“Han, jangan sampai karena aku nggak ada di sekitarmu malah buat kamu terus-terusan mengulur waktu. Mamamu bilang sejak lukisanmu yang satu itu tertunda, kamu jadi nggak seproduktif dulu.” Ia tertunduk, poni belah tengahnya menghalangi pandangan lurusku ke arah matanya. Sekali lagi ia menghentikan gerak ayunan.
Aku berdiri, mengangkat dagunya, merapikan poninya, membiarkan tatapan kami saling bertabrakan. “Hei, laksanakan saja apa yang kamu suka, Han, nggak perlu nunggu aku hadir di tiap detik yang kamu lalui. Tanpa aku pun kamu sudah hebat, sangat. Percayalah!”
“Nggak, Kak, aku sama sekali nggak ada niatnunda. Aku hanya ingin mendalami makna dari objek yang kuabadikan. Maknanya dalam kata Tante Kurnia, itulah mengapa beliau tanam morning glory di halaman belakang rumah Kak Jono.” Hah? Aku tercengang, benar-benar tak menyangka bahwa almarhumah ibuku juga memiliki andil atas ide lukisan Hani.
“Ibuku bilang maknanya apa, Han? Coba cerita.” aku kembali duduk, menunggu Hani menjelaskan.
“Beberapa tahun lalu semasa Tante Kurnia masih hidup, setiap berangkat sekolah aku perhatikan beliau pasti merenung di halaman belakang rumah Kakak.” Hani menjeda
sebentar, menyugar rambut hitam sebahunya. Hani bahkan lebih peduli pada wanita yang melahirkanku daripada aku selaku anaknya.
“Nah aku inisiatif nanya-nanya soal bunga itu soalnya beliau kelihatan sayang banget ke bunganya. Sayang yang aku maksud di sini beda dengan rasa sayang ke Kak Jono ataupun Kak Intan, ya.”
“pas lagi ngobrol, Tante Kurnia mulai nangis. Aku panik banget. Bayangin aja deh pas itu kalau nggak salah aku belum lama naik ke kelas 6 dan harus menghadapi tetangga yang nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba nangis sesenggukan.” Kedua mata sipit Hani terbuka lebar, menampilkan tampang terkejut yang menurutku lucu. Tanpa menyela, sesekali aku menggerakkan kepala sebagai tanggapan.
“Beliau bilang gini,” Hani berdeham.
“Hani, bunga ini menyimbolkan sepasang kekasih yang hanya dapat bertemu pada satu hari khusus dalam setahun dan juga cinta yang tak pernah berakhir.” Tak bisa dipungkiri bahwa Hani dapat menirukan gaya bicara ibuku dan isakan beliau dengan sangat baik.
Hani menempelkan salah satu ujung jari telunjuknya pada pelipis. “Aku langsung kepikiran ayah Kak Jono. Beliau kan kerjanya di luar kota dan hanya bisa pulang sekali dalam setahun. Nggak lama setelah itu, aku kepikiran untuk buatin lukisan khusus bunga morning glory supaya beliau bisa pajang di kamar dan melihat lukisan itu tiap bangun pagi. Sayangnya, beberapa pekan setelahnya beliau berpulang. Padahal lukisannya baru mulai dibuat.”
Hani berhasil membuat mataku berkabut lantas membiarkan airnya jatuh perlahan. Tak hanya aku, Hani pun ikut menitikkan bulir-bulir bening simbol ketulusan. “Setelah itu Kak Jono dan Kak Intan ikut pindah ke kota, rasa sedihku bertambah karena kehilangan teman dekat. Aku berhenti melukis dan setelah pulang sekolah selalu mengurung diri di rumah, kurang lebih hidupku begitu hampir setahun.” Aku merasakan kepedihan yang sama tatkala mengingat bagaimana dahulu harus meninggalkan desa tempatku dibesarkan.
“Saat Kak Jono datang pertama kali setelah pindah aku merasa punya semangat lagi dan aku pikir lukisan ini berhubungan dengan orang terdekat Kakak makanya aku mau lanjut kerjainnya bareng Kak Jono walaupun setahun sekali seperti yang dilambangkan oleh bunganya. Gimana? Alasanku oke, kan?” Aku mengacungkan jempol, menampilkan senyum terhangat, meyakinkan Hani bahwa pilihannya tepat dan aku mendukungnya penuh.
Hani berdiri, melangkah maju, mengulurkan tangannya. “Kalau begitu, ayo kita lanjut. Morning glory yang Tante Kurnia tanam udah aku pindahin ke halaman rumahku, jam segini seharusnya sudah mekar.”
Aku menyambut ulurannya, mengikuti langkahnya.
“Dulu sewaktu kita akan berpisah, Kak Jono nanyain cita-citaku dan aku jawab aku masih pengen main dan melukis sepuasnya. Dulu mungkin karena masih terlalu muda, aku pikir aku akan jadi anak-anak atau remaja selamanya. Sekarang aku tahu cita-citaku.”
Langkahnya behenti, begitu juga denganku. Ia mengunci sorot mataku. “Pelukis, ya?” tebakku.
Rambut pendeknya menari mengikuti gelengannya. “Lantas apa?”
Hani berjinjit, mendekatkan wajahnya, membisikku, “Kak Jono mau jadi dosen, kan? Aku mau jadi mahasiswa seni biar bisa diajar Kak Jono terus.”
“Serius? Jadi mahasiswa itu jangka waktunya nggak lama, Han. Lagi pula aku nggak mau jadi dosen yang berhubungan dengan kesenian,” Hani tercengang, memamerkan tampang kecewa.
“Ya sudah. Kalau begitu”
“HANI MAU JADI PELUKIS TERKENAL,” teriak Hani sekencang-kencangnya sembari berlari menuju rumahnya.
Aku hanya bisa menggeleng kepala melihat kelakuannya yang sudah mewarnai hari-hariku. Hani … Hani ….
***
Kenangan itu kembali memenuhi kepalaku. Di mana setelah memaknai karya terlama yang Hani lukis, akhirnya di hari yang sama Hani bisa menyelesaikannya dengan penuh haru.
Kenangan yang terukir ketika aku masih begitu belia. Kala itu aku duduk di tahun ketiga SMA, sedangkan Hani di tahun ketiga SMP.
Aku memarkirkan mobil yang kukendarai pada tepi jalan trans. Beberapa jam yang lalu aku berangkat dari desa masa kecilku setelah beberapa hari belakangan mengunjungi kediaman Hani dan rumah kedua orang tuanya. Cuaca lembab dan berkabut khas pegunungan menyambutku ketikla turun dari mobil.
Setiap melewati jalan ini sewaktu pulang kampung, aku tak pernah luput memastikan morning glory yang kutanam di belakang salah satu pembatas jalan ini tumbuh subur dan dapat mekar setiap paginya.
Dahulu Hani begitu berputus asa karena tak memiliki uang yang cukup untuk datang ke kota, menghadiri wisuda SMA-ku. Ayah sudah menawarkan bantuan biaya, tetapi kedua orang tua Hani dengan tegas menolak.
Akhirnya Hani memutuskan untuk menjual lukisan morning glory yang ia buat setengah mati. Aku menyayangkan keputusan beratnya, tetapi Hani begitu optimis bahwa ia dapat melukisnya lagi atau dapat membelinya kembali nanti. Di lain sisi, hasil penjualan lukisan itu juga yang akan menutupi kekurangan biasa sekolah Hani sehingga aku tak bisa memaksa.
Sayangnya, mini bus yang mereka naiki menuju kota menghantam pembatas jalan di pegunungan ini. Hani yang duduk di depan tewas seketika akibat tabrakan tersebut. Tak ada yang menyangka bahwa hidup Hani benar-benar berakhir ketika ia remaja. Aku menanam bunga morning glory di tempat ini agar selalu mengingat lokasi di mana senyumnya terakhir mengembang.
Han, ternyata susah juga melacak jejak lukisanmu. Tenanglah di sana, Han. Lukisanmu telah kembali ke tempat yang seharusnya.
Penulis : Zahra Khaerunnisa