Trembesi tua yang tumbuh di tepi persawahan itu tampak agung lantaran tajuknya yang lebar. Daun-daunnya mengilap setiap tertimpa cahaya, dan kulit batangnya yang keras dan kasar menimbulkan kesan angkuh dan garang.
Akar-akarnya menonjol di permukaan tanah, menguasai area dengan diameter sepanjang hampir tiga meter. Orang-orang percaya, di pohon yang konon telah berusia lebih dari dua ratus tahun itu, danyang-danyang kampung berdiam.
Dulu sekali, ketika terjadi huru-hara 1965, tak kurang dari sebelas orang digorok lehernya di bawah pohon tersebut. Darah mereka yang tumpah ke bumi dengan segera diisap habis oleh akar-akar rakus trembesi itu.
Mayat mereka ditinggalkan begitu saja. Dan keesokan paginya, mayat-mayat itu menghilang. Orang-orang percaya, para danyang yang tinggal di pohon trembesi yang mengambil mayat-mayat tersebut.
Bagaimana pun juga, sebelas orang tersebut adalah penduduk kampung kami. Dan danyang-danyang, tidak bisa tidak, adalah pelindung kampung kami.
Sebelas arwah orang-orang yang sepertinya tak bertuhan itu kemudian bergabung menjadi penghuni baru pohon trembesi tersebut.
Sampai pertengahan tahun 1970-an, banyak penduduk kampung kami yang mengaku diganggu oleh penampakan – penampakan menyeramkan ketika melintas di sekitar pohon tersebut.
“Itu arwah dari orang-orang komunis,” kata mereka. “Mereka menjadi arwah penasaran sebab mereka tak bertuhan.”
Atas inisiatif kepala kampung, orang-orang kemudian menyelenggarakan tahlil dan memperbanyak membakar dupa di bawah pohon trembesi tersebut, agar arwah-arwah penasaran itu, meski tidak diterima Tuhan, berhenti mengganggu mereka.
Beberapa bulan kemudian, tak ada lagi cerita tentang penampakan di pohon trembesi itu. Kendati demikian, doa-doa kepada orang-orang yang mati di sana tetap dipanjatkan setiap tahlil rutin kampung seminggu sekali, dan dupa-dupa tetap dinyalakan pada malam Selasa Legi dan Jumat Kliwon.
Beberapa minggu sebelum lebaran haji tahun 2011 masehi, seorang maling sapi kabur dan menghilang di sekitar pohon trembesi itu. Bagaikan sebuah rutintitas, maling-maling kian agresif setiap musim haji.
Pada hari-hari itu, harga kambing dan sapi meningkat tajam. Sekitar sebulan sebelum lebaran haji, biasanya mulai terdengar kabar terjadi pencurian ,awalnya seperti desas-desus yang tidak jelas, namun lama kelamaan, kabar tentang pencurian muncul dari kampung-kampung sebelah.
Pada waktu itu pula, orang-orang kampung kami, yang memiliki ternak kambing atau sapi, berjaga di kandang ternaknya masing-masing.
Kandang- kandang ternak kampung kami terletak di sawah masing-masing pemilik ternak, terpisah satu sama lain, jauh dari pemukiman, untuk mencegah aroma tidak sedap binatang ternak mengganggu warga.
Kondisi ini memudahkan maling-maling melancarkan operasinya. Pada awal 2000an, kepala kampung kami – dia benar-benar orang yang baik – mengusulkan agar para pemilik ternak mendirikan kandang mereka di satu lokasi untuk memudahkan pengawasan.
Ia bahkan merelakan tanah ganjaran jatahnya sebagai tempat lokalisasi kandang-kandang tersebut.
Para pemilik ternak menyetujui usul itu, kemudian mereka mendirikan paguyuban dan mereka bergiliran menjaga lokasi kandang itu. Dengan itu, pengawasan menjadi lebih mudah, dan masing-masing orang tidak perlu ronda tiap hari memastikan ternaknya aman.
Maling yang menghilang di sekitar pohon trembesi beberapa minggu sebelum lebaran haji tahun 2011 masehi itu pertama kali dipergoki oleh jagabaya yang kebetulan bertugas jaga malam itu, bersama tiga orang lain.
Mereka membawa parang, sabit besar, tongkat besi, dan kartu remi, serta radio. Jagabaya hendak buang air dan tiga lelaki lain sedang bermain remi di pos ronda yang berada di tengah-tengah lokalisasi kandang ternak.
Sekitar setengah jam sebelumnya, mereka berempat keliling lokalisasi kandang dan keadaan aman-aman belaka. Jagabaya memejamkan mata, merasakan sensasi ketika air seni mengucur ketika ia mendengar lenguh kambing yang gelisah dari sebuah kandang. Jagabaya berusia setengah abad.
Dan lebih dari empat dekade, ia telah memelihara kambing. Jadi, ia tahu bagaimana suara kambing yang lapar, kambing yang birahi, atau kambing yang ketakutan. Jagabaya menahan kencingnya, namun air seninya tetap merembes juga.