FAJARPENDIDIKAN.co.id – Pendidikan adalah sebuah temperatur kesuksesan bangsa untuk memajukan negerinya. Ketika pendidikan berada di bawah rata-rata, maka akan berdampak pada kecerdasan individu dan masa depan negara. Di masa pandemi berlangsung arena pendidikan menjadi hal pelik dibicarakan. Dengan sistem yang tak baku dari negara serta berbagai sistem baru yang diambil oleh masing-masing sub bagian perguruan tinggi. Adanya perbedaan sistem tersebut mendorong berbagai rancangan belajar yang berbeda. Sistem daring diberlangsungkan, kuota dan sinyal jadi andalan agar tak ketinggalan pembelajaran. Menjadi sorotan bersama ketika pendidikan tak ditempuh di ruang kelas dan menikmati fasilitas kampus yang seadanya. Namun, pembayaran Uang Kuliah Tungga (UKT) pun menjaid kewajiban mahasiwa ditunaikan. Kebijakan tak adil akhirnya memberikan peluang kepada mahasiswa kritis untuk turun ke jalan.
Pada hari Senin, 22/6/2020, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Gerakan Mahasiswa Jakarta Bersatu melakukan aksi unjuk rasa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Mereka meminta audiensi langsung bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim guna membahas aspirasi mereka terhadap dunia perguruan tinggi.
Sebagaimana diberitakan detikcom, massa membentuk kerumunan di depan gerbang Kemendikbud. Mereka membakar ban di trotoar. Salah satu tuntutan yang mereka sorot adalah soal pembiayaan kuliah di masa pandemi. Mereka meminta adanya subsidi biaya perkuliahan sebanyak 50 persen. Merespons tuntutan mahasiswa, Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud 25 Tahun 2020 terkait ketentuan penyesuaian uang kuliah tunggal (UKT). Nadiem mengatakan kebijakan ini dimaksudkan guna memberikan keringanan kepada mahasiswa di tengah pandemi virus Corona.
Pendidikan yang susah dijangkau oleh kalangan miskin dan melarat menjadikan Indonesia tak bisa menjadi negara terdidik karena ilmu. Tetapi terdidik karena uang. UKT hanya salah satu alat komersial dalam dunia pendidikan sistem kapitalisme yang sejatinya bukan untuk mencerdaskan dan membebaskan manusia.
Pertama, dunia pendidikan menjadi sarana untuk mencetak tenaga kerja terdidik yang berbiaya murah demi kebutuhan pasar kapital. Semenjak kapitalisme mengemuka pasca revolusi Industri di Inggris (1750-1850) yang menandai perkembangan alat produksi manusia, tenaga ahli sangat berguna untuk menjalankan mesin-mesin dan teknologi baru agar tidak jadi rusak dan berkarat, untuk itulah awal mula dunia pendidikan dibentuk pada awal kemunculan sistem kapitalisme.
Dalam perkembangannya dunia pendidikan di arahkan untuk memproduksi perluasan provit kaum kapialis. Contohnya pada Perang Dunia ke-II, dimana dunia pendidikan diberi subsidi untuk melakukan berbagai riset dan penemuan untuk memproduksi alat-alat perang, kesehatan, pangan, dan sebagainya. Setelah penemuan baru ditemukan, hasilnya justru dipatenkan oleh kaum kapilis untuk kepemilikan pribadi bukan kemaslahatan umat manusia. Sampai sekarang dimana perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat dan pabrik-pabrik besar semakin banyak terbuka, maka kebutuhan akan tenaga terdidik yang berbiaya murah menjadi semakin besar akan tetapi hal ini tidak sejalan dengan keberadaan perguruan tinggi yang berkualitas. Tenaga terdidik yang menjadi prioritas adalah mereka yang memiliki fisik yang bagus, bukan yang serba kekurangan (cacat, difabel, dan disabilitas) karena akan menghambat perkembangan modal.
Kedua, dunia pendidikan menjadi tempat untuk mendidik generasi muda agar menjadi penurut dan teralienasi dalam tatanan masyarakat kapitalis. Proses tersebut tersebut dapat kita lihat semenjak mahasiswa memasuki perguruan tinggi. Baru masuk kuliah saja calon mahasiswa sudah dihadapkan oleh ratusan pesaing untuk masuk di universitas sesuai dengan jurusan yang diinginkannya, tidak sedikit dari mereka yang salah jurusan karena sistem persaingan seperti ini, ditambah lagi dengan mahalnya biaya kuliah. Setelah masuk perkuliahan mahasiswa dicekoki oleh doktrin untung ruginya para dosen dan menekan mahasiswanya untuk lulus dengan cepat agar mendapatkan pekerjaan, serta berlomba-lomba mendapatkan IPK tertinggi. Alhasil setelah lulus IPK yang tinggi tadi tidak berguna dalam menghadapi realitas keseharian dan masalah yang ada dalam masyarakat, namun kembali berlomba-lomba dengan jutaan sarjana lainnya untuk menggantungkan nasibnya pada institusi-institus kapitalis besar termasuk negara yang notabane hanya untuk menambah provit kaum kapitalis.
Ketiga, dunia pendidikan menjadi tempat berlangsungnya akumulasi modal itu sendiri terjadi. Proses akumulasi modal tersebut diperas dari nilai lebih yang didapat dari keringat para buruh. Ini juga yang menyebabkan buruknya sistem belajar mengajar yang dialami oleh mahasiswa. Dosen misalnya mayoritas berstatus tenaga kerja kontrak (outsourching), honorer, bahkan hubungan kerja yang tak jelas (upah murah, jaminan kesehatan, kecelakaan kerja dan jaminan hari tua). Ini juga menimpa buruh-buruh di lingkungan kampus lainnya seperti staf-staf kampus, pegawai akademik, satpam, dan pedagang kecil. Pemotongan anggaran jaminan sosial dan PHK yang terus membayangi para buruh dunia pendidikan tidak sebanding dengan dipotongnya perjalanan dinas para pejabat, pajak progresif bagi perusahaan besar, dan lain-lain.
Padahal pendidikan adalah tanggung jawab negara, termasuk pendidikan tinggi. Karena merupakan kebutuhan dasar yang tidak mungkin dipenuhi sendiri oleh rakyat. Islam mewajibkan umatnya untuk menempuh pendidikan, yakni menuntut ilmu. Sehingga pendidikan tak menjadi lirikan yang harus dikritisi karena bebas biaya dari pemerintah. Sistem pendidikan Islam mendorong seluruh manusia agar terdidik dan mengenal agamanya. Maka, sistem pendidikan kapitalis tak selayaknya diagungkan, tetapi sistem pendidikan Islam adalah hal yang harus diperjuangkan agar diterapkan untuk menjadikan pendidikan lebih bermutu dan memiliki daya saing.