Oleh Akhuukum Fillaah :
Abu Hashif Wahyudin Al-Bimawi
بسم الله الرحمن الرحيم
الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَ نَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لا نَبِيَّ بَعْدَهُ
Sebagian orang memiliki kelebihan harta yang sebenarnya sudah bisa berkurban dengan satu ekor kambing atau 1/7 sapi secara patungan. Namun memang sifat manusia sulit mengeluarkan harta yang ia sukai. Padahal kurban mengandung hikmah dan keutamaan yang sangat besar.
Kurban yang kita kenal biasa di sebut dengan udhiyah. Secara bahasa udhiyah berarti kambing yang disembelih pada waktu mulai akan siang dan waktu setelah itu. Ada pula yang memaknakan secara bahasa dengan kambing yang disembelih pada Idul Adha.
Sedangkan menurut istilah syar’i, udhiyah adalah sesuatu yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri pada Allah Ta’ala pada hari nahr (Idul Adha) dengan syarat-syarat yang khusus. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 5: 74)
PERINTAH UNTUK BERKURBAN
Kurban pada hari nahr (‘Idul Adha) disyariatkan berdasarkan beberapa dalil, di antaranya adalah:
Firman Allah Ta’ala:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an-nahr).” [Qs 108/Al-Kautsar (Nikmat Yang Banyak) : 2]
Di antara tafsiran ayat ini adalah “berkurbanlah pada hari raya ‘Iedul Adha (yaumun nahr)”.
Tafsiran ini di riwayatkan dari ‘Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu ‘Abbas, juga menjadi pendapat ‘Atho’, Mujahid dan jumhur (mayoritas) ulama. *[Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 9: 249]
Dari hadits terdapat riwayat dari Anas bin Malik Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata:
ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ قَالَ وَرَأَيْتُهُ يَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ وَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا قَالَ وَسَمَّى وَكَبَّرَ
“Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor kambing kibas putih yang telah tumbuh tanduknya. Anas berkata : “Aku melihat beliau menyembelih dua ekor kambing tersebut dengan tangan beliau sendiri. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher kambing itu. Beliau membaca ‘bismillah’ dan bertakbir.” *[HR. Bukhari no. 5558 dan Muslim no. 1966]
Kaum muslimin pun bersepakat (berijma’) akan di syari’atkannya Qurban. [Fiqhul Udhiyah, hal. 8]
HIKMAH BERKURBAN
- Kurban di lakukan untuk meraih Takwa. Yang ingin di capai dari ibadah kurban adalah keikhlasan dan ketakwaan, bukan hanya daging atau darahnya.
Allah Ta’ala berfirman:
*لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” [Qs 22/Al Hajj (Haji) : 37]
Kata Syaikh As-Sa’di mengenai ayat di atas: “Ingatlah, bukanlah yang di maksudkan hanyalah menyembelih saja dan yang Allah harap bukanlah daging dan darah kurban tersebut karena Allah tidaklah butuh pada segala sesuatu dan Dialah yang pantas di agung-agungkan. Yang Allah harapkan dari kurban tersebut adalah keikhlasan, ihtisab (selalu mengharap-harap pahala dari-Nya) dan niat yang sholih. Oleh karena itu, Allah katakan (yang artinya), “Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai ridho-Nya”. Inilah yang seharusnya menjadi motivasi ketika seseorang berkurban yaitu ikhlas, bukan riya’ atau berbangga dengan harta yang di miliki, dan bukan pula menjalankannya karena sudah jadi rutinitas tahunan. Inilah yang mesti ada dalam ibadah lainnya. Jangan sampai amalan kita hanya nampak kulit saja yang tak terlihat isinya atau nampak jasad yang tak ada ruhnya.” [Taisir Al Karimir Rahman, hal. 539]
2. Kurban dilakukan dalam rangka bersyukur kepada Allah atas nikmat hayat (kehidupan) yang diberikan.
3. Kurban dilaksanakan untuk menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim kholilullah (kekasih Allah) ‘alaihis sallam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail ‘alaihis sallam ketika hari an-nahr (Idul Adha).
4. Agar setiap mukmin mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimus sallam, yang ini membuahkan ketaatan pada Allah dan kecintaan pada-Nya lebih dari diri sendiri dan anak. Pengorbanan seperti inilah yang menyebabkan lepasnya cobaan sehingga Isma’il pun di ganti dengan seekor domba. Jika setiap mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka mencontoh dalam bersabar ketika melakukan ketaatan pada Allah dan seharusnya mereka mendahulukan kecintaan Allah dari hawa nafsu dan syahwatnya. [Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 5: 76]
5. Ibadah Kurban lebih baik dari pada bersedekah dengan uang yang senilai dengan hewan kurban.
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata: “Penyembelihan yang di lakukan di waktu mulia lebih afdhol dari pada sedekah senilai penyembelihan tersebut. Oleh karenanya jika seseorang bersedekah untuk menggantikan kewajiban penyembelihan pada manasik tamattu’ dan qiron meskipun dengan sedekah yang bernilai berlipat ganda, tentu tidak bisa menyamai keutamaan kurban.” [Lihat Talkhish Kitab Ahkamil Udhiyah wadz Dzakaah, hal. 11-12 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2: 379]. (Bersambung)