“Lukisan ini indah sekali, Jo.” Pria berkepala lima tersebut mengomentari kanvas berukuran 20×30 cm yang kuletakkan pada easel yang berdiri kokoh di pojok ruang keluarga rumah kami.
“Tentu saja, Yah. Ini dibuat dengan hati, aku sungguh menyesal baru menemukannya sekarang. Aku akan mengunjunginya malam ini. Ayah mau ikut?” Aku memperhatikan dengan saksama bagaimana wajah lawan bicaraku yang sedang memandangi kanvas bergambar bunga merambat itu kini dihiasi keriput sana-sini.
Pria yang kupanggil Ayah tersebut terkikik dengan napas pendeknya. “Ayah sudah terlalu tua, Jo. Persendian Ayah tak lagi kuat untuk melakukan perjalanan jauh, pulang kampung dalam setahun sekali pun terasa sangat melelahkan. Namun, tidak bisakah berangkat besok siang saja seperti biasanya, Nak? Ayah sungguh mengkhawatirkanmu.”
Aku merentangkan lengan kananku, merangkul bahu lebar Ayah. “Tidak bisa, Yah, lukisan ini harus sampai tepat waktu. Aku juga sudah mengatur jadwal bimbingan mahasiswaku.
Lagi pula aku bukan anak kecil lagi, Yah, bulan lalu usiaku tepat 29 tahun.”
“Kamu selalu menerangkan betapa sibuknya diriimu, Jo, tetapi tak pernah absen mengunjunginya setiap bulan,” sahut Kak Intan, kakak perempuanku satu-satunya. Ia bergabung bersama kami.
“Agendaku memang padat, Kak, tetapi untuknya ataupun kalian pasti aku selalu punya waktu. Ngomong-ngomong, Kakak bakal menginap di sini?” Aku mengambil duduk tepat di sebelah Kak Intan.
“Aku melihat postingan terbarumu mengenai lukisan itu, Jo. Siapa lagi selain putri sulung Ayah yang dapat menemani beliau ketika kamu sedang tidak di rumah?” tanya wanita berkepala tiga tersebut sambil berlalu menuju dapur.
Sesekali aku menanggapi beberapa pandangan Ayah mengenai lukisan yang akan segera kupertemukan dengan pelukisnya. Walau tak terlalu paham mengenai kesenian, setidaknya aku di sisi sang pelukis kala lukisan itu dibuat.
“Aku ke kamar dulu, Yah, Kak,” pamitku. Setengah jam lebih kami habiskan waktu bersama dengan saling berbagi kisah ditemani cangkir-cangkir berisi teh hangat tanpa gula.
“Kakak titip salam buat dia ya, Jo.” “Ayah juga nitip untuk keponakan Ayah.”
***
“Hani!” Gadis berambut sepundak itu hampir saja terjungkal dari ayunan mendengar teriakanku memanggil namanya. Ujung baju terusan ungu yang ia kenakan terbang ke sana- kemari mengikuti gerakan ayunan tali yang menggantung pada pohon dekat rumah kami.
“Kak Jono? Aku kira Kakak sampainya lusa.” Hani memberhentikan laju ayunan lantas berdiri menyambutku.
“Kalau bisa hari ini kenapa harus menunggu besok, kan? Aku bisa ke sini juga setahun sekali, Han.” Aku mengisyaratkan pada gadis itu untuk kembali duduk lalu perlahan mendorong dan menariknya hingga kembali terayun.
“Kak, aku barusan tau kalau ternyata Kak Jono itu sepupu mama. Biar lebih sopan sebaiknya aku panggil Kakak dengan sebutan om atau paman? Paman Jono?” Hani bergerak cepat menutup mulutnya dengan telapak tangan, kami tertawa geli bersama. Aneh ketika mendengar Hani menyebutku paman, sedangkan selama belasan tahun ia selalu memanggilku kakak.
“Ya ampun, Han, kita beda tiga tahun doang, panggil kayak biasa aja! aku nggak keberatan sama sekali kok. Lagi pula aku dan mamamu sepupuannya jauh banget, buyut dari buyut kami yang bersaudara.” Ia memutar kepala, melihatku dengan ekor matanya. “Oh ya?”
Aku berdeham pelan, tetapi masih sampai ke telinganya. “Lukisan morning glory-mu apa kabar, Han? Sudah empat tahun kamu lukis itu dan sampai sekarang belum selesai.” Aku benar-benar penasaran dengan nasib salah satu lukisannya yang sejak lama kutunggu.
“Setelah ini aku lanjut, Kak. Aku selalu merasa butuh saran Kakak.” Aku mengambil duduk pada bangku panjang tak jauh dari ayunan. Di bangku tersebutlah Hani selalu melakukan hobinya dengan ditemani olehku ketika dahulu aku masih tinggal di desa ini, beberapa tahun yang lalu.