OPINI: Era Digitalisasi Perpustakaan dan Budaya Keilmuan

FAJARPENDIDIKAN.co.id-Sebenarnya metode ini sangat populis dan cukup diterima oleh berbagai kalangan terutama generasi muda yang setiap hari berkutat dengan gadget mereka. Kaitannya dengan digitalisasi perpustakaan ada beberapa hal yang patut menjadi bahan analisa dalam kaitannya dengan budaya keilmuan yang sedikitnya akan mempengaruhi peradaban dan budaya bangsa.

Era digitalisasi telah membawa banyak kemudahan, sebagaimana tujuan awal diciptakannya teknologi untuk memudahkan aktifitas manusia. Memudahkan tidak selalu bermakna instan, terlebih lagi jika hal itu akan memanjakan manusia atau sederhananya membuat manusia menjadi makhluk yang pemalas. Pemalas karena terbiasa dengan sesuatu yang gampang atau instant sehingga memandang remeh segalanya dan cenderung tidak taat pada proses.

Pada kondisi tertentu, manusia harus kembali pada kesadaran awal bahwa teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia bukan memperbudak manusia. Bahasa lainnya teknologi diciptakan bukan untuk mengendalikan manusia tetapi manusialah yang mengendalikan teknologi. Manusia menyadari bahwa teknologi ini hanyalah alat, dimana kinerja alat ini akan tergantung pada siapa yang memainkannya. Manusia yang dianugerahi akal oleh sang pencipta akan berusaha memanfaatkan tekonologi itu untuk kemaslahatan orang banyak bukan sebaliknya.

Perpustakaan sebagai salah satu sarana penyedia informasi dan pembelajaran sedikitnya telah dipengaruhi oleh era digitalisasi. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan analisa sederhana terkait dengan dampak dari digitalisasi perpustakaan yang nampaknya akan mulai menggerogoti sendi peradaban dan kebudayaan ketimuran kita di negeri Indonesia yang multikultular ini. Penulis ingin mencoba mengulas dalam kaitannya dangan penggunanan perpustakaan digital dalam dunia pendidikan atau akademik.

Era digital adalah sebuah keniscayaan namun jika kita tidak mempersipkan diri untuk menyambutnya, maka konsekuensinya melahirkan ketergantungan teknologi. Berkaitan dengan dunia akademik sehubungan dengan era digitalisasi perpustakaan, penulis ingin fokuskan pada 3 persoalan yaitu maraknya plagiator, kompetensi pustakawan dan kultur akademik.

Maraknya Plagiator
Menurut KBBI yang dimaksud plagiator adalah orang yang mengambil karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan disiarkan sebagai karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri; penjiplak. Maraknya pelaku plagiat di era virtual khususnya di dunia akademik melahirkan istilah-istilah baru yang berhubungan perilaku ini. Dalam dunia perguruan tinggi dikenal bebagai ragam penyimpangan karya ilmiah seperti fabrikasi, falsifikasi, plagiat, kepengarangan tidak sah, konflik kepentingan dan pengajuan jamak. Selain itu, baru-baru ini muncul istilah kartel sitasi dan mafia publikasi.

Munculnya berbagai penyimpangan ini memicu diciptakannya berbagai macam aplikasi untuk tetap menjaga orsinilitas sebuah karya ilmiah. Dibuatlah plagiarism tool seperti plagirsm checker, ithenticate, plagscan, turnitin dan selainnya. Dengan memanfaatkan alat ini, tentunya tidak ada jaminan apakah sepenuhnya karya seseorang telah dinyatakan bebas plagiat.

Konsekuensi lain yang muncul adalah sebuah perguruan tinggi melalui perpustakaan untuk memanfaatkan plagiarsm tool tersebut harus ditukar dengan biaya yang tidak sedikit. Turnitin yang merupakan aplikasi anti plagiasi terbesar di dunia, konon sebuah Perguruan Tinggi harus mempersiapkan uang sebesar puluhan atau bahkan ratusan juta untuk berlangganan aplikasi ini.

Upaya menyiapkan alat cek plagiat tidak cukup untuk menjaga orsinilitas sebuah karya ilmiah, perpustakaan sebagai tempat disimpannya informasi memiliki peran penting dalam menekan angka plagiasi(1). Sosialiasi aturan-aturan plagiasi perlu dilakukan secara intens oleh perpustakaan, selain itu kerjasama dari berbagai pihak sangat diharapkan. Termasuk peran dosen yang memiliki interaksi banyak terhadap mahasiswanya, tentunya anti plagiat harus dimulai dan dicontohkan dari dirinya.

- Iklan -

Transformasi nilai-nilai kebaikan semestinya diejawantahkan seorang pengajar (dosen) dalam aplikasi mata kuliah yang diampunya. Track record seorang dosen harus dipertimbangkan sebuah perguruan tinggi dalam memberikan asuhan mata kuliah. Misalnya, seorang yang membawakan mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi (PBAK) untuk mengarahkan mahasiswa agar terhindar dari perilaku plagiasi perlu dibekali dengan pemahaman pengetahuan dasar antikorupsi dan integritas, yang saat ini bisa dilakukan melalui e-learning.

Kolaborasi dengan berbagai mata kuliah lain juga dapat dilakukan demi mencegah perilaku plagiat ini. Mata kuliah metode penelitian, Agama, etika dan hukum Pancasila, Ilmu Sosial Budaya Dasar adalah contoh mata kuliah yang dapat dijadikan sebagai media transformasi pembelajaran untuk menguatkan nilai-nilai kejujuran pada mahasiswa dalam menghasilkan sebuah tulisan atau karya.

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Kompetensi Pustakawan
Permenpan RB Nomor 9 tahun 2014 Pasal 4 menyebutkan bahwa tugas pokok pustakawan yaitu melaksanakan kegiatan bidang kepustakawanan yang meliputi pengelolaan perpustakaan, pelayanan perpustakaan dan pengembangan sistem kepustakawanan (2). Menghadapi era virtual, kompetensi seorang pustakawan tentu harus lebih dieksplorasi agar dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Apabila selama ini seorang pustakawan cukup lihai melakukan katalogisasi buku-buku koleksi sebuah perpustakaan maka dalam era digital sekarang sudah seharusnya merambah ke dunia teknologi informasi.

Seorang pustakawan di era virtual semestinya berusaha menjamin keamanan setiap akses informasi yang akan diakses pengunjungnya. Dengan digitalisasi akan membawa para pembaca berselancar ke berbagai situs-situs di belahan dunia. Dalam dunia akademik tentunya berbagai situs-situs yang berkaitan dengan pelanggaran adab-adab kesopanan, kesusilaan atau bahkan konten-konten pornografi harus dipastikan tidak terjamah oleh para calon-calon generasi penerus bangsa.

Perpustakaan diharapkan menjadi salah satu sarana pembentukan karakter generasi bangsa. Karakter ini terbentuk dari suguhan-suguhan informasi yang dapat masuk melalui bacaan, tontonan atau sumber lainnya. Seorang pustakawan harus memiliki upaya protektif, kemampuan teknologi informasi adalah hal yang mendasar harus dimiliki dalam memblokir atau mencegah munculnya berbagai konten-konten yang dapat merusak pembaca.

Tak bisa dipungkiri bahwa kemampuan pustakawan yang tersedia pada berbagai level perpustakaan yang ada di perguruan tinggi masih sangat terbatas. Solusi yang dapat dilakukan selain pemberian pelatihan secara intensif kepada para pustakawan juga perlu dipikirkan sistem perekrutan tenaga perpustakaan yang berlatar belakang pendidikan Information Technology (IT). Menurut hemat penulis tenaga perpustakaan dengan kemampuan IT yang mumpuni dapat mengarahkan para pengunjung perpustakaan terkait dengan konten informasi atau bacaan yang akan diaksesnya.

Solusi ini tidak dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak pustakawan atau mempersempit kompetensinya. Kehadiran ahli IT dalam perpustakaan akan menjadi mitra yang baik bagi para pustakawan untuk mencapai kompetensinya. Era virtual telah memberikan banyak ruang bagi mereka dengan latar belakang pendidikan IT dalam aktifitas pekerjaan. Selain pada perpustakaan, kita telah melihat bagaimana peran mereka pada berbagai level organisasi seperti pada dunia perbankan, perusahaan, pertahanan dan keamanan, pemerintahan dan lain sebagainya.

Pemanfaatan atau implementasi teknologi informasi dalam kegiatan operasional organisasi akan memberikan dampak yang cukup signifikan bukan hanya dari efisiensi kerja tetapi juga terhadap budaya kerja baik secara personal, antar unit, maupun keseluruhan institusi (3). Dengan memanfaatkan IT dalam perpustakaan sebuah institusi pendidikan, secara tidak langsung akan memberikan kontribusi terhadap pengembangan institusi bahkan dapat menjadi salah satu ukuran profesionalnya lembaga tersebut.

Kultur Akademik
Ibarat pedang bermata dua, era digitalisasi selain dengan kemudahan yang diberikan dalam setiap ruang gerak aktifitas manusia juga telah berdampak negatif terhadap budaya akademik bangsa ini. Menurut penulis, Indonesia sebagai negara yang berdasarkan pancasila senantiasa mengedepankan adab dalam aktifitasnya. Sebagaimana seseorang mencari ilmu bertujuan agar lebih beradab, bukan malah sebaliknya yaitu membawanya menjadi manusia yang biadab.

Era virtual yang tak terbendung sedikitnya telah menggeser nilai-nilai kultur akademik. Saat ini, kita sudah jarang melihat aktifitas mahasiswa diskusi-diskusi kecil di perpustakaan pasca membaca buku, atau kajian-kajian literasi di bawah pohon pasca meminjam buku di perpustakaan. Semuanya disibukkan dengan gadget, membaca pun tanpa berinteraksi dengan yang lain, masing-masing sibuk dengan bacaan yang telah tersedia digawainya.

Baca Juga:  Revisi UU ITE 2024: Perbaikan atau Sekadar Tambal Sulam?

Kemudahan akses informasi membuat pengetahuan seorang mahasiswa semakin bertambah. Jika ingin diukur dari kecerdasan intelektual maka mungkin meningkat, tetapi membuatnya tidak ingin mendengar pendapat orang lain. Saat ini tak sedikit kita melihat mahasiswa memasang status di media sosial melayangkan kritikan terhadap kampusnya atau dosen yang memberinya ilmu di kelas. Padahal sesungguhnya kondisi ini bisa lebih baik jika disampaikan secara dialog langsung di kampus.

Penulis teringat bagaimana para ulama terdahulu dalam menuntut ilmu, mereka begitu menjaga adab termasuk adab terhadap gurunya. Al Imam As-Syafi’i berkata, “dahulu aku membolak balikkan kertas di depan Malik dengan sangat lembut karena segan padanya dan supaya dia tak mendengarnya” (4). Coba kita bandingkan dengan kondisi yang terjadi saat ini di era virtual, saat seorang guru atau dosen mengajar di kelas, banyak mahasiswa yang masih sibuk berselancar di dunia maya. Tidaklah heran mengapa para orang-orang terdahulu menjadi ulama besar karena keberkahan ilmu mereka, buah dari akhlak mulia terhadap para gurunya.

Pertemuan tatap muka langsung di kelas dalam kondisi saat ini, tidak berlebihan jika penulis mengatakan kurang berkesan bagi seorang mahasiswa. Bagaimana tidak, seorang mahasiswa merasa bahwa apa yang disampaikan dosen di kelas, semuanya telah tersedia hanya dengan menekan mesin pencarian di gadgetnya. Seorang mahasiswa perlu menyadari bahwa ilmu yang disampaikan langsung oleh dosen berbeda dengan apa yang diperolehnya sendiri di gawai masing-masing.

Keberkahan ilmu akan datang apabila kita berhadapan langsung dengan guru secara rendah hati, hormat dan guru mengakui kita sebagai muridnya. Berkaitan dengan adab terhadap guru, Al-Ghazali menasehatkan agar bersikap rendah hati dan tawadhu, tidak sombong (takabbur) dan jangan melawan kepadanya. Seorang murid harus mendengarkan nasihat gurunya seperti orang sakit yang percaya kepada dokter yang berpengalaman (5).

Dalam era perkembangan teknologi informasi saat ini, jangan sampai kemudahan mendapatkan pengetahuan melalui media internet mempengaruhi orang melakukan langkah instan dalam belajar. Ilmu itu didatangi dan dihormati, dan dipelajari dengan sungguh-sungguh dan kesabaran. Kehadiran Perpustakaan digital tidak diharapkan menjadikan seorang mahasiswa terburu-buru dalam menuntut ilmu.

Fenomena yang marak terjadi adalah semakin bermunculan orang-orang yang merasa berilmu memberikan komentar-komentar pada sebuah persoalan walaupun persoalan tersebut jauh dari ranah keahliannya. Enggan bersabar untuk membaca, menelaah dan membandingkan beberapa pandangan membuat seseorang mengeluarkan statemen yang tidak sistematis. Dalam kondisi ini tentu solusinya adalah mari kembali ke kultur akademik yang menghargai proses sehingga melahirkan manusia yang beradab dan berkemajuan.


Referensi Penulis

  1. Mashuri I. Peran perpustakaan dalam mengurangi plagiarisme. Pustakaloka. 2013;5(1):135–42.
  2. Hasbana A. Standar Kompetensi Pustakawan sebagai Instrumen Asesmen Jabatan Fungsional Pustakawan. Al-Maktabah. 2017;16:68–79.
  3. Machmudi MA. Peran Teknologi Informasi dalam Usaha Meraih Kesempatan Masa Depan Organisasi. J Transform. 2019;15(1):87–95.
  4. Syar’i MH. Adab Seorang Murid Terhadap Guru [Internet]. muslim.or.id. 2015. Available from: https://muslim.or.id/25497-adab-seorang-murid-terhadap-guru.html.
  5. Nugraha M. Berguru dalam Tradisi Keilmuan Islam [Internet]. Hidayatullah.com. 2018. Available from: https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2018/02/18/135782/berguru-dalam-tradisi-keilmuan-islam.html.

Ashriady

Penulis lahir di Kajuara-Bone, 25 Agustus 1984, salah satu dosen tetap Poltekkes Kemenkes Mamuju, aktifitas dikampus selain sebagai pangajar juga diamanahkan menjadi managing editor di Jurnal Kesehatan Manarang yang telah meraih akreditasi Sinta 3 dari Kemenristekbrin.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU