Libur Akhir Pekan, Ini 5 Destinasi Wisata Ramah Anak di Semarang

Hari kedua berada di Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat, saya mengeksplorasi Danau Anggi. Saya tidak sendirian. Dua anggota kepolisian dari Polsek Anggi, Slamet dan Ikhsan, berbaik hati menemani saya dan rekan traveler, Zhenwenlung (57), mengelilingi danau dengan mengendarai dua motor trail.

Ada dua danau besar yang terletak di Kabupaten Pegaf. Danau yang terletak di bagian bawah diberi nama Danau Laki-laki (Danau Anggi Giji) dan danau yang terletak di bagian atas diberi nama Danau Perempuan (Danau Anggi Gida).

Nama yang unik. Di balik keunikan namanya, tersimpan sebuah cerita romantis. Bahkan hingga saat ini, cerita tersebut masih terus diceritakan kepada anak cucu mereka.

Mengutip dari indonesiakaya.com/travelnatic.com, alkisah ada sepasang kekasih yang berbeda suku namun hidup berdampingan di Pegunungan Arfak. Suku si perempuan tinggal di daerah yang jauh lebih tinggi daripada suku si laki-laki.

Mereka berdua menjalin kisah cinta dalam waktu yang cukup lama. Sehingga rasa cinta dan sayang semakin hari semakin kuat.

Namun kisah cinta mereka berdua ditentang oleh orang-orang di suku mereka masing-masing. Terlalu banyak aturan adat yang harus dilanggar jika kisah cinta mereka berujung di pelaminan.

Hal inilah yang membuat mereka dipaksa untuk memutuskan hubungan cinta yang telah lama mereka rajut. Mereka akhirnya berpisah dan kembali tinggal di suku masing-masing. Karena putus cinta dan tak diperbolehkan bertemu lagi, mereka menangis tak henti-henti hingga air mata mereka menjadi danau.

Danau yang terbentuk dari genangan air mata si gadis diberi nama Danau Perempuan (Anggi Gida) dan danau yang terbentuk dari genangan air mata si pria diberi nama Danau Laki-laki (Anggi Giji). Hingga saat ini, masyarakat setempat masih percaya bahwa sepasang kekasih itu masih hidup di dalam masing-masing danau tersebut.

Keunikan Rumah Kaki Seribu

Tidak hanya hewan yang berkaki seribu, rumah pun ada yang berkaki seribu. Inilah rumah adat khas suku Arfak, Papua Barat yang bernama Mod Aki Aksa atau Igkojei serta lebih dikenal dengan sebutan Rumah Kaki Seribu.

Biasanya, rumah panggung mempunyai tiang pondasi yang hanya terdapat di bagian sisi pinggir rumah. Namun, berbeda dengan jenis rumah panggung lainnya, Mod Aki Aksa memiliki tiang pondasi rumah yang tersebar di seluruh bagian bawah rumah dan menjadi tumpuan utama bangunan. Karena keunikannya inilah, maka rumah adat ini mendapat sebutan Rumah Kaki Seribu.

Baca Juga:  4 Destinasi Wisata Unggulan Sulawesi Utara, Alam hingga Kuliner!

Rumah Kaki Seribu mempunyai bentuk yang tidak jauh berbeda dengan rumah panggung pada umumnya. Atap rumah ini terbuat dari rumput ilalang dan lantainya dari anyaman rotan. Dindingnya cukup kuat karena terbuat dari kayu yang disusun horizontal-vertikal dan saling mengikat. Dengan tinggi rata-rata sekitar 4-5 meter dan luas kurang lebih 8×6 meter, rumah ini cukup besar dan nyaman untuk menjadi tempat tinggal.

Tiang-tiang yang sangat banyak itu, mempunyai diameter 10 centimenter per tiangnya dan disusun dengan jarak kurang lebih 30 centimeter antar tiang. Kerapatan inilah yang menjadikan rumah ini unik dan terlihat berkaki banyak.

Keunikan yang tidak kalah menariknya adalah, desain rumah yang hanya mempunyai 2 pintu tanpa ada pintu lain, bahkan jendela pun tidak ada. Seperti halnya desain tiang penyangga rumah yang banyak, keunikan ini pun dibuat bukannya tanpa maksud. Tingginya rumah, banyaknya tiang pondasi, dan desain yang relatif tertutup ternyata dimaksudkan untuk menghindarkan keluarga yang tinggal dari hewan buas dan udara dingin serta bencana alam seperti badai.

Terlebih dari itu, kondisi masyarakat yang sering bertikai pun menjadi alasan bentuk Rumah Kaki Seribu yang tampak tidak lazim ini. Maksudnya adalah agar mereka yang tinggal di rumah ini tetap aman dari ancaman musuh dengan pengawasan yang mudah karena rumah berada di tempat tinggi dan hanya memiliki 2 pintu sebagai akses masuk dan keluar.

Seiring berkembangnya modernisasi dan para transmigran dari provinsi lain yang banyak berdatangan ke Papua Barat, Rumah Kaki Seribu sudah sangat jarang ditemui di kota besar. Masyarakat yang masih menggunakan rumah unik ini adalah penduduk asli Arfak dan biasanya berada jauh di pedalaman, terutama di bagian tengah sekitar Pegunungan Arfak.

Memang sulit menghindar dari modernisasi, namun tradisi Rumah Kaki Seribu layak dan harus dilestarikan. Hal ini penting karena tradisi ini memiliki nilai-nilai positif kehidupan yang baik untuk dipelajari oleh generasi masa depan kelak. [*]

 

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU