Bawalah badanmu keliling dunia, tetapi tujukanlah jiwamu tetap kepada Tuhan dan Indonesia! -Bung Karno
Oleh: SRIYANTO – Ende, NTT
Setelah mengunjungi Gunung Kelimutu, perjalanan saya dan tim Jala Mana Nusantara mengarah ke Kota Ende dengan tujuan mengunjungi situs sejarah Rumah Pengasingan Bung Karno. Perjalanan kami tempuh sekitar 2 jam.
Siang itu, cuaca kota Ende cukup menyengat. Rumah yang terletak di jalan Perwira itu mendadak ramai dengan kedatangan saya dan 11 orang tim Jala Mana Nusantara.
Rumah berdinding putih dan beratap seng tersebut cukup bersih dan terawat. Syafrudin Pua Ita, seorang juru pelihara (jupel) menyambut kedatangan saya dan tim.
“Orang datang ke Ende, kalau belum datang ke sini (rumah pengasingan Bung Karno), berarti belum injak Ende,” ujar Syafrudin.
Sudah 16 tahun ia menjaga dan memelihara rumah yang didirikan tahun 1927 ini dan sudah 2 kali mengalami renovasi. Syafrudin menggantikan almarhum ayahnya.
Namun 16 tahun mengabdi, pemerintah hanya menghargainya dengan memberi Syafrudin status sebagai tenaga honorer. Bahkan almarhum ayahnya yang mengabdi hingga akhir hayat, juga dengan status tenaga honorer.
“Saya tidak pernah berpikir tinggalkan pekerjaan ini meski honor. Ada rasa kebanggaan tersendiri bisa menjaga situs sejarah. Saya juga menjaga amanah orang tua,” cerita Syafrudin.
Ketika Bung di Ende
Ende adalah sebuah kota kecil di kepulauan Flores, Nusa Tenggara Timur. Di sinilah saya dan para traveler dapat meresapi bagaimana Bung Karno menjalani keseharian hidupnya bersama keluarga diasingkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda selama 4 tahun (1934-1938). Di balik perjuangannya selama pengasingan, Ende telah membenamkan kesan mendalam bagi Bapak Pendiri Bangsa Indonesia ini.
Sebuah Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tertanggal 28 Desember 1933, membuat Soekarno berusia 35 tahun harus menjalani hukuman. Ia “dibuang” sebagai tahanan politik di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Selama 8 hari pelayaran dari Surabaya dan dikawal dua petugas pemerintah, tibalah Bung Karno dan keluarganya di Ende. Ia langsung dimasukkan dalam tahanan rumah milik pemerintah Hindia Belanda hingga akhirnya tinggal di rumah milik Haji Abdullah Ambuwaru.
Di rumah pengasingan ini, Sang Proklamator bersama istrinya, Inggit Ganarsih, mertuanya Ibu Amsih dan dua anak angkatnya, Ratna dan Kartika. Mereka menghabiskan waktu sebagai tahanan politik.
Saat itu, Ende ibarat kota mati dengan jalanan kecil belum beraspal. Rumah penduduk pun masih jarang dan wilayahnya masih berupa hutan, kebun karet, dan tanaman rempah-rempah. Belum ada pelabuhan laut, apalagi transportasi udara di Ende.
Rumah yang menghadap ke timur di Pelabuhan Ende ini awalnya milik Haji Abdullah Ambuwaru yang kemudian dikontrak oleh Bung Karno. Luas bangunannya 9 x 18 m², memiliki tiga kamar yang berderet di sisi kanannya. Satu kamar tidur untuk Bung Karno, satu kamar untuk Ibu Inggit bersama Ibu Amsih, dan satu kamar lagi untuk ruang tamu.
Di Ende, Bung Karno kehilangan mertuanya, Ibu Amsih yang wafat pada 1935 dan dimakamkan di Pemakaman Karara, Ende. Karena sayangnya pada mertua, Bung Karno mengerjakan sendiri makam mertuanya tersebut. Bahkan, kini makam itu masih dalam keadaan kondisi sangat baik.
Di belakang rumah ini juga ada sebuah ruangan yang sering digunakan Bung Karno untuk salat dan bermeditasi. Masih membekas dua telapak tangan Bung Karno ketika ia bersujud. Ada juga sebuah sumur yang airnya masih dapat digunakan hingga sekarang.
Tidak banyak yang berubah dari bentuk asli rumah yang dibangun pada 1927 itu, kecuali saja atap sengnya yang diganti karena bocor. Rumah ini sejak 1954 resmi dijadikan museum dan setelah Indonesia merdeka, Bung Karno sudah tiga kali berkunjung, yaitu tahun 1951, 1954 dan 1957. Tahun 1952 rumah ini pernah dijadikan Kantor Sosial Daerah Flores dan tempat bersidang DPRD Flores.
Di Rumah Pengasingan Bung Karno ini dapat dijumpai beragam barang rumah tangga yang dahulu digunakan Bung Karno. Saat berkunjung, traveller disarankan dipandu untuk mendapatkan penjelasan dan kisah menarik di baliknya.
Lukisan dan Naskah
Setelah mengisi buku tamu dan membayar tiket Rp2.500, saya melewati pintu berdaun ganda. Di ruang tamunya terdapat kursi rotan dan satu meja bundar yang biasa Bung Karno gunakan untuk menjamu tamunya.
Di dinding rumah tergantung lukisan sosok Soekarno karya Affandi yang mulai pudar. Ada pula lukisan Pura Bali yang dibuat Bung Karno tahun 1935. Beberapa foto Bung Karno bersama keluarga dan teman-temannya terpajang juga.
Lukisan tangan Bung Karno tentang Pura Bali adalah bentuk rasa hormat Bung Karno kepada ibunya yang berasal dari Bali. Dalam lukisan pura dengan atap miring itu, ada empat orang sedang berdoa, terdiri dari pemeluk Islam, Kristen, Hindu dan Buddha.
Penggambaran ini menyiratkan masyarakat Indonesia yang hidup rukun berbeda agama berdoa bersama dan atap miring puranya menggambarkan Pemerintah Hindia Belanda sudah hampir jatuh.
Di sebuah lemari kaca, ada dua tongkat kayu yang biasa dibawa Bung Karno dimana ujungnya berkepala kera. Tongkat tersebut digunakan Bung Karno apabila bertemu dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Bung Karno tidak membalas hormat penguasa Hindia Belanda dengan anggukan tetapi dengan mengarahkan tongkatnya yang berkepala kera. Cara ini sebagai simbol bahwa sifat penjajah hanya bisa dihargai oleh binatang dan tidak oleh sesama manusia.
Dalam lemari kaca juga tersimpan naskah tonil karya Bung Karno dalam map berwarna oranye. Selama di Ende, Bung Karno menghasilkan 13 naskah tonil, diantaranya adalah: “Dokter Setan”, “Aero Dinamik”, “Jula Gubi”, dan “Siang Hai Rumbai”. “Rahasia Kelimutu”, “Tahun 1945”, “Nggera Ende”, “Amuk”, “Rendo”, “Kutkutbi”, “Maha Iblis”, dan “Anak Jadah”.
Naskah-naskah tonil tersebut digunakan Bung Karno untuk mengobarkan semangat rakyat merebut kemerdekaan. Pementasan dramanya saat itu dilakukan di Gedung Imakulata, milik Paroki Katedral Ende yang lokasinya berada di Jalan Irian. Sayang, kondisinya saat ini rusak parah.
Pengikut setia Soekarno, Djae Bara, sebelum meninggal tahun 1990-an, pernah memaparkan kepada koran nasional (Kompas) bahwa dalam satu karya tonil tahun 1935- 1936, Bung Karno meramalkan Indonesia akan merdeka tahun 1945. Kemerdekaan itu tidak direbut dari Belanda melainkan dari sesama bangsa Asia.
Sangat disayangkan, sebagian naskah tonil karya Bung Karno saat ini tidak jelas keberadaannya. Yang tersimpan di Ende hanya ada 7 naskah salinan dari Ibrahima Umarsjah (almarhum), yaitu mantan asisten sutradara Bung Karno.
Rahim Pancasila
Bung Karno biasa merenung di sebuah lapangan dengan pohon sukun yang besar menaunginya. Tempat ini menghadap Teluk Sawu dengan lautnya yang tenang dan dikelilingi bukit-bukit hijau menyejukkan mata dan hati.
Dari perenungannya, Bung Karno menyadari bahwa semangat untuk meraih kemerdekaan tidak bisa berhenti, tetapi tak bisa lepas dari kehendak semesta.
Dalam buku biografi Bung Karno karya Cindy Adams berjudul “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” ditulis bahwa Bung Karno gemar merenung di bawah pohon sukun (Artocarpus communis) yang menghadap ke laut.
Pohon aslinya kini sudah tiada karena tumbang oleh angin. Kini, pohon itu berganti dengan pohon sukun baru yang ditanam sejak 17 Agustus 1981. Penanamannya melalui upacara dihadiri sekitar 40 teman Bung Karno yang pernah mendampinginya di Ende pada 1934.
Pohon sukun tersebut lokasinya 100 meter dari Rumah Pengasingan Bung Karno. Tepatnya di Lapangan Perse (sekarang dinamakan Lapangan Pancasila). Oleh sebagian masyarakat, pohon tersebut dianggap keramat dan lebih dikenal sebagai Pohon Pancasila.
Menurut cerita masyarakat, saat hari panas maka Bung Karno sering duduk berteduh di bawah pohon sukun tersebut sambil memandangi daun sukun yang bergigi lima dan bersudut lima pada setiap sisinya.
Di bawah pohon itu, Bung Karno merenungkan dasar negara Indonesia yang kelak menjadi Pancasila. Pemikiran Bung Karno di Ende sudah meliputi semua sila Pancasila. Saat itu, Bung Karno menyebut sebagai Lima Butir Mutiara.
Tidaklah salah apabila Ende disebut sebagai Rahim Pancasila. Ende telah memberi pengaruh besar bagi Bung Karno, terutama kerukunan hidup antarumat beragama di Ende. “Di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila.”