OPINI : Investasi Asing Di Bidang Medical Tourism (Wisata Medis), Sudah Tepatkah?

FAJARPENDIDIKAN.co.id – Ditengah penanganan kasus Covid19 yang semakin tak terkendali penyebarannya, Pemerintah sedang mengkaji rencana pembangunan industri medical tourism atau wisata medis di Indonesia. Medical tourism merupakan perjalanan yang dilakukan untuk mendapatkan layanan kesehatan, kebugaran, serta penyembuhan di negara tujuan. Hal ini bertujuan untuk dapat meningkatkan akses pelayanan kesehatan untuk rakyat Indonesia dan meningkatkan kemandirian bangsa dalam bidang kesehatan.

Wisata Medis, Untuk Menambah Pemasukan Negara

Jodi Mahardi, juru bicara Kemenko Kemaritiman dan Investasi mengatakan, tengah mengkaji izin masuk bagi dokter asing ke Indonesia. Dokter yang akan didatangkan adalah dokter spesialis yang belum ada di Indonesia.

“Bahwa nantinya dokter asing harus bekerja dengan dokter lokal. Berdasarkan data yang dirilis PwC, Indonesia merupakan negara asal wisatawan medis dengan jumlah 600 ribu orang di tahun 2015, terbesar di dunia. Umumnya pasien memilih perawatan medis ke luar negeri dengan alasan kurang mampunyai layanan medis domestik untuk menyembuhkan penyakit-penyakit khusus,” terang Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi di Jakarta, Rabu (19/8/2020).

Diketahui, beberapa tahun terakhir, negara di Asia seperti Thailand, Singapura, India, Malaysia, dan Korea Selatan sedang mengembangkan wisata medis. Pada 2016, Thailand mencatatkan jumlah wisatawan medis mencapai 2,29 juta orang dengan nilai pasar mencapai USD 6,9 miliar. Data yang dirilis Indonesia Services Dialog (ISD), setiap tahun orang Indonesia mengeluarkan uang yang nilainya cukup fantastis untuk mendapatkan layanan kesehatan di luar negeri.

Perlu diketahui, sejak Pemerintah berencana memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan, Luhut beserta team sudah terlebih dahulu mengadakan perjalanan ke AS dengan tujuan mencari orang sebanyak banyaknya untuk berinvestasi di Ibu Kota Negara yang baru serta investasi di beberapa sektor strategis publik.

Terkait industri wisata medis, Luhut berharap adanya dukungan dari pemerintah melalui promosi masif serta fasilitas-fasilitas penunjang lainnya, seperti membangun rumah sakit berstandar internasional layaknya John Hopkins di Amerika Serikat

Melalui BKPM, pemerintah mencari investor potensial guna membangun rumah sakit berkelas internasional di Jakarta, Bali, dan Medan, mempertimbangkan ijin untuk dokter asing, untuk spesialis tertentu, sesuai kebutuhan.

Pemerintah berharap momentum krisis pandemi ini bisa dimanfaatkan untuk membenahi infrastruktur, fasilitas penunjang, serta regulasi layanan kesehatan di Indonesia agar bisa lebih baik lagi dengan menciptakan perencanaan yang bagus dan terpadu untuk industri wisata medis dalam negeri.

- Iklan -

Prioritaskan Keselamatan Tenaga Medis Selama Pandemi

Rakyat Indonesia kembali kehilangan para pejuang garda terdepan melawan Covid19. Dan kini, genap sudah 100 dokter yang meninggal karena Covid 19.

Oleh karena itu sudah sejak awal berbagai kalangan menyeru pada pemerintah untuk memberi perhatian lebih pada para tenaga medis. Termasuk terkait kelengkapan alat perlindungan diri dan pemberian insentif lebih.

Para ahli medis dan ulama juga banyak menyerukan pada pemerintah untuk segera mengambil opsi lockdown, untuk mencegah penyebaran virus yang lebih luas. Namun nyatanya pemerintah lebih peduli pada sektor ekonomi dan pariwisata. Yang lebih menyakitkan, dana sebesar 72 Miliar justru digelontorkan untuk para influencer, sementara banyak insentif para nakes belum cair.

Terkait isu pembangunan wisata medis, dari pihak IDI menilai hal ini tidak urgen, mengingat banyaknya korban Covid19 dan dokter terus bertambah, pemerintah harusnya lebih menggenjot sektor kesehatan dalam negeri, melengkapi sarana dan prasarana agar pihak rumah sakit lebih baik dalam pelayanan kesehatan.

Bukan sebaliknya, lebih membuka peluang kepada asing atas nama keuntungan dan investasi, disaat yang sama fasilitas di dalam negeri justru karut marut butuh perhatian khusus dari pemerintah.

Baca Juga:  Transformasi Pendidikan Indonesia Pasca-Kurikulum Merdeka

Tentu hal ini merupakan suatu kelemahan, ditambah lagi rakyat yang setiap saat harus diurus dan dipenuhi hak-haknya dalam memperoleh layanan kesehatan prima, justru mendapatkan layanan kesehatan yang kurang menyenangkan dari pihak rumah sakit, terkendala administrasi hingga biaya berobat yang mahal.

Sungguh apa yang terjadi hari ini semestinya cukup untuk mengoreksi total sistem kesehatan sekuler kapitalistik yang diterapkan sebagai bagian kecil dari sistem hidup sekuler secara keseluruhan. Karena sistem ini benar-benar jauh dari kata manusiawi. Semuanya –termasuk urusan kesehatan– serba diukur dengan takaran untung rugi.

Hal ini memang niscaya, mengingat sistem ini tegak di atas paradigma yang rusak. Akidah sekularisme yang mendasari sistem hidup hari ini benar-benar menafikan nilai kebaikan alias halal haram. Dan sebaliknya, begitu mengagungkan nilai-nilai material dan kemanfaatan.

Maka lahir dari asas ini, sistem kepemimpinan dan kekuasaan yang sarat kepentingan. Fungsi mengurus dan menjaga umat hanya ada dalam khayalan. Pelayanan terhadap rakyat justru menjadi alat mencari keuntungan.

Bahkan para penguasanya lazim berkolaborasi dengan para pemilik modal, menggarap layanan publik sebagai ajang bisnis yang menjanjikan. Dan di saat sama, rela menyerahkan harta kekayaan milik umat –berupa sumber daya alam yang melimpah ruah– kepada mereka.

Islam Solusi Layanan Kesehatan Prima dan Paripurna

Sistem Islam tegak di atas landasan keyakinan bahwa manusia diciptakan sebagai hamba Allâh SWT dengan mengemban amanat sebagai pengelola kehidupan dan termanifestasi dalam bentuk ketundukan pada aturan hidup yang diturunkan Allâh SWT, yakni syariat Islam.

Sepanjang kepemimpinan Islam yang disebut dengan Khilafah ini tegak, umat Islam telah terbukti mampu tampil sebagai pionir peradaban. Para penguasa atau Khalifanya–lepas dari adanya kekurangan dari sisi pribadi sebagian kecil mereka– benar-benar telah mampu mewujudkan kesejahteraan atas rakyat warga negara –baik muslim maupun nonmuslim/ahlu ad-Dzimmah– dalam taraf yang tidak pernah mungkin bisa diwujudkan oleh para penguasa dalam sistem sekuler kapitalis yang cenderung manipulatif, korup dan eksploitatif ini.

Saat itu, rakyat benar-benar bisa menikmati layanan dan penjagaan maksimal dari para penguasa, yang memahami bahwa pelayanan terhadap orang-orang yang di bawah otoritas negara tidak dinilai berdasarkan anggaran tahunan atau aspirasi politik, melainkan didasarkan pada hak-hak yang diberikan oleh Allâh SWT kepada mereka.

Kesadaran ruhiyyah akan tanggungjawab inilah yang mendorong para penguasa (Khalifah) menyediakan hak-hak rakyat dengan hati-hati dan dengan pelayanan terbaik dari kemampuan yang mereka miliki. Tanpa melihat apakah rakyatnya tahu atau menyadari akan hak-haknya atau tidak, dan apakah mereka memintanya atau tidak.

Kesadaran ruhiyah ini pula yang membuat para penguasa atau Khalifah terdorong untuk secara kreatif melakukan berbagai riset dan inovasi, sekaligus menciptakan suasana dinamis di tengah-tengah masyarakat.

Dan ini, sejalan dengan penerapan aturan Islam secara kaffah, seperti penerapan sistem pendidikan yang mencerdaskan, sistem ekonomi yang menyejahterakan, sistem politik yang memandirikan dan memartabatkan, sistem hukum yang meminimalisir penyimpangan, sistem sosial yang mendorong kerja sama dalam kebaikan, dan lain-lain. Termasuk di dalamnya, sistem kesehatan yang komprehensif meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, yang dipastikan akan menjadi jalan kebaikan, berupa hadirnya sumber daya manusia yang unggul dan siap melaksanakan fungsi penciptaannya sebagai pengelola bumi sekaligus pengemban risalah Islam ke seluruh alam.

Bahkan, sistem Islamlah yang pertama mengenalkan dan menerapkan layanan kesehatan dan pendidikan gratis. Sistem ini pun mendorong berbagai inovasi yang memungkinkan layanan umum tersebut bisa diberikan secara optimal. Hal ini terbukti dimana bidang kedokteran dan farmakologi berkembang demikian pesat justru di masa kepemimpinan Islam. Termasuk sistem penanganan wabah dan kerumahsakitan.

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Di masa ini, fasilitas kesehatan berupa rumah sakit (bimaristan) tersedia cukup banyak dan dikenal demikian lengkap, berikut apotek dan sistem administrasi pelayanan yang serba gratis, cepat, mudah dan profesional. Di masa Abbasiyah misalnya, tersedia banyak rumah sakit kelas satu dan dokter di beberapa kota: Baghdad, Damaskus, Kairo, Yerusalem, Alexandria, Cordova, Samarkand dan banyak lagi.

Kota Baghdad sendiri memiliki enam puluh rumah sakit dengan pasien rawat inap dan pasien rawat jalan dan memiliki lebih dari 1.000 dokter. Rumah sakit umum seperti Bimaristan al-Mansuri yang didirikan di Kairo pada tahun 1283 bahkan mampu mengakomodasi 8.000 pasien.

Ada dua petugas untuk setiap pasien yang melakukan segala sesuatu untuk diri pasien agar mendapatkan kenyamanan dan kemudahan dan setiap pasien mendapat ruang tidur dan tempat makan sendiri. Para pasien baik rawat inap maupun rawat jalan di beri makanan dan obat-obatan secara gratis. Bahkan setelah sembuh, mereka dibekali sangu untuk memastikan pemulihan berjalan baik.

Hebatnya, di masa itu, rumah sakit bergerak pun disediakan untuk menjangkau daerah-daerah yang jauh. Yakni berupa dokter dan perawat keliling yang menunggang onta diiringi onta-onta pengangkut obat, beserta alat-alat medis dan tenda-tenda perawatan yang bisa dipasang di mana pun.

Sistem drainase dan kontrol akan ketersediaan air bersih pun dibuat sedemikian rupa. Dan di musim kering para penguasa menyediakan onta-onta pengangkut air yang berkeliling ke kampung-kampung untuk menjamin kebutuhan minum atau irigasi.

Di luar itu, pemandian-pemandian umum dibuat dalam jumlah banyak dengan memperhatikan aspek sanitasi dan hukum syara yang lainnya. Demikian pula dengan sekolah-sekolah, perpustakaan umum, dan lain-lain. Termasuk sekolah-sekolah kedokteran dan lembaga standarisasi profesi nakes. (Salah satu referensi yang bisa dibaca : Atlas Budaya Islam, Ismail al Farouqy dan Louis Lamya Al Farouqi, Penerbit Mizan).

Semua layanan ini diberikan secara cuma-cuma karena kebijakan ekonomi dan keuangan negara Islam memungkinkan bagi negara mendapatkan anggaran pendapatan yang melimpah ruah, terutama dari pengelolaan kepemilikan umum seperti kekayaan alam maupun kepemilikan negara.

Sayangnya, sejak umat terlepas dari kepemimpinan dan sistem Islam, kemuliaan pun lepas dari diri mereka. Sistem Kapitalisme Sekuler telah menciptakan ilusi tentang kesejahteraan yang sampai kapan pun tak kan pernah bisa diwujudkan. Alih-alih bisa mewujudkan kesejahteraan, penerimaan umat pada sistem rusak ini justru telah berhasil membawa umat pada jurang kehinaan; menjadi bangsa terjajah lahir dan batin.

Lebih dari itu, sistem rusak ini pun telah menciptakan berbagai tipuan yang membius para penguasa Muslim hingga abai bahkan curang terhadap agama dan umatnya sebagaimana yang terjadi saat ini. Benarlah sabda Rasulullah Saw:

“Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai”. (HR. Ath-Thabrani)

Padahal, inilah ancaman Rasul saw kepada para penguasa seperti mereka:

“Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)

Wallahu a’lam

Oleh : Juniwati Lafuku, S.Farm.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU