Sebuah Ilustrasi Akademik di Wilayah Remote Area
FAJARPENDIDIKAN.co.id-Dampak dari Wabah Virus Corona (Covid-19) cukup mempengaruhi setiap sendi aktivitas sebuah negara. Tak terkecuali Indonesia dengan karakteristik masyarakatnya yang beragam dari Sabang sampai Merauke telah melahirkan penyikapan yang berbeda terhadap musibah wabah yang mendunia ini.
Dampak Corona pun telah mempengaruhi proses pendidikan (akademik) yang berjalan di negeri ini, mulai jenjang pendidikan dasar, menengah sampai Perguruan Tinggi.
Bagaimana tidak, upaya pencegahan Corona melalui konsep Social Distancing atau Physical Distancing telah merumahkan proses akademik yang bertatap muka langsung di kelas-kelas dalam gedung mewah dengan segala fasilitas penunjangnya.
Mungkin bagi sebagian kita, ini adalah kesempatan untuk menggunakan berbagai macam virtual learning. Bukankah di era 4.0 ini semuanya akan serba mudah dengan berbagai bentuk aplikasi pembelajaran online yang tersedia.
Jika selama ini, program ini hanya sifatnya membantu untuk memudahkan proses perkuliahan walaupun dosen sedang berhalangan atau tidak berada di tempat, perkuliahan pun akan tetap berjalan. Maka saat inilah sesungguhnya pemanfaatan teknologi itu dibutuhkan.
Dengan melihat karakteristik masyarakat dan daerah Indonesia yang beraneka ragam maka tentu pemikiran seperti ini kurang pas untuk disamaratakan.
Mungkin ini sejalan apa yang disampaikan oleh Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim bahwa dalam situasi saat ini, tak semua pembelajaran online yang dilakukan sekolah akan optimal.
Pernahkah kita memikirkan bagaimana kondisi saudara setanah air kita di wilayah remote area. Dimana tentunya mereka, jangankan dapat mencoba berbagai macam teknologi jaringan, istilah-istilah daring saja bagi mereka masih terasa asing. Ini adalah ilustrasi sederhana untuk daerah yang sangat pedalaman dengan kondisi daerah dan pengetahuan yang sangat rendah terkait teknologi informasi.
Berikut kondisi pembelajaran di sebuah daerah pedalaman yang kami kutip dari HYPERLINK “https://today.line.me/id/pc/article/Potret+Kesederhanaan+Siswa+di+NTT+Saat+Belajar+di+Rumah+Setiap+Hari+Guru+Antarkan+Tugas+Baru-QXKm2z”kompas.com “Saya mengerjakan soal-soal matematika sementara adik saya belajar membaca. Kami dua belajar secara manual tanpa komputer dan internet. Kami dua belum bisa memakai komputer dan internet,” kata Andreas.
Dalam kondisi berbeda, walaupun seorang mahasiswa berasal dari daerah yang sangat pedalaman tetapi pemahaman tentang teknologi informasi bisa saja berubah ketika ditempa dengan kondisi kampus dengan fasilitas IT yang mumpuni.
Namun persoalannya adalah nuansa wabah Covid-19 ini telah merumahkan mereka, harapannya tetap di kost namun panggilan kampung halaman ternyata memiliki daya pikat yang tinggi untuk didiami sejenak dan menjadi tempat yang paling aman untuk berlindung dari paparan virus corona.
Persoalan lain adalah ketika model pembelajaran online ingin diterapkan dengan baik maka tentu harus didukung oleh kesiapan bukan hanya dosen sebagai pemberi informasi tetapi juga mahasiswa sebagai sasaran pembelajaran juga harus siap dari segi fasilitas.
Penggunaan berbagai bentuk aplikasi yang diharapkan memudahkan transformasi pembelajaran (seperti zoom, webinar, virtual learning, google classroom, dan sejenisnya) ternyata cukup merogoh kantong mahasiswa untuk membeli voucher pulsa internet. Tentu hal ini cukup membebani keluarga mereka, apalagi mereka selama ini terbiasa menggunakan fasilitas internet gratis di kampus.
Dalam analisis masalah maka hal ini menimbulkan double burden (beban ganda). Jika selama ini masyarakat (baca: orang tua) telah cukup merasakan dampak wabah Covid-19 terutama dari segi aspek ekonomi keluarga dikarenakan mengikuti anjuran pemerintah untuk tetap di rumah agar tidak menjadi sumber penularan virus.
Dengan kondisi saat ini malah beban itu semakin terasa dengan tambahan permintaan uang voucher pulsa si anak yang harus mengikuti proses belajar secara daring.
Menurut Peter Senge dalam bukunya Disiplin Kelima menjelaskan 11 hukum diantaranya adalah “The cure may be worse than the disease” (obatnya bisa lebih buruk dari penyakitnya). Dalam memberikan solusi terhadap sebuah permasalahan maka tentu kita harus berpikir sistem, melihat hubungan sebab akibat, mencermati kemungkinan dampak yang akan dihasilkan. Jangan sampai bermaksud memberikan solusi tetapi malah menimbulkan masalah baru, bahkan lebih dari sebelumnya.
Sebagai dosen yang mengajar di salah satu perguruan tinggi di bagian tepi barat Pulau Sulawesi sedikitnya merasakan kondisi ini. Begitu banyak keluhan mahasiswa yang masuk, alasan tidak dapat mengikuti kuliah online hari ini dikarenakan kehabisan kuota internet.
Dalam kondisi sulit seperti ini, tentu bukan saatnya mencari kambing hitam atau siapa yang dituduh atau disalahkan. Sebagaimana hukum disiplin kelima yang lainnya menurut Peter Senge, “there is no blame” (Tak ada yang perlu disalahkan), karena kita dan penyebab permasalahan merupakan bagian dari sistem.
Sebagai seorang akademisi, semestinya berupaya untuk memikirkan solusi yang terbaik sehingga dalam kondisi sulit seperti ini, proses pembelajaran tetap berjalan tanpa memberikan beban ganda kepada mahasiswa dan keluarganya. Perlu dipikirkan model pembelajaran mandiri dan interaktif yang tentunya tetap mengedepankan output pembelajaran yang berkualitas.
Mekanisme kontrol dari seorang dosen perlu dipikirkan dengan baik. Anjuran bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) setidaknya memberikan waktu yang banyak untuk berpikir dan berkreasi dalam pengembangan akademik.
Jika saat ini para tenaga medis di garda terdepan berjibaku dalam menangani pasien yang terinfeksi Covid-19, maka memikirkan strategi pembelajaran yang tepat agar mahasiswa yang terkena dampak dari musibah ini dapat merasakan pembelajaran dengan baik adalah lahan perjuangan bagi seorang dosen.
Semoga upaya yang diawali dengan niat baik ini mendapatkan kemudahan dan ganjaran pahala di akhirat kelak. Semoga Allah Subhanahu wata’ala segera menyelesaikan musibah ini sehingga kita kembali dalam kondisi normal, Allahul musta’an.
Penulis: Ashriady, SKM., M.Kes (Dosen Poltekkes kemenkes Mamuju, Pengurus Relawan Jurnal Indonesia (RJI) Korda Sulawesi Barat)