OPINI : HMI Dan Pentingnya Menulis

FAJARPENDIDIKAN.co.id – HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) adalah organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia. HMI didirikan di Yokyakarta pada 5 februari 1947 oleh Lafran Pane. Saat ini HMI telah memasuki usia ke-73 tahun. HMI didirikan dengan mengusung semangat keIslaman dan keIndonesiaan. HMI telah melahirkan berbagai tokoh (intelektual, cendikiawan, politisi) untuk NKRI. Seperti Nurcholis Madjid, Anies Baswedan, Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Mahfud MD, dan masih banyak lagi tokoh bangsa yang lahir dari rahim HMI.

Peletakan dasar pondasi intelektual yang dilakukan oleh HMI dimulai dari penanaman kembali tradisi-tradisi yang sangat fundamental. Tradisi-tradisi yang fundamental tersebut terdiri atas tiga unsur, yaitu tradisi membaca, mengkaji (diskusi), dan menulis. Itulah ketiga elemen penting yang menjadi penopang atas tegaknya tradisi intelektual.

Membaca merupakan aktifitas penting dalam mengkonstruksi sistem pengetahuan di dalam diri kita. Tanpa membaca, pikiran kita tidak akan pernah mengalami perkembangan. Dengan kata lain, membaca berarti memasukan berbagai macam informasi ke dalam pikiran kita. Setelah kita membaca, tentu berbagai macam informasi akan masuk ke dalam pikiran kita. Dari itu, perlu adanya suatu proses interaksi antara satu dengan yang lainnya agar pengetahuan tersebut menjadi bernuansa. Melalui diskusi, pengetahuan akan diwujudkan dalam susunan kata yang bermakna. Mengembangkan tradisi menulis merupakan perwujudan dalam menyebarkan ilmu dan memajukan masyarakat.

Menulis adalah suatu keterampilan dan kemampuan dalam menciptakan literasi yang baik. Menulis adalah menggabungkan huruf-huruf atau angka-angka dengan menggunakan pulpen dan lain sebagainya. Menulis merupakan suatu wadah yang sering dan bahkan selalu dilakukan oleh setiap orang tanpa ada batasan umur yang membatasi. Namun tanpa disadari banyak dari kita yang hanya sekadar menulis tanpa mengetahui ilmu dan cara menulis yang baik.Pemaknaan HMI bukan hanya himpunan mahasiswa Islam tetapi juga harapan masyarakat Indonesia dan itu jelas tergambarkan dalam tujuan HMI yaitu “terbinanya insan akademis pencipta pengabdian yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”. Dari tujuannya, jelas menitipkan amanah kepada setiap kader untuk bertanggung jawab secara kultural terhadap syuhada terdahulu. Tentunya dalam merubah tatanan berbangsa yang sudah jauh-jauh hari tertinggal ini, HMI diharapkan menghasilkan kader yang integratif, yang di dalamnya terkumpul sifat-sifat seperti kritis, kreatif, dinamis, inovatif, progresif, adil, jujur dan sebagainya.

Setiap kader yang mengamalkan hal tersebut diharapkan dapat memberikan alternatif solusi yang dapat menghantarkan Indonesia ke panggung persaingan global. Dan seharusnya sebagai kader HMI (harapan masyarakat Indonesia), sebelum merekonsiliasi kecarut-marutan para pemimpinnya terlebih dahulu harus cakap dalam pemikiran dan aktualisasi yang hal itu salah satunya diperoleh dari literasi. Sebagaimana titah tuhan yang pertama adalah Iqra dan kedua adalah menulis yang ini dikategorsasikan sebagai literasi. Jadi pelanggaran nyata kepada Muhammad adalah dengan tidak mengamalkan literasi itu.

Mari kita melihat sekarang bahwasanya literasi di Indonesia semakin menurun. Ternyata banyaknya media literatur yang tersedia tidak serta-merta menjadikan kita untuk terus meningkatkan kemampuan literasi kita. Banyak dari kita yang terus-menerus latah dengan literatur-literatur yang telah disediakan. Bahkan kaum mahasiswa yang selalu dijuluki oleh masyarakat sebagai agent of change, ternyata sedikit demi sedikit mengalami kemerosotan yang drastis. Ini dibuktikan dengan banyaknya kaum mahasiswa yang masih sering menggunakan bahasa Indonesia yang tidak baku, kurangnya minat menulis yang disebabkan karena miskin membaca, tidak berminatnya mahasiswa dalam mengikuti diskusi-diskusi ilmiah, dan masih banyak hal lain yang menjadi penyebab kemerosotan tersebut.

Dari realitas yang terjadi hari ini, kita bisa saja mengklaim bahwa mahasiswa sudah lepas dari esensi intelektual dengan mengganti pola hidupnya menjadi hedonis, apatis, dan bahkan anarkis. Bahkan lebih parah lagi, mahasiswa sudah lupa bahwa sifat khas mahasiswa terletak pada kekuatan daya penalarannya.

HMI yang mengklaim dirinya sebagai organisasi intelektual dan kaum terpelajar tentunya harus melakukan ciri-ciri kaum intelektual. Kaum intelektual berkewajiban untuk mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan pemikiran dan ilmu pengetahuan dalam rangka membangun peradaban manusia yang lebih baik dan sempurna. Usaha dari kaum intelektual untuk mengembangkan pengetahuan, tentunya tidak cukup hanya dengan bahasa lisan yang terbatas dan mudah dilupakan orang. Dibutuhkan cara dan alat komunikasi yang baik. Salah satu cara yang baik adalah melalui bahasa tulisan. Oleh karena itu, kita harus menyadari bahwa menulis sangat penting untuk dilakukan.

Oleh : Fadhila Ramadhani (PAI UNISMUH)

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU