Ia buru-buru menutup celana, membiarkan air seninya membasahi celana tersebut. Ia kembali ke pos, memberi isyarat agar para peronda menutup mulut, dengan nyaris berbisik ia memberitahu mereka tentang apa yang ia dengar.
Lalu masing-masing mencengkram senjatanya dengan tangan gemetar, dan bergerak mengendap ke kandang yang berada di pojokan, sekitar lima atau enam meter dari gerumbul semak yang dipakai kencing oleh jagabaya.
Itu adalah keputusan yang keliru. Si maling tampaknya curiga dengan kesunyian yang tiba-tiba menyergap.
Suara ramai orang bermain remi yang tiba-tiba menghilang, justru membuat si maling buru-buru keluar kandang, sebelum ia sempat menyeret kambing incarannya.
Bayangannya terlihat melompat ke dalam semak ketika jagabaya dan tiga orang lainnya sampai di kandang itu. Jagabaya berteriak dan si maling berlari semakin kencang. Mereka mengejarnya dengan jagabaya berada paling depan.
Jarak jagabaya dan si maling sekitar sepuluh meter. Maling itu lincah sekali melompati gulutan yang ditumbuhi ubi jalar. Dua orang di belakang jagabaya tersandung batang ubi jalar dan bangkit kembali sambil memaki-maki.
Jagabaya sadar ia tidak akan sanggup menjangkau si maling dengan tangannya. Maka ia memutuskan melemparkan parang di tangan kanannya. Parang itu berputar di udara, lantas membentur kaki kiri si maling.
Si maling tersungkur, kedua tangannya bertumpu pada gulutan, dan menggunakannya sebagai topangan untuk berjumpalit ke depan dan meneruskan berlari meski terpincang- pincang sebelum para pengejarnya berhasil meringkusnya.
Dan begitulah si maling sampai di pohon trembesi tua. Para pengejarnya sedikit ragu dan berhenti sebentar ketika mengetahui kemana si maling berlari.
Mereka saling berpandangan. Dan semenit kemudian, mereka memutuskan untuk terus mengejar. Ketika mereka sampai di bawah pohon trembesi, maling itu sudah tidak ada.
“Tapi ia tidak akan selamat,” kata jagabaya kemudian. “Parangku, seperti yang kalian tahu, sudah kukasih racun.”
Hingga berhari-hari kemudian, warga kampung kami menunggu kabar tentang penemuan jenazah dengan kaki membusuk dan mulut berbusa.
Kami juga memasang kuping baik-baik bila saja dari kampung-kampung sebelah ada berita tentang seseorang yang meninggal, dan segera datang bertakziah sekadar untuk memastikan apakah penyebab kematiannya.
Namun kabar yang kami harap-harapkan tak kunjung tiba meski tentu saja kejadian malam itu membawa dampak. Hari-hari berjalan damai tanpa ada satu pun kasus pencurian, atau sekadar percobaan pencurian.
Kabar tentang kejadian malam itu sudah tersebar luas dan itu sepertinya membuat para pencuri sedikit gentar memasuki kampung kami. Orang- orang tetap ronda, namun dengan kewaspadaan yang cukup longgar.
Suatu hari, kelonggaran itu meminta harga. Para peronda tertidur sebelum jam 1 dini hari. Dan ketika salah satu terbangun pukul tiga dini hari, ia mendapati salah satu kandang terbuka lebar.
Ia melongok dan menemukan kandang yang sebelumnya berisi empat ekor kambing jantan dan lima ekor betina, tinggal dihuni oleh kambing-kambing betina.
Si pemilik kandang, yang tidak kebagian jatah ronda malam itu, mengamuk habis-habisan dan hampir saja membacok salah seorang peronda, sebelum dihentikan oleh jagabaya yang kuat ketika menerima kabar itu pagi-pagi buta.
“Sabarkan dirimu,” kata jagabaya. Lalu si pemilik kandang menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.
Penjagaan diperketat semenjak itu. Bila sebelumnya, satu kelompok ronda terdiri dari empat orang, kini ditambah menjadi enam. Mereka membawa bekal kopi lanang kental yang mencegah mata mereka terpejam semalaman.
Penduduk kampung juga, secara khusus, membaca tahlil dan yasin serta menyalakan dupa di bawah pohon trembesi, meminta bala bantuan dan perlindungan dari para danyang dan arwah-arwah dari orang-orang yang mati di sana.
Pada malam takbir lebaran haji tahun 2011, para peronda kembali menggagalkan percobaan pencurian. Si maling terdesak hingga ke pohon trembesi.
Namun kali ini, para peronda tidak berhenti sejenak untuk menimbang apakah mereka akan meneruskan pengejaran atau tidak. Dendam dan kemarahan mesti terbalaskan.
Dan para danyang penghuni pohon trembesi, termasuk sebelas arwah orang tak bertuhan itu, semestinya membantu warga menjaga keamanan, sebab bukankah mereka telah menerima kiriman doa dan menyesap asap dupa persembahan? Para peronda terus merangsek.
Namun, mereka tak menemukan satu orang pun di bawah pohon trembesi itu. Mereka hanya mendapati seekor kambing jantan Jawa besar dengan jenggot tebal di bawahnya, mengembik gelisah, dengan kaki kanan depannya terperosok ke celah akar trembesi yang menonjol.
“Apakah maling tadi kabur sambil membawa kambing?” salah satu peronda bertanya keheranan. Tangannya memegang leher kambing itu.
“Aku yakin tidak. Jika ia lari sambil membawa kambing, tidak mungkin bisa secepat dan segesit tadi,” jawab peronda yang lain seraya menarik kaki kambing dari celah akar trembesi.
“Ini kambing siapa?” Semua menggeleng.
“Kambing ini tidak punya tali pengikat,” kata yang lain.
Mereka kemudian mengecek semua kandang. Mereka terkejut karena tak ada kandang yang kehilangan penghuni. Kambing jantan Jawa besar itu kemudian dibawa ke kampung.
Di masjid, sejumlah bapak-bapak masih mengumandangkan takbir. Kambing itu diletakkan di belakang masjid, diikat pada pasak pendek bersama kambing-kambing lain yang sebentar lagi bakal dipotong. Hari sudah hampir subuh waktu itu.
Keberadaan kambing itu diumumkan di masjid setelah salat idul adha rampung. Tak ada satu pun yang mengaku kehilangan kambing.
Mereka bersama-sama memeriksa kambing tersebut. Lantas ketua takmir masjid berkata, “Kalau tak ada yang merasa kehilangan, lebih baik kambing ini kita jadikan hewan kurban saja.”