FAJARPENDIDIKAN.co.id – Sejalan dengan penambahan kasus pasien Covid-19 di Indonesia, kini angka pernikahan dini juga kian ikut meningkat. Yang di persoalkan bukanlah pernikahannya, akan tetapi alasan yang menjadikan proses pernikahan yang seharusnya dijaga kesakralan nya kini dijadikan jalan untuk menutupi aib keluarga.
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penyumbang angka perkawinan di bawah umur tertinggi di Indonesia. Menurut Susilowati Suparto selaku Dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, selain dikarenakan faktor ekonomi di masa pandemi dispensasi nikah juga terjadi sebab adanya kasus kehamilan diluar nikah lantaran marak terjadi pergaulan bebas di lingkungan sekitar.
“Tidak dapat dihindari terjadinya pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan menyebabkan angka dispensasi meningkat di masa pandemi ini,” tutur Susilowati. Dikutip Kompas.com (8 Juli 2020).
Kasus serupa terjadi di Jawa Tengah tepatnya di Jepara, di mana pengadilan agama setempat menuturkan kasus permohonan dispensasi nikah meningkatkan sebanyak 237 perkara pada periode Januari-Juli 2020. Selain dikarenakan faktor usia yang belum genap 19 tahun sesuai aturan terbaru, penyebab lainnya ialah hamil di luar nikah. Angka tersebut pun menyentuh setengah persen dari keseluruhan kasus.
Dilansir dari Jepara (28/7/2020), diketahui pada perkara yang diajukan 2020 ini, persentase pemohon yang dalam kondisi hamil 52,12 persen. Sisanya, 47,88 persen tak dalam kondisi hamil. ”Ada yang memang karena anak dan orang tuanya menginginkan pernikahan dini,” Ujar Faqih selalu kepala PA Jepara.
Diketahui Undang-Undang perkawinan Nomor 1/1974 mengalami revisi atas UU Nomor 16/2019, mengenai batas minimal umur untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yang sebelumnya pria 19 tahun dan wanita16 tahun kini menjadi 19 tahun bagi kedua belah pihak. Sehingga, warga yang berencana menikah namun usianya belum genap 19 tahun harus mengajukan dispensasi nikah.
Dengan perubahan UU tersebut, pemerintah mengharapkan dapat menurunkan angka usia dini sehingga kelak para remaja bisa melangsungkan menikah dalam kondisi telah memiliki kesiapan untuk membina rumah tangga. Disisi lain juga diharapkan kebijakan tersebut dapat mengatasi pergaulan bebas di kalangan remaja.
Benarkah demikian? Lalu bagaimana fakta di lapangan?
Harapan tentu tak akan sinkron jika sistem pergaulan masih dibingkai oleh sekularisme. Gaya hidup bebas menghantarkan pada kehidupan liberal, hingga meniadakan peran Sang Pencipta dalam mengatur kehidupan. Tentu bukan kemaslahatan yang di dapatkan, akan tetapi keburukkan juga kerusakan yang tak ada ujungnya.
Kasus penyimpanan remaja seolah menjadi berita harian dikalangan masyarakat. Sex bebas di anggap biasa, prostitusi kian menjamur, hamil di luar nikah menjadi perkara lumrah dan masih banyak citra buruk generasi sekuler hari ini.
Belum lagi output terhadap dunia pendidikan yang sekuler. Dimana mereka di setting menjadi manusia yang bermental buruh untuk menggerakkan roda ekonomi, sekaligus melanggengkan hegemoni kapitalisme global. Maka tak di pungkiri kerap kali ditemukan para pendidik yang buram mengenai persoalan agama.
Dengan demikian adanya kebijakan dispensasi nikah nampaknya solusi yang terlihat reaktif bukan bersifat solutif. Hal ini tergambar akibat kesalahan dalam mendiagnosa masalah sehingga berdampak dalam pemberikan solusi.
Seharusnya bangsa ini membutuhkan sistem kehidupan paripurna yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pergaulan. Islam mengatur pola interaksi antara perempuan dan laki-laki sebagaimana mestinya, baik di kehidupan umum ataupun di kehidupan khusus hingga jelas batasan-batasannya.
Disisi lain, adanya kerjasama antara Negara, orangtua juga masyarakat dalam menciptakan kepribadian yang Islami serta menanamkan nilai-nilai akidah agar mendorong ketakwaan pada setiap individu akan menghasilkan generasi cemerlang karena di backing oleh pemahaman Islam.
Pembinaan kedewasaan juga tak kalah penting, sebab hal tersebut akan berpengaruh pada kematangan berfikir juga keberanian untuk bertanggung jawab. Juga adanya pemahaman terkait hakikat fungsi masing-masing peranan dalam rumah tangga. Di mana suami berperan sebagai kepala keluarga, yang bertugas mencari rezeki. Sedangkan istri menjalankan tugas sebagai ummu warobatul bait, di mana sangatlah besar pahalanya di sisi Allah Swt.
Hal ini sangat kontras terhadap sistem sekuler yang menghasilkan generasi individu tanpa adanya identitas yang jelas. Memberikan berbagai program dan solusi tambal sulam, ujungnya hanya menemukan kegagalan yang tak ada habisnya. Sehingga penulis menyarankan mari menjadikan aturan Islam sebagai solusi atas semua perkara kehidupan, juga perihal pergaulan! Wallahu a’lam.
Oleh: Fahira Arsyad (Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)