Munasiah Daeng Jinne, Cinta Dunia Seni Sejak Usia 8 Tahun

Pahlawan tanpa tanda jasa. Kalimat ini sangat lekat dengan profesi guru atau orang yang mendidik agar anak-anak bangsa cerdas dan mempunyai disiplin ilmu yang lebih maju. Ya, mungkin seperti itulah gambaran dedikasi orang-orang yang mempunyai jasa besar dan mampu membuat perubahan yang tidak hanya bagi dirinya, namun juga orang di sekitarnya.

Seiring dengan perkembangan zaman kekinian, kalimat pahlawan tanpa tanda jasa pun tidak hanya disematkan pada profesi guru saja. Namun profesi-profesi lain yang gerakannya banyak membawa perubahan positif bagi bangsa, suatu daerah, atau kalangan yang jarang dilihat oleh petinggi-petinggi bangsa. Seperti gerakan yang dilakukan oleh salah seorang perempuan berdarah Makassar Mandar, Hj Munasiah Daeng Jinne.

Nama Hj Munasiah Daeng Jinne mungkin tidak tercatat atau tidak masuk dalam daftar pahlawan revolusi yang membebaskan negeri dari belenggu penjajah. Tapi tahukah kalian? Tarian-tarian serta keseniaan dari Sulawesi Selatan yang sering digunakan untuk menghibur tetamu dalam berbagai acara-acara, baik itu acara pemerintahan maupun acara rakyat. Siapa yang memperkenalkan, menciptakan dan membawanya hingga ke mancanegara?

Tak perlu jauh-jauh mencari di jajaran pahlawan-pahlawan bangsa, karena dia adalah dara Sulsel bersuku Makassar Mandar, Hj Munasiah Daeng Jinne. Hingga usia senjanya saat ini, karyanya masih terus ada dan dicari oleh para penikmat seni tanah air.

Melalui tangan dinginnya, Hj Munasiah Daeng Jinne menciptakan berbagai gerakan tarian tradisional Sulawesi Selatan dan Barat. Tidak hanya gerakan tarian, kostum, pernak pernik para penari pun dibuat sesuai dengan gaya, gerakan dan nama tarian yang tentunya memiliki falsafah tersendiri.

Bukan cuma gerakan tarian yang ia ciptakan, rupanya, dara kelahiran Jeneponto, 27 November 1941 ini, sejak usia delapan tahun telah mencintai dunia seni. Meski ia terlahir di tengah keluarga yang tidak memiliki latar belakang seni, karena ayahnya adalah seorang pejuang kala itu dan ibunya bertugas mengurus anak. Namun baginya, seni dan budaya adalah satu kesatuan yang tidak akan bisa terlepaskan.

Baca Juga:  Sedang Tidak Mengajar, Guru Bisa Lakukan 6 Kegiatan Ini

Di usia remaja, bakatnya dibidang seni mulai nampak. Setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Guru pada 1950, ia diperbantukan di Kantor Gubernur Sulsel. Sambil mengajar di SRL/SGA yang terletak di jalan Jenderal Sudirman, ia terus mengasah bakatnya dan menekuni dunia seni hingga saat ini. Seni tari kreasi yang dikenal hingga kini, semua berkat kerja kerasnya bersama tim yang ia bentuk.

“Jadi, menjadi pelaku seni itu memang susah-susah gampang dan menyenangkan. Kalau saya pribadi, saya mencintai pekerjaan saya, makanya tidak ada kata lelah untuk mengerjakannya. Pernah  sekali waktu, saya membawa rombongan ke Yogyakarta, saat itu saya mengandung dan akhirnya satu anak saya lahir di sana. Mengenai suka duka, hampir tidak ada dukanya, ya karena itu tadi, karya dan cinta,” kata Daeng Jinne – sapaannya, saat dikunjungi oleh FAJAR PENDIDIKAN di kediamannya.

Sekolah Kesenian

Ia bercerita dan berbagi banyak hal kepada FAJAR PENDIDIKAN tentang perjalanan dan karirnya, hingga ia menciptakan penari-penari generasi baru yang menjadi penerus tongkat estafetnya dalam bidang kesenian, menjadi kebanggaan tersendiri bagi ibu sepuluh anak ini.

- Iklan -

Menurutnya, tarian klasik nan tradisional tak terpisah dari nilai-nilai luhur, dimana nilai-nilai tersebut yang membentuk koreografi dan susunannya hingga menjadi indah dengan diiringi suara-suara irama musik khas Sulawesi Selatan, seperti ‘pui-pui’, ’gendang’, ‘dengkang’, ‘anak baccing’, dan lain-lain.   Dan dalam perkembangan tari dari masa ke masa, khususnya di Sulsel dikenal berbagi macam tari tradisional, yang mana isi makna dan tujuannya melambangkan falsafah kehidupan masyarakat.

“Pada tarian tradisional kita (Sulsel), tidak banyak mengandung unsur bentuk tari pertunjukan karena seluruh peralihannya berhubungan erat dengan kehidupan tradisional masyarakat. Dalam kehidupan tari itu pada hakikatnya erat hubungannya dengan kehidupan adat istiadat dalam lingkungan pergaulan, terutama yang berhubungan dengan pergaulan antar lawan jenis dalam batas-batas dan aturan-aturan tersendiri yang harus dipatuhi secara turun-termurun,” ucapnya.

Baca Juga:  Meutya Hafid, dari Jurnalis Lapangan Hingga Jadi Menteri Komdigi

Menjadi seorang penari dan pencipta bukanlah hal yang mudah bagi Daeng Jinne. Sebab jiwanya terus menuntutnya untuk selalu membuat ide-ide baru mengenai tarian. Oleh sebab itu, bersama timnya pada tahun 1971, ia mendirikan Sekolah Kesenian yang beroperasi hingga saat ini.

Di tangannya, tidak hanya gerakan tari yang tercipta tetapi juga puisi-puisi indah yang bercerita tentang tradisi Sulsel. Saat FAJAR PENDIDIKAN berada di kediamannya, Daeng Jinne sempat menunjukkan kebolehannya dalam membawakan tarian, membacakan beberapa puisi tulisan tangannya, serta memperlihatkan adegan aktingnya pada film Sunset di Pantai Losari, yang digarap oleh Aca Hasanuddin Mt.

“Pada tahun 1971 itu, saya mendirikan Sekolah Kesenian yang terletak di Sungguminasa, Gowa. Kita punya organisasi Lembaga Sanggar Kesenian Sulsel, dulu organisasi itu sangat penting dalam membantu pemerintah dan masyarakat. Jadi saat menari, saya tidak serta merta menjadi penari yang muncul di atas panggung. Karena saya diperbantukan di kantor pemerintahan jadi saat itu saya sering dipanggil untuk melatih menari para staf dan guru-guru sekolah, di samping itu kita juga mengisi acara-acara yang diadakan oleh pemerintah,” ungkapnya.

Kerja keras Daeng Jinne dari tahun ke tahun memang berliku, namun hal itu tidak sia-sia. Terbukti dari berbagai penghargaan yang diraihnya, berbagai karya yang dipublikasikan oleh media, dan ribuan penari yang lahir dari tangan terampilnya.

Meski usianya tidak terbilang muda lagi, namun semangatnya dalam berkarya masih berapi-api. Hal itu terlihat, saat ia dengan fasih menjelaskan seperti apa seni dan tarian itu.

“Seperti halnya manusia yang mempunyai adat istiadat, tarian hingga kostum yang digunakannya pun memiliki hal itu. Kita lihat tari Pakkarena adalah salah satu tarian tradisional yang pastinya memiliki falsafah pada kehidupan kita. Dalam tarian tersebut menceritakan bagaimana seorang perempuan dalam bermasyarakat, dalam kehidupan sehari-harinya.”

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU