FAJARPENDIDIKAN.co.id-Setiap peristiwa punya hukum sebab akibat. Manusia menjadi tak berdaya jika tidak memahami hal demikian.
Kembali ke-14 tahun silam, tepatnya di tahun 2006, saat anak seusia saya harus menentukan nasib sendiri akan perihal masa depan. Tamat SMA dan setelahnya bertanya akan seperti apalagi selanjutnya?
Orang tua saya dikaruniai enam orang anak di tengah kondisi ekonomi yang terbilang sulit. Tidak mudah dihadapkan dalam realitas semacam itu, terlebih latar belakang kedua orang tua tidak pernah mendapat pendidikan formal menjadi kendala dalam kehidupan yang terus menerus berubah. Keluarga saya teralienasi dari peradaban yang menuntut kreativitas dan modal finansial untuk maju.
Konsekuensinya adalah tiga dari empat orang kakak saya yang semuanya adalah perempuan harus rela tamat di bangku sekolah dasar, satu orang lagi hanya tamat di bangku SMP dan satu adik saya berjuang bersama sampai di perguruan tinggi. Dua hal yang memberatkan kenyataan saudara-saudara perempuan saya adalah hidup dalam konteks masyarakat patriarki yang menempatkan perempuan pada batas-batas tertentu, dan lebih beratnya lagi soal kedua adalah terkait masalah ekonomi keluarga.
Secara sadar tradisi pendidikan di keluarga belum terbangun dan menjadi variabel penting dalam kehidupan keseharian kami. Soal cita-cita melanjutkan pendidikan adalah adanya nyanyian populer di masa saya terkait kecemerlangan otak seorang Insinyur B.J Habibie.
Lagu dengan lirik “Habibie Botak Ulunna Nataro Kappala Luttu (baca: Habibie botak kepalanya karena kapal (pesawat) terbang” saya yakini menjadi nyanyian pemantik semangat pendidikan yang inspiratif bagi banyak anak-anak kecil kala itu.
Tapi, menggapai sebuah harapan tak cukup dengan modal angan-angan semata. Harus ada langkah nyata mendapatkannya. Akar masalah dalam keluarga saya sudah jelas. Faktor penghambatnya adalah soal biaya pendidikan.
Maka sejak saat sebelum dan ketika sudah sekolah saya sudah berusaha berjualan keliling kue-kue tradisional seperti Rizal penjual kue Jalangkote yang lagi viral, dan pekerjaan apa saja yang bisa menghasilkan uang. Mulai dari menangkap kura-kura, sesekali ikut jadi kuli bangunan di waktu-waktu berikutnya, menjual kupon putih yang secara hukum terlarang.
Tertib hukum dan soal moralitas sirna dari upah 2,5% setiap pembelian satu angka nomor togel yang kala itu dibanderol 1.000 rupiah per satu angka. Jadi potongannya jelas, 250 rupiah masuk kantong, selebihnya masuk bandar. Larangan orang tua yang terpatri dalam hati saat itu adalah “Jangan pernah mencuri nak.” Jadi jelas kupon putih tidak masuk dong, pikirku polos waktu itu.
Melewati tiga jenjang pendidikan dengan kondisi ekonomi yang belum juga membaik membuat saya berpikir berkali-kali untuk mencari cara melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Tawaran bebas tes masuk di Universitas Hasanuddin tidak sepenuhnya menjadi kabar baik bagi saya dan keluarga, sementara keyakinan akan janji Allah bagi mereka yang menuntut ilmu akan diangkat derajatnya sudah sangat saya yakini.
Tiba di sekolah saya mendengar suara dari sosok pemuda di balik tembok kelas saya yang begitu semangat menjelaskan sesuatu. Anak-anak waktu itu antusias memenuhi kelas 3 IPA 1. Setelah saya perhatikan Ia adalah salah satu alumni sekolah yang berprestasi setingkat di atas saya yang telah kuliah di perguruan tinggi, namanya Muhammad Haris.
Teman saya berkata anak Unhas tawwa. Kata tawwa menjelaskan betapa bergengsinya nama Unhas dan menjadi magnet tersendiri bagi kalangan pelajar di kampung saya. Saya tersenyum dan kembali mendengarkan penjelasan dari pintu kelas karena kebetulan saya bukan bagian dari kelas itu. Saya anak IPS. Perihal lengkap informasi Beastudi Etos saya dapat dari sahabat saya, salah satu siswa dari kelas tersebut.
Saya bergegas ke ruang guru mempersiapkan berkas persyaratan bebas tes masuk Unhas sekaligus mempersiapkan berkas persyaratan mendaftar di Beastudi Etos. Sampai semuanya selesai saya berangkat ke Makassar.
Hari pertama saya sampai di Makassar langsung menuju Asrama Arun Kost, tempat para penerima Beastudi Etos dibina. Alhamdulillah, kamar Kak Haris menjadi pelabuhan pertama sebelum mengikuti berbagai rangkaian tes masuk Beastudi Etos. Setelah tes selesai saya meminta izin ke Kak Haris untuk tetap menginap sementara waktu sambil menunggu pengumuman.
Di sela waktu sebelum pengumuman keluar saya sering diajak ikut demonstrasi di depan kantor DPRD Sulsel yang dikomandoi oleh Kak Anwar, ST yang waktu itu mengemban amanah penting menggerakkan roda organisasi KAMMI Sulselbar sebelum akhirnya menjadi orang nomor satu di lembaga kemahasiswaan ekstra kampus tersebut.
Saya masih ingat waktu itu wartawan memanggil saya setelah saya pekikkan kalimat Allahu Akbar! Dan bertanya kamu anak KAMMI ya? Saya jawab belum masuk. Karena memang waktu itu belum masuk kuliah. Kemudian ia balik berkata “Pantas kamu pakai tangan kiri.” Saya bengong dan kemudian berlalu.
Berselang beberapa waktu pengumuman penerima Beastudi Etos keluar dan saya menjadi bagian dari 350 orang penerima Beastudi Etos di seluruh Indonesia.
Pada tahun 2007, kali pertama saya ke Jakarta, naik pesawat. Bukan main bahagianya. Terlebih setelah berkumpul dengan seluruh penerima Beastudi Etos dari seluruh Indonesia hati ini rasanya bergemuruh bisa berdiskusi, menerima materi mulai dari motivasi dari pengusaha sekaligus penulis sekelas Jamil Azzaini. Menampilkan pertunjukan parodi hasil karya kami dari Makassar di kampus UI, masuk di Metro TV dan tempat-tempat penting lainnya di Jakarta.
Saya punya cerita tersendiri di sela-sela kegiatan sebelum rangkaian rundown acara dimulai. Sebelum seluruh peserta hadir dari asal daerah masing-masing saya sempat usil pada peserta dari Sumatera, saya panggil mereka berkumpul seolah-olah saya senior panitia dan menanyakan perihal keterlambatan sampai lokasi acara di Bogor.
Nanda yang waktu itu dengan kikuk menjawab pertanyaan saya dengan terbata-bata. Hahahhaha. Setelah saya dan teman-teman dari Makassar yang saat itu memang lebih dulu sampai lokasi diminta oleh panitia berkumpul, membuat Nanda dan teman-teman dari daerah yang lain jadi bingung. Hahahaha, saya tertawa lagi dan berkata, kita sama-sama peserta. Itulah hal yang membuat kami begitu akrab.
Saya sungguh bersyukur!
Jika ditanya, hal apa yang saya dapatkan di Beastudi Etos? Maka sebelum saya menjawab saya pastinya meneteskan air mata dahulu. Kemudian mengatakan, “Saya bisa mengangkat moral keluarga saya.”
Dulu keluarga saya dipandang sebelah mata, bahkan keluarga dekat yang telah merasa kaya, rela melukai hati orang tua saya dan merendahkan dalam batas yang tak wajar hanya karena faktor ekonomi semata. Orang tua saya menangis, dan saya kala itu masih kuliah menyimpan sakit hati sangat dalam.
Beruntung saya dikelilingi oleh orang-orang baik sehingga saya masih bisa berpikir panjang dan bersikap tenang. Bimbingan agama di Beastudi Etos, dan motivasi hidup dari setiap pembinaan saya jadikan metode ‘membalas dendam’ secara baik dengan memperlihatkan prestasi dan memperlakukan siapa saja dengan penuh kasih sayang, sekalipun orang yang pernah menyakiti keluarga saya.
Jika nantinya saya tidak mampu menginspirasi dunia, setidaknya saya bisa bersaksi di kemudian hari bahwa zakat yang mengalir dalam diri saya menjadi bagian penting dalam tatanan moral kehidupan saya bersama keluarga.
Saat itu saya berpikir bahwa andai saja setiap pemuda mampu memperjuangkan kondisi keluarga masing-masing maka tentu akan lahir masyarakat yang lebih bermoral dan lebih sejahtera. Dari keluarga menjadi masyarakat kemudian dengan sendirinya akan berkembang ke konteks yang lebih luas ke bangsa dan negara.
Maka saya sangat yakin bahwa bangsa dan negara ini akan mendapatkan kedigdayaan yang luar biasa hebatnya. Definisi zakat yaitu bersih, suci, berkat dan berkembang akan betul-betul kita saksikan bukan hanya sebagai kewajiban dalam beragama tapi jauh dari itu akan masuk pada konteks yang lebih luas dalam dimensi sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum yang memperbaiki derajat manusia.
Saya secara pribadi sekaligus mewakili keluarga, berterima kasih kepada semua pihak yang turut andil dalam menggagas, merencanakan dan menjalankan sebuah ide besar itu. Figur-figur seperti Pak Ari Sudewo, Pak Bambang Suherman, Pak Andi Taufik, Kak Anwar Abugaza, Kak Nuryadin dan yang tak sempat saya sebutkan satu persatu akan terus hidup dalam doa-doa saya.
Merekalah bagian dari Ide untuk menggalang zakat membiayai pendidikan bagi anak yang berprestasi yang terkendala masalah biaya. Saya pada saat itu berjuang demi hasrat memperbaiki ekonomi keluarga, berusaha fokus mengembangkan potensi, mencari jati diri tidaklah sesimpel menyanyikan bait-bait romansa. Betapa saat itu saya menyadari bahwa manusia layaknya layang-layang yang terbang di tengah terpaan angin. Jika tak memiliki keseimbangan maka ia susah untuk terbang, jika tak memiliki tali yang kuat bisa jadi ia akan terhempas, jatuh dan berakhir jadi pesakitan. Mengalah lalu terkubur dalam-dalam tanpa arti dalam peradaban.
Beastudi Etos memberi keseimbangan hidup antara belajar ilmu pengetahuan dan ilmu agama dan di waktu yang sama menjadi tali penguat silaturrahim sampai kami bisa terikat secara emosional bersama sahabat dan orang-orang penting di negeri ini. Beastudi Etos menjadi alkemi dalam hidup saya.
Alhamdulillah, saya hari ini berani bermimpi karena gagasan besar oleh orang-orang bernalar yang menegakkan panji-panji Islam dan transmisi kebaikan dari para Muzakki yang dengan penuh keikhlasan menjalankan rukun-rukun dalam agamanya. Meyakini bahwa di setiap zakat yang mereka keluarkan akan melukis dunia ini menjadi lebih baik.
Saya mengingat kembali upah 2,5% kupon putih terlarang yang sering saya jual dulu berganti dalam bentuk hasil 2,5% lainnya dalam bentuk yang lebih baik dari zakat. Allah mencintai saya dengan memberi kesempatan hidup lebih baik dari sebelumnya lewat zakat dari Dompet Dhuafa.
Saya sertakan bait-bait reflektif ini selama belajar di Beastudi Etos Dompet Dhuafa Republika.
Jangan mengeluh kepada Allah dan jangan menyalahkan manusia; Jangan berbicara melebihi apa yang telah dicapai; Jangan banyak bicara hal yang pasti tidak penting; Bekerja, bersabar dan bertawakal; Mulai sekarang ubah mindset; harta terpenting adalah ilmu; Jangan risau terhadap materi; Jangan pikirkan jabatan tapi pikirkanlah kontribusi; Jangan berusaha cari muka di depan atasan tapi berilah sebuah perencanaan dan kerja yg nyata.; Mulai hari ini membacalah tanpa harus menunggu datang suasana hati yang baik
Membaca bukan soal menjadi pintar tapi ini soal kita tidak melakukan kesalahan dan masalah bagi orang lain. Setelah itu membaca berwujud mencipta dan menata sesuatu menjadi baik.
Jangan melupakan budi baik orang lain.
Sampai akhirnya saya berkata: Tugas Newton diciptakan untuk menerangi dunia dan tugas Dompet Dhuafa diciptakan untuk menerangi jiwa manusia.
Penulis: Andries Riesfandhy