Musibah berasal dari kata bahasa Arab “ashaba” yang artinya mengenai, menimpa, atau membinasakan. Musibah menurut Alquran adalah bentuk ujian dan teguran dari Allah SWT, berupa hal baik maupun buruk, seperti kelaparan, kematian, kekurangan harta, dan lain sebagainya.
Musibah atau sering disebut juga sebagai petaka, menurut istilah identik dengan semacam teguran atau peringatan. Musibah itu datang dengan izin Allah, melalui perantara makhlukNya.
Wahab bin Munabih rahimahullah berkata: “Tidaklah orang dikatakan faqih hingga menilai musibah sebagai nikmat dan kesenangan sebagai nikmat, karena orang yang tertimpa musibah menanti kelapangan dan orang yang senang menanti datangnya bala.” (Mausu’ah Fiqh al-Ibtida’ 4/50).
Kesulitan dan kemudahan adalah takdir Allah Ta’ala semua yang menimpa hamba-Nya pasti mengandung hikma untuk kebaikan dan kemaslahatannya meski terkadang akal terbatas manusia tak mampu mencernanya.
Para salafush saleh telah memberi formula teladan bagaimana seorang hamba menyikapi musibah yang menimpanya. Musibah dalam pandangan mereka justru membuahkan nikmat luar biasa karena mereka sangat yakin akan datangnya pertolongan Allah Ta’ala.
Orang beriman harus percaya janji Allah Azza wa Jalla:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya dalam kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya dalam kesulitan ada kemudahan” (Qs. Al Insyiroh: 5-6).
Dengan modal di atas insyaallah seorang mukmin tak akan berputus asa bahkan menjalani taqdir musibah dengan sikap optimisme sembari menanti pertolongan Allah Ta’ala. Semua harapan dan cita-cita mulia itu akan terwujud ketika dilandasi semangat iman dan takwa yang kuat akan kemaha-kuasaan Allah Ta’ala.
Keyakinan kokoh yang disertai ilmu yang benar bahwa Allah Maha Adil dan Bijaksana kepada semua hamba-hamba-Nya.
Selalu Berprasangka Baik Terhadap Setiap Musibah yang Terjadi
Pribadi shalih adalah sosok yang selalu berprasangka baik pada setiap takdir-Nya. Menjauhi keluh kesah dan senantiasa mengimaninya sebagai realisasi iman pada ketentuan-Nya baik yang membahagiakan atau menyengsarakannya.
Profil para salafuna shalih terus memperkokoh ibadah dalam kondisi gembira maupun susah sebagai bukti keimanannya.
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
تَعَرَّ فْ إِلَى اللَّهِ فِيْ الرَّخَاءِ يَعْرِفُكَ فِيْ الشِّدَّةِ
“Beribadahlah kepada Allah saat kamu gembira, niscaya Allah akan mengenalmu pada saat kena bencana“ (HR. Al Hakim, di-shahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no.2961).
Generasi terdahulu sangat antusias beribadah kepada-Nya pada segala situasi dan kondisi, keadaan susah tak menjadikannya surut beribadah dan tatkala Allah melapangkan hidupnya mereka tak kalah bersemangat.
Inilah gambaran mempesona potret manusia pilihan yang telah menjual diri dan jiwanya untuk meraih surga. Hati mereka senantiasa tergerak untuk selalu ber-taqarrub pada-Nya, serta memperbanyak permohonan doa dan pengampunan kepada-Nya.
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam mengajarkan doa:
اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَ أَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
“Ya Allah, tiada kemudahan selain apa yang Engkau jadikan mudah dan Engkau menjadikan kesedihan ini terasa mudah (ringan) jika Engkau menghendakinya” (HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya, no. 2427.
Ibnu Sunni no.351, Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Ini hadits shahih, juga dishahihkan oleh Abdul Qadir Al-Arna’uth dalam takhrijnya terhadap kitab Al-Adzkar Imam Nawawi, hal 106.
Beliau juga mengajarkan doa:
يَا حَيُّ ياَ قَيُّوْم ُبِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ
“Wahai Dzat yang maha hidup kekal lagi terus menerus mengurus, dengan rahmat-Mu aku minta perlindungan”. (Dishahihkan Al Albani dalam Shahihul Jami‘ no. 4791).
Berdoa Ketika Tertimpa Musibah
Doa itulah faktor penting agar seseorang mukmin tetap memiliki komitmen kuat untuk tegar saat diuji dengan musibah.
Dalam kondisi lapang pun kekuatan sebuah doa tetap diandalkan agar Allah Ta’ala membentengi mereka dari berbagai marabahaya dan perkara-perkara yang mengakibatkan penderitaan hidup lahir batin.