OPINI : Nelayan Tolak Reklamasi Makassar Ditangkap, Kapal Dikaramkan

FAJARPENDIDIKAN.co.id – Duta Besar Cina untuk Indonesia Xiao Qian menyatakan jika Indonesia adalah negara penting yang menjadi mitra dari negara Tiongkok karena setengah investasinya sudah masuk di Pulau Sulawesi. investasi dari Tiongkok yang sudah berjalan dengan nilai investasi cukup besar berada di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan dan Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

Di Makassar, beberapa program rencana yang ditawarkannya yakni, pengembangan jalan tol layang yang sedang berjalan saat ini di Jalan Andi Pangerang Pettarani. Kemudian pengembangan kawasan reklamasi pantai serta rancangan program transportasi massal seperti kereta api dalam kota.

Nelayan Tolak Reklamasi

Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) mengatakan tiga nelayan ditangkap polisi dalam aksi terbaru guna memprotes pengerukan pasir pada Minggu (23/8).

“Minggu, 23 Agustus 2020, tiga nelayan ditangkap polisi dari polairud Polda Sulawesi Selatan dan kapal patroli dari Mabes Polri saat melakukan aktivitas mencari ikan di wilayah tangkapnya,” ungkap Ahad, perwakilan dari ASP, melalui keterangan tertulis, Senin (24/8).

Mulanya, Faisal, salah satu nelayan yang ditangkap, hendak memancing sekitar pukul 03.00 WITA, bersama nelayan lainnya. Pada 10.00 WITA, kapal penambang pasir milik PT Boskalis melakukan pengerukan pasir di sekitar lokasi pemancingan.

Kapal tersebut kemudian semakin mendekat ke lokasi nelayan tengah memancing. Namun, nelayan masih bertahan di lokasi mereka hingga berhadapan langsung dengan kapal tambang pasir. Alhasil, alat tangkap berupa pancing milik nelayan terhisap kapal tambang pasir. Nelayan kemudian melakukan aksi protes dan menuntut kapal penambang tidak melakukan pengerukan pasir di lokasi pancing.
Aparat dari Dit Polairud Polda Sulsel dan kapal patroli Mabes Polri yang mengawal penambangan pasir meminta nelayan bubar dan menghentikan aksi. Mereka mendatangi lokasi aksi dengan satu kapal perang dan empat speedboat sekitar pukul 14.00 WITA.

“Saat nelayan melakukan protes, terjadi adu mulut dengan anggota kepolisian dari Polair Polda Sulsel. Salah satu nelayan didatangi dan diancam diborgol namun menolak,” cerita Ahmad.

Beberapa peluru pun diklaim sempat dilepaskan ketika aparat memaksa ingin menangkap nelayan namun mendapatkan penolakan. “Dua perahu cadik (lepa-Lepa) nelayan ditenggelamkan dan satunya lagi dirusak oleh Pihak Dit Polairud Polda Sulsel,” menurut Ahmad.

- Iklan -

Empat nelayan kemudian ditangkap aparat. Satu orang nelayan berhasil lompat dari perahu polisi dan berenang menuju perahu nelayan lain. Ketiga nelayan tersebut langsung dibawa ke kantor Dit Polairud Polda Sulsel.

Ketika pihak keluarga hendak menemui nelayan yang ditangkap bersama tim penasihat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, ASP mengatakan, polisi tidak mengizinkan.

“Hal ini tentu merupakan bentuk tindakan menghalang-halangi hak untuk mendapatkan bantuan hukum yang seharusnya menjadi hak dari ketiga nelayan yang ditangkap,” tambah mereka.

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Untuk itu, ASP menuntut aparat kepolisian berhenti mengkriminalisasi nelayan dan membebaskan mereka. Dit Polairud Polda Sulsel juga diminta bertanggung jawab atas penenggelaman tiga kapal milik nelayan.

“Penangkapan nelayan yang menolak penambangan pasir di wilayah tangkap nelayan sangat berlebihan, apalagi penambangan tersebut dikawal oleh polisi, bahkan didatangkan dari Mabes Polri. Ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap nelayan,” tuturnya.

Sebelumnya, kasus kriminalisasi terhadap penolak penambangan pasir juga terjadi terhadap salah satu nelayan, Manre, yang ditahan dengan sangkaan tindak pidana perusakan mata uang yang pasal 35 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napi Tumulus menilai aksi yang dilakukan nelayan seharusnya dilindungi hak kebebasan berpendapat dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pasal 66 UU tersebut mengatakan bahwa orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana atau digugat secara perdata.

Hal ini pun, katanya, semakin diperkuat dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/5K/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (SK KMA 36/2013).

“Kami menilai bahwa pihak Kepolisian tidak peka dan hati-hati dalam menggunakan upaya paksa penahanan di masa pandemic saat ini, hal ini harus menjadi atensi langsung dari Kepala Kepolisian RI dan Presiden Joko Widodo,” lanjutnya.

Dilansir dari CNNIndonesia.com, telah dilakukan upaya untuk menghubungi Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Selatan, Kombes Pol Ibrahim Tompo untuk mengonfirmasi terkait kasus-kasus di atas namun belum mendapat jawaban.
Diketahui, Pemerintah menetapkan Makassar New Port (MNP) sebagai salah satu proyek strategis nasional untuk mengembangkan Indonesia bagian timur. Pembangunannya dilakukan dengan reklamasi. Dalam prosesnya, perlu ada penggalian pasir.

Walhi Sulsel, izin tambang pasir itu merambah daerah-daerah tangkapan ikan nelayan di perairan Copong Lompo, Bone Ma’lonjo, Ponto-pontoang, Lambe-lambere, yang masuk kawasan Pulau Sangkarrang dan Pulau Kodingareng. Para nelayan pun melakukan perlawanan.

Investasi Asing : Merusak Mata Pencarian Warga

Proyek Reklamasi Makasar yang dikerjakan Patungan Pengembang Ciputra Grup dan PT Yasmin Bumi Asri yang mewakili Pihak Pemprov, memperlihatkan wajah asli sistem Kapitalis, yaitu abai terhadap rakyat dan lingkungan lingkungan hidup. Bahwa semua bisa dikorbankan demi proyek-proyek dari para pemilik modal. Semua perizinan akan mudah dikeluarkan meski melanggar UU yang berlaku, dan alat negara seperti kepolisian yang sudah dikenal keloyalannya pada rezim dan kapitalis, dengan mudah dikerahkan oleh rezim untuk mengamankan proyek-proyek para kapitalis.

Reklamasi Makassar dari sisi UU yang berlaku saat ini pun melanggar dan tidak sesuai prosedur, merujuk pada UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, maka seharusnya Pemprov Sulsel lebih dulu membuat peraturan daerah (perda) tentang penataan wilayah pesisir ataupun pulau-pulau kecil.

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Namun faktanya Pemprov Sulsel mengizinkan pembangunan proyek CPI sebelum perda dimaksud terbit. Padahal pada tahun 2017 Pemprov Sulsesl telah diingatkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan agar berhati-hati memberi izin proyek reklamasi.

KKP sendiri dengan jelas menyatakan tidak merekomendasikan pembangunan proyek CPI sebelum zonasi penataan wilayah pesisir diatur dalam perda.
Terlebih lagi, wilayah reklamasi pantai Losari termasuk di dalam rencana kawasan strategis nasional sehingga pembangunannya memerlukan persetujuan dari kementerian terkait.

Masukan dan protes dari Walhi pun bak angin lalu. Muhammad Al Amin, mendesak agar CPI, yang digarap oleh grup Ciputra, bertanggung jawab atas abrasi yang terjadi di pesisir Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, sebagai dampak dari reklamasi yang berlangsung sepanjang 2017-2018.

Kekuasaan dan pemilik modal bersatu dalam sistem kapitalis, semua struktur kekuasaan dan aparat negara dikerahkan, maka rakyat yang memperjuangkan hak dan kebenaran akan ditangkap bak kriminalis.

Proyek Reklamasi Makasar sendiri yang dikalim sebagai proyek strategis nasional oleh Gubernur NA, adalah rangkaian proyek strategis para kapitalis dalam dan luar negeri. Jaringan Transmisi listrik juga akan dibangun ke daerah Metro Tanjung Bunga yang akan mengalirkan listrik dari PLTU Punagayya Jeneponto Ke Makasar. PLTU Punagayya adalah pembangkit listrik tenaga Batubara yang dibangun Investor dari China.

SDA Adalah Kepemilikan Umum

Dalam pandangan Islam, Kawasan pesisir merupakan kepemilikan umum yang manfaatnya seharusnya dapat dirasakan oleh rakyat. Reklamasi di dalam Islam boleh dilakukan, namun harus tetap memperhatikan ketentuan syariat.

Negara dengan pengaturan harus memberikan kemungkinan kepada seluruh rakyat untuk bisa memanfaatkan atau mendapatkan manfaat dari harta milik umum. Negara juga harus mengelola langsung harta milik umum dan hasil pengelolaan itu seluruhnya dikembalikan kepada rakyat baik secara langsung atau dalam bentuk berbagai pelayanan.

Maka dari itu, aktivitas reklamasi pembangunan MNP dan penambangan yang sarat dengan kepentingan kapitalis tentu bertentangan dengan Islam. Terlebih lagi, kerakusan kapitalis mengabaikan aspek kemaslahatan dan keselamatan lingkungan.

Maka untuk menanggalkan semua kondisi buruk yang terjadi maka tak ada cara selain segera menanggalkan sistem yang busuk ini dan menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Sebuah pemerintahan yang wajib ditegakkan sebab dengan tegaknya Khilafahlah, aturan Islam akan terterapkan secara menyeluruh. Penerapan syariat Islam secara sempurna adalah sebuah kewajiban dan bentuk konsekuensi dari keimanan. Dalam bingkai Khilafah pulalah rakyat termasuk nelayan di kota Daeng ini mampu kembali hidup sejahtera.

Oleh : Juniwati Lafuku, S.Farm. (Pemerhati Sosial)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU