FAJARPENDIDIKAN.co.id – Suatu kali, ada seorang akademisi yang menulis seperti itu di laman Facebook-nya. Saya tratapan seketika. Waduh, betul juga ya. Jangan-jangan saya salah satu di antara jenis manusia yang dia sebut-sebut itu. Atau bahkan jangan-jangan yang dimaksud itu memang spesifik saya!
Tak lama sesudahnya, datang kawan saya seorang juragan sambel yang rajin menulis di media daring. Dia meratap-ratap curhat begini.
“Mas, aku tuh kadang kepingin menulis sesuatu, tapi takut perspektifku salah. Akhirnya aku nggak berani menulis, dan kalaulah menulis ya cuma yang receh-receh aja. Jadi aku malah kehilangan banyak kesempatan untuk menyampaikan pemikiranku.”
***
Matinya kepakaran. Rasanya, wacana itu demikian populer belakangan ini, cukup sering disebut di mana-mana.
Entahlah, apakah segalanya bermula dari buku Tom Nichols, The Death of Expertise, ataukah terlebih dulu publik resah dengan fenomena matinya kepakaran dan baru kemudian Mas Tom menuliskan bukunya itu. Yang jelas, buku itu menyoroti betapa publik luas di era media sosial ini lebih mendengarkan suara para micro-celebrity di medsos, alih-alih mengacu para ahli yang jelas-jelas lebih punya kompetensi.
Era digital, terlebih lagi era medsos, memang membawa perubahan lanskap yang cukup siginifikan pada peta kebudayaan. Dulu, tidak semua orang bisa “berbicara”. Sekarang, mulai profesor yang bersin saja pakai metode yang sangat saintifik, sampai penganggur yang belum pernah pegang buku seumur-umur, bisa sama-sama bersuara.
Dari situlah matinya kepakaran itu bermula. Orang didengarkan bukan karena dia ahli dalam suatu bidang. Orang diikuti kata-katanya lebih karena pengaruhnya yang besar di media sosial. Semakin banyak follower atau subscriber seseorang di medsos, semakin dia disimak dan diperhatikan.
Maka, kepakaran pun mati. Setidaknya, itulah yang dikatakan oleh Tom Nichols. Pandangan itu disetujui oleh banyak pakar lainnya, termasuk mungkin oleh akademisi yang unggahan Facebook-nya saya kutip di awal tadi. Sebagian besar memandangnya secara negatif, penuh kecemburuan, sambil menyiratkan pernyataan bahwa ada sesuatu yang harus dibenahi dari masyarakat yang kacau balau seperti ini.
***
Sayang, saya bukan follower akun medsos Tom Nichols. Barangkali karena itu pulalah saya tidak sepakat-sepakat amat dengannya.
Bahwa sekarang ini para tukang berisik di medsos lebih didengarkan daripada para ahli, rasanya tak ada yang dapat membantahnya. Bahkan, sebagaimana yang tengah riuh-rendah belakangan ini, sebagian di antara mereka memonetisasi posisi sebagai micro-celebrity dengan menjadi buzzer. Mulai dari buzzer untuk berjualan produk-produk komersial, hingga buzzer isu untuk mendukung kekuatan politik ini dan itu.
Meski demikian, saya kira ada yang berlebihan dalam cara pandang atas jagat media sosial. Seolah-olah medsos adalah akar kebodohan publik, sehingga publik punya kontribusi terbesar dalam membunuh kepakaran.
Padahal, kalau kita mau konsisten kepada nilai-nilai demokrasi, sesungguhnya dengan medsos masyarakat lebih bisa mengakses hak kemerdekaan dan kesetaraan untuk bersuara. Dulu, hanya kalangan tertentu yang bisa muncul di media-media. Itu contoh termudahnya. Kalau Anda bukan pejabat, bukan akademisi, bukan tokoh masyarakat, bukan ahli dalam suatu bidang, sangat tipis kemungkinannya pendapat Anda dihadirkan di sebuah media dan disimak ribuan orang.
Sekarang, akses untuk meraih keterbacaan pada skala luas bukan hanya monopoli para “oligarki pengetahuan”. Seorang tukang ojek bisa. Seorang ibu rumah tangga bisa. Seorang pedagang sambel bisa. Caranya, mereka menciptakan media mereka sendiri, yaitu melalui akun di media sosial.
Iklim yang lebih anti-hierarki seperti ini tak ayal berpengaruh juga ke media-media konvensional. Mereka tidak mau terikat pada cara pandang lawas yang hanya memberikan akses hak bersuara kepada segelintir orang. Walhasil, apa yang muncul di media sosial dan tulisan-tulisan yang nongol di media konvensional tak lagi tampak terlalu berbeda. Maka, muncullah apa yang disebut sebagai “orang tanpa latar keahlian tapi bisa bicara macam-macam”.
Nah, apakah situasi seperti itu menjadi hal yang perlu ditakutkan dan dihadapi dengan penuh kegelisahan? Di sinilah saya berbeda dengan para pakar yang konon resah dengan kematian mereka sendiri itu.
***
Sederhana saja. Saya menganalogikannya dengan warung kopi. Media sosial adalah warung kopi. Di warung kopi, siapa pun bisa berbincang tentang apa pun. Mulai gosip perselingkuhan tetangga, naiknya harga beras, hingga konflik politik paling mutakhir. Semua bebas-bebas saja, tak ada larangan, tak ada aturan di warung kopi yang menyatakan, “Mohon Pengunjung Tidak Berbicara di Luar Bidang Keahliannya”.
Lalu, siapa yang paling didengarkan di warung-warung kopi? Tentu saja orang-orang yang paling pintar berbicara. Mau Anda pintar setinggi Monas, tapi kalau cuma diam terus dan menghabiskan waktu dengan ngemil bakwan, tak pernah ikut ngobrol, dan sekalinya ngobrol kalimat-kalimat Anda sulit dipahami orang, ya Anda tidak akan didengarkan.
Persis demikian juga media sosial. Di medsos, kita adalah warga biasa, dan bicara apa saja. Mulai pamer makan apa di restoran mana, akhir pekan ini piknik ke mana, malam tadi pakai skin care apa, hingga membicarakan pasal-pasal dalam RUU bermasalah, semua bisa. Pembatasan topik obrolan yang harus sejalan dengan bidang keahlian bisa jadi semakna dengan represi atas hak bersuara.
Lalu, siapa yang paling didengarkan di media sosial? Tentu saja sama persis aturan mainnya dengan warung kopi: siapa saja yang paling ceriwis dan paling pintar berbicara!
Sesimpel itulah media sosial. Jangan sampai lupa bahwa ada kata “sosial” pada istilah media sosial, sehingga mekanisme-mekanisme yang berjalan di sana pun merupakan mekanisme yang berkarakter sosial.
***
Jadi, ini semata-mata perubahan bentuk. Dulu ada warung kopi, sekarang ada medsos. Sejak dulu di warung kopi semua bebas ngomong apa saja, sekarang di medsos demikian juga. Di warung kopi, yang paling didengarkan adalah mereka yang paling lihai berbicara, dan ternyata di medsos pun begitu pula.
Pembedanya adalah respons media-media konvensional. Saya lihat sekarang media konvensional jauh lebih terbuka menampung suara dari orang biasa di luar para anggota rezim kebenaran pengetahuan.
Ya, bukan berarti dulu sama sekali tidak begitu. Tetap ada orang-orang seperti mendiang Mahbub Djunaidi, misalnya, yang mendaku diri sebagai seorang generalis alih-alih spesialis. Mahbub bisa menulis tentang politik, agama, ekonomi, seni rupa, hingga tentang diplomasi luar negeri. Salah satu tulisan Mahbub yang paling saya sukai adalah tentang kostum para tokoh dunia, yang saya baca dengan nikmat tanpa saya harus bertanya, “Lho kok Mahbub menulis tentang kostum? Apa dia desainer fashion, kok berani-beraninya nulis itu?”
Dengan peta situasi seperti ini, saya ingin menjawab curhat kawan saya si pedagang sambel itu tadi.
“Halah, gitu aja kok galau. Kita ini warga negara. Warga berhak bicara apa saja, lha wong itu hak masyarakat sipil. Memangnya yang bisa mikir cuma para pakar? Apalagi terkait hal-hal yang berpotensi mempengaruhi kepentingan kita sebagai warga. Soal ribut-ribut undang-undang belakangan ini, apa lantas kita nggak boleh bicara, mentang-mentang kita bukan alumni Law School-nya Yale University?”
Kira-kira seperti itulah pesan yang akan saya sampaikan. Adapun kepada para pakar sendiri, saya ingin mengatakan: kalaulah sampean yakin kepakaran telah mati, maka yang membunuhnya adalah Anda-Anda sendiri. Kenapa? Karena sampean sibuk ngemil bakwan saja di warung kopi.
Maka, taruh dulu bakwan scopus-nya, dan mulailah ikut berbincang-bincang dengan semuanya. Sodorkan pandangan yang tajam, ilmiah, akurat, tapi tetap dengan gaya para pengunjung warung kopi yang tak sudi mendengar istilah-istilah sekolahan yang ngeri-ngeri.
Ah, tapi untuk berbincang ala warung kopi lewat tulisan-tulisan di medsos juga tidak gampang sih. Ada tekniknya. Minimal Anda bisa menulis dengan cair, licin, lincah, dan membuat orang terus menyimak tuturan Anda.
Oh ya, saya sendiri membuka kelas-kelas menulis untuk melatih keterampilan seperti itu. Para pakar yang ahli-ahli bisa bergabung di situ. Tentu karcis masuknya mahal. Lha ya jangan protes, kan di bidang itu saya memang pakar! Hahaha!
Penulis: Iqbal Aji Daryonoesais, penulis tema palugada