Tidak apa, menjadi miskin seketika dan sesaat saja. Sekalipun terbilang mampu atau kaya, yang penting dapat bantuan dari pemerintah. Ya, mungkin begitulah narasi yang tepat menggambarkan kondisi sebagian masyarakat Indonesia. Seakan tidak memiliki rasa malu, mental yang berharap mendapatkan sesuatu yang ‘lebih’ dari hasil memelas berlabel ‘miskin’ tapi keadaan empiris menolak miskin.
Sungguh miris melihat pemandangan-pemandangan sebagian masyarakat yang dianggap mampu tetapi mengejar bantuan dari pemerintah. Terlihat memaksa pemerintah menjalankan kewajiban, tetapi menutup mata ketika mengidentifikasi hak.
Bukan menjadi pemandangan yang baru kita temukan saat kondisi begini. Media banyak mengarsipkan bagaimana sebagian masyarakat Indonesia sulit menerka hak orang lain.
Bayangkan saja, rumah batu dengan warna nge-jreng, mobil terparkir di garasi, emas menghiasi leher, pergelangan tangan dan jari menjadi salah satu penanda penerima bantuan-bantuan yang diberikan masyarakat. Masih menganggap kurang mampu? Jawabannya, ya!
Menyalahkan pemerintah tentu bukan jalan satu-satunya solusi yang baik. Tetapi mental masyarakat yang betul-betul harus diubah dan dibentuk untuk sadar bahwa ada golongan-golongan lain yang berhak atas apa yang diterimanya.
Bukan menjadikan kebijakan pemerintah sebagai sebuah peluang untuk memperkaya diri dan keluarga, sedang masih ada orang lain yang menjerit kelaparan karena memang tidak memiliki kemampuan.
Di depan pemerintah, sebagian masyarakat seakan melakukan akting bagai pemeran film yang memelas di depan pemerintah, tentu tujuannya untuk mendapatkan bantuan. Tapi hal kontradiksi terjadi di masyarakat kekinian.
Mereka rela membeli apapun yang dikehendakinya sekalipun belum mampu untuk membeli, alias menyicil. Begitulah yang terjadi, seakan mecitrakan diri sebagai orang yang mampu membeli apa saja yang diinginkan dengan ‘jalan’ cicil. Sekali lagi, miris rasanya melihat mental yang mungkin bisa dikatakan sebagai kultur yang sudah melekat dalam masyarakat Indonesia.
Kejadian seperti ini banyak kita jumpai pada kondisi sekarang ini. Di mana wabah Covid-19 (Coronavirus Diseases) membuat pemerintah untuk turun tangan membantu masyarakat di berbagai aspek, terutama dalam hal kesehatan dan ekonomi.
Pemerintah saat ini banyak menyalurkan bantuan-bantuan berupa sembako untuk menunjang kehidupan sehari-hari masyarakat. Sekalipun tidak terbilang sangat banyak, tetapi bantuan tersebut dapat membantu golongan masyarakat yang betul-betul membutuhkan.
Meskipun ada wilayah yang pembagian sembakonya dibagikan secara merata, tetapi tidak sedikit wilayah yang memang hanya orang-orang yang dianggap ‘kurang mampu’ yang disalurkan bantuan.
Tidak ada masalah bagi wilayah yang penyaluran bantuannya secara merata. Tetapi, bagi wilayah yang penyaluran bantuannya tidak merata. Ada saja beberapa masyarakat kurang mampu tidak mendapatkan sama sekali bantuan, tetapi di sisi lain masyarakat yang masih terbilang mampu masih mendapatkan bantuan yang mungkin saja untuk ukurannya itu tidaklah seberapa.
Namun, masih ada saja masyarakat yang bermental ‘pengemis’ dibanding melihat orang lain yang tidak mampu tetapi diam tanpa harus mengemis memaksa pemerintah.
Mental semacam itulah yang perlu diperbaiki di kalangan masyarakat saat ini. Bagaimana pun, kita harus selalu sadar akan sebuah kecukupan. Kita tidak dituntut puas tetapi dituntut untuk bersyukur, melihat kondisi orang lain dengan hati yang jernih.
Tidak egois untuk membuncitkan perut sendiri sedangkan orang lain meringis kelaparan. Berusalah untuk menjalani proses kehidupa sesuai dengan potensi dan kapasitas yang dimiliki tanpa harus sengakui hal yang sesungguhnya tidak sepadan dengan kondisi kita. Berhenti memelas kasihan dengan label miskin terpaksa di depan pemerintah, lalu menampilkan kekayaan di di depan tetangga!
Penulis: Qudratullah, S.Sos., M.Sos. (Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Bone)
OPINI: Kaya di Depan Tetangga, Miskin di Depan Pemerintah
Bagikan: