Pandemi Covid 19 memberikan dampak yang besar bagi kehidupan baik ekonomi, sosial dan pendidikan.
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting di kehidupan manusia, yang bisa memberikan dampak jangka panjang bagi negara.
Di Indonesia hal tersebut sudah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Bangsa maju karena sistem pendidikan yang sudah mampu memenuhi kebutuhan negara tersebut.
Di tengah wabah covid-19, pendidikan pun dipaksa harus tetap berjalan sebagaimana mestinya agar tidak ada yang namanya ketertinggalan dalam pendidikan.
Hampir tidak ada yang menyangka, wajah pendidikan akan berubah drastis akibat pandemi covid-19. Perubahan pendidikan pun menjadi sistem daring atau online.
Sejak bulan Maret tahun 2020 aktivitas pembelajaran daring (dalam jaringan) menjadi sebuah pilihan kementerian pendidikan dan kebudayaan untuk mencegah penyebaran virus Covid-19 yang semakin meluas.
Praktik pendidikan daring ini dilakukan oleh berbagai tingkatan jenjang pendidikan sejak tingkat SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.
Tidak ada lagi aktivitas pembelajaran di ruang-ruang kelas sebagaimana yang dilakukan oleh tenaga pendidik guru maupun dosen.
Pendidikan dimasa pandemi ini sangat membutuhkan teknologi, peserta didik maupun pengajar dituntut harus menguasai teknologi untuk menunjang pembelajaran secara online ini.
Kebutuhan tersebut, membuat mereka dapat mengetahui media online yang dapat menunjang sebagai pengganti pembelajaran di kelas secara langsung, tanpa mengurangi kualitas materi pembelajaran dan target pencapaian dalam pembelajaran.
Berbagai media pembelajaran jarak jauh pun dicoba dan digunakan. Sarana yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran online antara lain, e-learning, aplikasi zoom, google classroom, youtube, tiktok, maupun media sosial whatsapp.
Sarana tersebut dapat digunakan secara maksimal, sebagai media dalam melangsungkan pembelajaran seperti di kelas.
Dengan menggunakan media online tersebut, maka secara tidak langsung kemampuan menggunakan serta mengakses teknologi semakin dikuasai oleh peserta didik maupun pengajar.
Sistem pendidikan online pun tidak mudah dan terdapat hambatan. Hambatan tersebut seperti keluhan orangtua dan tenaga pendidik yang kesulitan, baik dalam menyediakan perangkat belajar seperti ponsel dan laptop maupun pulsa untuk koneksi internet.
Apalagi bagi yang tinggal di daerah yang belum ter-akses sinyal internet, maka hambatan tersebut menjadi hal yang paling serius dalam terlaksananya pembelajaran.
Di samping itu hambatan lainnya adalah disiplin pribadi untuk belajar secara mandiri. Peserta didik mengeluh atas kriteria ketuntasan minimum (KKM) yang mencekik, karena materi yang terasa sulit dan tidak ada tempat untuk bertanya secara langsung.
Sulit memahami materi akibat akses internet yang mengalami gangguan, maka proses pembelajaran pun menjadi terganggu, sehingga pemahaman terhadap materi pun mengalami kesulitan.
Jika biasanya belajar secara tatap muka saja masih belum paham, apalagi jika belajar yang dilakukan dengan sistem online.
Maka dari itu, perlunya inisiatif belajar mandiri dan juga dapat mencari sumber-sumber lain di internet untuk menambah pemahaman terhadap materi yang diajarkan.
Rasa malas dan sulit berkonsentrasi, belajar secara online justru malah menambah rasa malas dan juga sulit untuk berkonsentrasi.
Selain karena sudah pusing dengan tugas-tugas yang diberikan, juga menjadi lebih banyak waktu untuk bermain gadget.
Seperti bermain game, membuka instagram, twitter, youtube, tiktok dan sosial media lainnya dibandingkan dengan belajar.
Akibatnya muncul rasa malas yang sangat susah untuk dilawan dan juga sulitnya berkonsentrasi ketika belajar, terlebih ketika pengajar malah sering memberikan banyak tugas yang malah akan membuat diri peserta didik semakin bosan dan stress ketika belajar.
Rasa jenuh dan mengantuk jika didalam pembelajaran online hanya memberikan materi terus menerus tanpa ada jeda santai bermain game atau motivasi yang membuat semangat belajar meningkat.
Hambatan-hambatan tersebut membuat tingkat stres pada diri pendidik; peserta didik; dan wali peserta didik, dan berdampak yang diungkapkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim bisa melahirkan loss generation.
Lokadata mengungkapkan hasil survei anak putus sekolah yang dilakukan oleh Dana Anak PBB (UNICEF) pada Desember tahun 2020, bahwa ada satu persen atau sekitar 938 anak putus sekolah karena pandemi di Indonesia dari total anak putus sekolah pada tahun pelajaran 2019/2020.
Data ini diperkuat oleh Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, bahwa sudah lebih dari 150 anak yang putus sekolah karena alasan kerja dan nikah, sejak awal pandemi hingga Februari 2021.
Namun pada akhir tahun 2021, berdasarkan data nasional, tingkat penularan Covid-19 semakin menurun, berbanding terbalik dengan angka vaksinasi yang terus ditingkatkan.
Hal ini sudah seharusnya menjadi kabar bahagia bagi kita semua. Searah dengan hal tersebut, pendidikan juga dikabarkan akan segera kembali kepada jalan awal yaitu melakukan pembelajaran tatap muka atau bisa di sebut dengan sistem face to face.
Tentunya untuk kembali dalam sistem semula ada beberapa hal kembali yang harus di perhatikan untuk normalisasi pendidikan ini.
Seluruh pendidik dan peserta didik di wajibkan untuk mematuhi protokol kesehatan seperti tetap memakai masker, menjaga jarak dan tetap rutin mencuci tangan.
Selain hal-hal umum dia atas dalam normalisasi pendidikan ini ada beberapa yang patut disiapkan dan diwaspadai yaitu modifikasi kurikulum, pengembangan kurikulum atau desain ulang kurikulum sudah sepatutnya di jalani karena ada menyederhanakan kurikulum.
Hal ini tidak bisa dipungkiri karena selama pembelajaran jarak jauh, kompetensi dasar yang dicapai mengalami pengurangan secara otomatis.
Guru harus memilih dan merangkap beberapa KD untuk pencapaian dalam kurun waktu tertentu. Hal ini dilakukan karena pembelajaran jarak jauh sudah dipastikan tidak bisa merangkap semua kompetensi. Serta mengedepankan digitalisasi Pendidikan bagaimana mengadaptasi metode pengajaran sudah seharusnya disesuaikan dengan teknologi digital. Dimana seharusnya pembelajaran lebih mengedepankan sebuah proses, bukan hasil.
Sebab semua nilai-nilai jika diambil dari salah dan benar (hasil), maka teknologi digital sudah menyediakannya.
Di sisi lain, jika dilihat dari sisi guru, beragam kemudahan dalam mengakses proses pembelajaran seharusnya menguntungkan.
Setelah menghadapi peliknya sistem pendidikan pada masa pandemi, sekarang diharapkan sistem pendidikan kembali normal seperti biasanya. Karena masa depan bangsa bergantung pada pendidikan anak mudanya.
Sistem face to face yang akan kembali menggeluti keseharian lingkungan pendidikan agar berjalan dengan semestinya, meski akan ada banyak lagi adaptasi yang perlu dilakukan baik dari orang tua, pendidik maupun peserta didiknya.