“Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orang-orang yang
masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan.”
– Mario Teguh
Dalam pandemi COVID-19 yang telah kita lalui bersama terdapat banyak sekali perbedaan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Tak tentunya yang paling menonjol perbedaannya terletak di bidang pendidikan. Awal tahun 2020 yang normal mulai berubah semenjak pengumuman 2 minggu libur yang diumumkan Dinas Pendidikan, segala pembelajaran yang bersifat luring banting setir menjadi serba daring.
Ketidaksiapan tenaga pendidik menjadi hal yang mencolok dalam permasalahan ini, terbukti sekolah-sekolah belum mampu untuk melaksanakan pembelajaran yang sesuai dan layak. Memang ini merupakan sebuah kewajaran dikarenakan pandemi yang tidak akan pernah manusia duga, namun melihat dari perkembangan pembelajaran di 2 tahun daring terakhir sama sekali tidak menunjukkan perkembangan dalam hal pelajaran daring.
Hal ini tentunya memicu angka learning loss yang sangat besar di kalangan pelajar, tercatat di laman suara.com terjadi penurunan 0,44 sampai 0,47 persen terhadap standar deviasi. Persentase ini jika di lihat secara nominal memanglah bukan angka yang besar, namun besaran persentase ini menunjukkan bahwasanya siswa mengalami kemunduran akademis / learning loss sebanyak 5 hingga 6 bulan pembelajaran per tahunnya, yang artinya hanya setengah dari satu tahun pembelajaran siswa yang terserap secara efektif di pemahaman siswa.
Dengan adanya learning loss ini tentunya waktu pembelajaran efektif menjadi terpotong, jika seorang siswa umumnya akan menempuh pendidikan selama 12 tahun, akibat dari COVID-19 ini kualitas pembelajaran hanya akan mencapai angka setara 8 tahun sekolah saja.
Tentunya ini menjadi momok permasalahan bagi generasi muda Indonesia yang akan meneruskan bangsa besar ini, apalagi target Indonesia Emas 2045 yang membutuhkan kompetensi dan profesionalitas dari generasi muda akan semakin sulit tercapai jika kejadian ini tak dapat dicari titik tengahnya.
Problematika Pendidikan Setelah Masa Pandemi
Permasalahan tak hanya akan berhenti disitu, terdapat tantangan dan hambatan bagi penyelenggara pendidikan dalam menangani proses pembelajaran bahkan setelah pandemi. Transisi pendidikan yang berlangsung akan menghadirkan sebuah shock-effect kepada murid- murid yang dalam 2 tahun terakhir hanya belajar melalui sistem daring, menurut jurnal yang diterbitkan IAIN Tulungagung mayoritas siswa mengaku tidak siap jika pembelajaran dilaksanakan secara tatap muka.
Ketidaksiapan siswa tersebut berasal dari ketidakmampuan siswa untuk menangkap dan mengikuti pembelajaran setelah tertinggal dalam masa 2 tahun pembelajaran pandemi. Adaptasi ulang pun harus terpaksa dilakukan para guru untuk mengembalikan fokus belajar, namun merujuk di tahun 2021 sendiri telah terjadi 2 kali fase pembelajaran tatap muka terbatas sebelum kembali memasuki daring karena naiknya COVID- 19.
Dalam kasus 2 kali ptm terbatas tersebut, menunjukkan fakta lapangan bahwasanya adaptasi perlu dilakukan sebanyak 2 kali di setiap fasenya, sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa setiap fase pembelajaran tatap muka para siswa belum sama sekali menunjukkan kemajuan dalam hal adaptasi. Mengapa hal ini sangat penting?
Lamanya Proses Adaptasi Siswa Selama Memasuki Fase PTM dan Aspirasi Pelajar Indonesia
Keberadaan adaptasi dari perubahan proses pembelajaran daring menuju luring bisa dikatakan sangat krusial dalam hal mewujudkan pembelajaran yang efektif. Terbukti dalam sebuah jurnal oleh Universitas Airlangga ditemukan bahwasanya adaptasi yang baik dalam lingkup sekolah akan menghasilkan output fokus belajar siswa, tingkat pemahaman materi dan ketanggapan siswa dalam merespon meningkat secara drastis.
Namun tantangan inilah yang harus ditanggapi oleh para tenaga pendidik dimana kebanyakan hal ini tidak terlalu dihiraukan, alhasil kita bisa melihat dari nilai nilai siswa yang mengalami kemunduran semenjak memasuki fase pembelajaran tatap muka. Premis permasalahan ini sebenarnya dapat dicarikan solusinya dengan mudah, siswa yang mengalami ‘kebebasan’ saat belajar secara daring harusnya tidak dikekang dalam hal pembelajaran.
Sistem kurikulum Indonesia yang bersifat kaku dan monoton tidak sesuai dengan pola pikir pelajar yang dilahirkan di masa pandemi, suasana belajar harus bersifat independen dan segera dimodernisasi secara total. Maka dari itu penulis memiliki ide inovasi untuk menyelesaikan permasalahan pelajar ini, yaitu dengan pengadaan sistem kurikulum terbaru yaitu Merdeka Belajar.
Analisis Kurikulum Merdeka Belajar Dalam Menangani Permasalahan Pendidikan Akibat Pandemi COVID-19
Merdeka Belajar bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan, dilansir tempo.co Merdeka Belajar adalah kurikulum yang telah diluncurkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim dalam merespons pandemi COVID-19. Sistem
pembelajarannya melakukan pendekatan kepada para siswa untuk memilih pelajaran-pelajaran yang mereka minati, hal ini tentunya akan mengoptimalkan bakat dan kesempatan waktu mereka yang terkuras akibat COVID-19.
Disini yang menjadi pemain utama dalam penyelenggaraan kurikulum adalah siswanya sendiri, siswa harus aktif dalam memiliki kemerdekaan berpikir sebagai fondasinya kelak dalam pemilihan mata pelajaran yang mereka minati. Terbukti melalui riset yang diluncurkan Kemendikbud-ristek, implementasi Kurikulum Merdeka Belajar pada saat PTM Terbatas memberikan ruang yang lebih besar kepada murid- murid untuk mengeksplorasi kemampuan mereka dan tidak terbatas terhadap pelajaran yang bersifat monoton.
Pembelajaran juga berubah menjadi berbasis proyek yang mengharuskan siswa untuk berpikir kritis dan kreatif dalam menginovasikan sebuah produk, tentunya dengan adanya perubahan ini siswa dan guru merasa lebih antusias terhadap sistem pembelajaran dan tidak terpaku terhadap sistem yang lama. Manfaat diatas tentunya memberikan gambaran yang cukup konkret terhadap bagaimana kurikulum terbaru ini dapat mengubah pendidikan di Indonesia.
Harapan Kurikulum Merdeka Belajar Untuk Menangani Learning Loss di Indonesia
Terbitlah sebuah harapan yang tinggi terhadap kurikulum Merdeka Belajar ini kepada pendidikan Indonesia, khususnya mengenai angka learning loss yang cukup fantastis. Mengapa pergantian kurikulum lah yang menjadi tombak pembeda untuk menangani permasalahan tersebut? Bisa dibilang kurikulum ini merupakan sebuah aspirasi dari para penyelenggara pendidikan mulai dari siswa dan juga tenaga pendidik, dari tahun 2018 telah muncul sebuah rencana untuk menggantikan kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 terlalu berfokus kepada kompetensi dasar dan kompetensi inti dalam mencapai capaian pembelajaran, hal ini tentunya tidak sesuai dengan fakta lapangan Post-Pandemic yang lebih menonjolkan proses pembelajaran mandiri secara daring.
Selain itu penerapan pembelajaran informatika yang lebih dikhususkan akan dapat membantu para murid untuk mempersiapkan diri mereka untuk memasuki dunia kerja dalam dunia digital 5.0 . Alhasil kemandirian yang ditawarkan oleh solusi kurikulum ini memberikan jaminan nyata bagi para generasi muda dalam mewariskan bangsa kita kelak, generasi muda yang sudah mampu berpikir secara kreatif, inovatif dan kritis tanpa terpaku terhadap sebuah gerakan monoton dan mengembangkan potensi diri mereka melalui hal yang mereka sukai.
Akhir kata, penulis meyakini bahwasanya kurikulum ini merupakan sebuah terobosan baru yang akan membawa perubahan besar bagi dunia pendidikan Indonesia menuju ke arah yang lebih baik.