FAJARPENDIDIKAN.co.id – Trending tagar #IndonesiaTerserah menjadi indikasi munculnya rasa kecewa pada sebagian masyarakat terutama para tenaga medis atas kebijakan pemerintah yang dinilai inkonsisten. Bukannya menyelesaikan masalah, justru bermunculan masalah baru. Tidak hanya itu, diperkirakan akan ada gelombang kedua penularan virus besar-besaran karena mata rantai penyebaran virus yang cenderung kacau dan tidak sesuai protokol kesehatan. Hal ini jelas sangat berbahaya, mengingat kita semua berada dalam suasana yang unpredictable.
Ratusan calon penumpang berdesakan di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Kamis pagi 14 Mei 2020. Mereka bertumpuk tanpa memperhatikan jarak aman di posko pemeriksaan dokumen perjalanan. Sekejap potret kerumuman calon penumpang yang antre tanpa jaga jarak itu viral di media sosial. Sebagian mengecam karena protokol kesehatan di tengah pandemi virus Corona atau Covid-19 tidak dilaksanakan, apalagi di tengah larangan mudik. Dilansir dari Surabaya, CNN Indonesia, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan surat edaran yang memperbolehkan pelaksanaan Salat Idulfitri 1441 Hijriah secara berjamaah hanya berlaku untuk satu masjid saja. Yang dia maksud, yakni Masjid Nasional Al Akbar Surabaya. Surat itu sendiri ditandatangani oleh Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Jatim, Heru Tjahjono. Isi surat bernomor 551/7809/012/2020 itu tentang aturan Kaifiat Takbir dan Salat Idulfitri. “ini bukan surat edaran untuk umum, ini surat Sekda kepada Masjid Nasional Al Akbar,” kata Khofifah, di Gedung Negara Grahadi, Surabaya
Melihat fakta di lapangan, jelas terlihat sikap inkonsistensi dari pemerintah pusat dan daerah. Disaat yang sama, kita disuruh tinggal di rumah, dengan harap cemas melihat tabungan yang mulai terkuras habis. Menurut pengamat kebijakan publik Lisman Manurung menyoroti soal pengawasan mobilitas orang yang masih terpisah antar-daerah. Padahal, katanya, ini mesti dipantau ketat. Dia pun menyarankan pemerintah perlu menerapkan aturan yang sistematis dari pusat, daerah, hingga lingkungan RT/RW untuk mengawasi arus mobilitas orang. “Migrasi penduduk tetap ketat. Masuk lingkungan RT untuk tamu menginap melalui pengecekan kesehatan,” ujarnya. Jika pandemi Covid-19 masih terus berlangsung hingga munculnya gelombang kedua, Lisman menyebut pemerintah dan masyarakat harus bersiap beradaptasi sehingga tercipta kondisi normal baru atau new normal. “Di gelombang kedua kita harus mengubah paradigma, mulai beradaptasi dengan Covid-19 sehingga menciptakan kehidupan normal baru,” ucap dia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo melarang mudik. Namun, itu diperlonggar dengan penerbitan aturan yang mengizinkan angkutan umum beroperasi kembali dan mengecualikan sejumlah orang yang bisa bepergian. Misalnya, membawa surat keterangan sehat dan bebas Corona serta surat tugas. Jelas semua kebijakan ini membuat masyarakat semakin pusing. Masjid dikosongkan, konser musik digelar. Mall dibuka menjelang lebaran, kontak antar manusia makin tak terkendali, seakan upaya dirumah aja selama dua bulan sia-sia belaka.
Merujuk pada lembaga kesehatan dunia, melalui Direktur kedaruratan WHO, dr Mike Ryan memperingatkan bahwa virus Corona mungkin tak akan pernah hilang meski vaksin telah tersedia. Namun, keberadaan vaksin lebih difungsikan untuk mengendalikan virus agar tidak menyebar luas & kembali menjadi pandemi. Dengan melonggarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan memicu gelombang infeksi kedua. Padahal dalam rilis terakhirnya, WHO menyebut bahwa situasi ini bisa jadi berlangsung hingga lima tahun ke depan. Sehingga bukankah beradaptasi dalam “a new normal life” ini berarti beradaptasi dengan ketidaknormalan alias beradaptasi dengan wabah yang berkepanjangan. WHO sendiri sebetulnya sempat menyebut bahwa konsep herd immunity adalah konsep yang berbahaya. Namun siapa sangka, ternyata konsep ini seolah bersembunyi di balik narasi “a new normal life” yang diaruskan PBB dan kemudian tampak ingin diadopsi rezim penguasa di negeri ini.
Bagi peradaban kapitalisme, penerapan konsep jahat seperti ini memang sah-sah saja. Karena dalam peradaban ini semua aspek, termasuk aspek kemanusiaan harus tunduk pada kepentingan modal.
Itulah kenapa selama ini rakyat banyak selalu menjadi pihak yang dikorbankan. Bahkan di tengah krisis ini pun para kapitalis tetap berusaha meraup sebesar-besar keuntungan. Mulai dari industri farmasi, alat kesehatan, telekomunikasi, industri layanan berbasis online, hingga industri asuransi, infrastruktur, dan yang lainnya.
Adapun negara dalam peradaban ini bertindak sebagai “supporting system” bagi tumbuhnya gurita industri kapitalisme. Maklum, kursi kekuasaan di sistem sekarang harganya super mahal, hingga dukungan modal dari para sponsor pun menjadi kemestian.
Tentu semua ini berbeda sekali dengan peradaban Islam.
Dalam Islam, urusan nyawa rakyat menjadi hal yang diutamakan. Bahkan keberadaan syariat dan negara dalam Islam (yakni khilafah) salah satunya berfungsi untuk penjagaan nyawa manusia dan penjamin kesejahteraan hidup mereka.
Wajar jika saat peradaban khilafah ini belasan abad tegak, umat manusia hidup dalam kedamaian sesungguhnya. Apa yang dibutuhkan manusia, mulai dari kebutuhan dasar termasuk kesehatan, kehormatan, keamanan, benar-benar dipenuhi negara.
Hal ini niscaya, karena peradaban Islam tegak di atas paradigma bahwa amanah kekuasaan tak hanya berdimensi dunia, tapi juga berdimensi akhirat. Maka bisa dipastikan, negara dan penguasanya akan sungguh-sungguh menuaikan kewajiban. Menjadi pengurus umat sekaligus menjadi penjaganya.
Mereka benar-benar paham, bahwa setiap kebijakan yang menzalimi rakyat akan menuai laknat dan azab. Sebagaimana sabda Rasulullah saw,
وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
“Sungguh jabatan ini adalah amanah. Pada Hari Kiamat nanti, jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan hak dan menunaikan amanah yang menjadi kewajibannya.” (HR Muslim).
أَيُّمَا رَاعٍ اسْتُرْعِيَ رَعِيَّةً فَغَشَّهَا فَهُوَ فِي النَّارِ
“Siapa pun yang diangkat memegang tampuk kepemimpinan atas rakyat, lalu dia menipu mereka, maka dia masuk neraka.” (HR Ahmad).
Pertanyaannya, apa rezim sekuler ini siap menanggung akibatnya? Oleh : Juniwati Lafuku, S.Farm.