FAJARPENDIDIKAN.co.id – Pendidikan seyogyanya memiliki visi kritis terhadap sistem yang dominan sebagai bentuk pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan lebih adil, menjadi agenda tersendiri bagi pendidikan. Perkara demikian diperoleh dari hasil pengejawantahan antara pendidikan yang diatur dalam konstitusi dengan sikon sistem pendidikan pada realitas sosial saat ini.
Kultur pendidikan dari masa ke masa baik yang terjadi di desa maupun di kota nampak memiliki kesamaan utamanya dalam hal metode pendidikan. Metode yang dikembangkan dalam dunia pendidikan dan pelatihan terhadap masyarakat mewarisi pikiran positivisme seperti objektivitas, empiris, tidak memihak pada peserta, berjarak dengan objek belajar, rasional dan bebas nilai, sehingga sangat banyak fasilitator sesungguhnya justru berperan menjadi penghambat proses pembebasan dan ikut berperan pula menumpas benih-benih watak emansipatoris pada setiap proses pendidikan dan pelatihan (Schroyer, T: 1973).
Bentuk dan jenis kesenjangan pendidikan mayoritas terjadi di pedesaan serta mengenai semangat memperoleh pendidikan, hampir dapat dipastikan bahwa masyarakat desa memiliki semangat juang di atas rata-rata daripada masyarakat kota. Berikut contoh perjuangan masyarakat desa dalam menuntut pendidikan meski dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai. Dikutip dari kompas.com mengenai murid SD Negeri Cicaringin 3, Kecamatan Gunung Kencana, Lebak, Banten yang harus meniti kabel baja menyeberang Sungai Ciliman saat pulang dari sekolah. Lambannya pemerintah membangun infrastruktur membuat mereka harus rela berjalan sejauh 6 kilometer pergi dan pulang untuk mencapai sekolah dan berisiko terjatuh ke sungai.
Setelah kasus jembatan miring di Lebak, Banten dan kasus di Kabupaten Pesisir Selatan, Padang. Kasus Jembatan miring juga ada di Desa Kangenan, Pamekasan, Jatim. Di jembatan inilah, warga yang akan pergi kerja atau sekolah, mempertaruhkan nyawa termasuk para pelajar terpaksa harus melintas jembatan tersebut karena merupakan akses terdekat ke tempat tujuan (Benediktus Vito).
Hal yang tidak jauh beda pun terjadi di desa Allamungeng Patue, Kabupaten Bone yang letaknya kurang lebih 157 km dari Makassar sebagai ibu kota provinsi Sulawesi Selatan namun dengan permasalahan yang mungkin saja dirasakan oleh kebanyakan desa, yakni persoalan akses pendidikan yang harus mengeluarkan biaya yang tinggi sehingga melahirkan paradigma atau stigma pada masyarakat desa bahwa pendidikan hanya diperuntukkan bagi masyarakat golongan atas yang memiliki kemampuan ekonomi mumpuni. Tak ayal, banyak generasi muda di desa tersebut mengalami putus pendidikan dan lebih memilih untuk merantau ke negeri tetangga seperti Malaysia untuk menjadi tenaga kerja demi kelangsungan hidup.
Terhadap apa yang terjadi di desa Allamungeng Patue mengenai paradigma masyarakat desa terhadap pendidikan dan konstruksi keredupan masa depan pendidikan di desa tersebut menjadi lokus tersendiri dalam artikel ini.
Pemecahan persoalan pendidikan seharusnya tidak dilakukan secara parsial per kasus, tetapi haruslah dilakukan secara menyeluruh untuk semua masalah dalam konteks kebersamaan. Dengan begitu, sungguh tidak bijak, jika memecahkan satu masalah di atas dengan meninggalkan masalah yang lain. Sebagai misal, untuk memecahkan persoalan pertama, jangan dilakukan secara parsial dan dikontraskan dengan pemecahan masalah yang lain. Jika hal itu dilakukan, maka yang akan terjadi adalah kekbijakan yang satu akan dengan sendirinya menghambat pada penuntasan masalah yang lainnya (Idrus, 2012).
Paradigma Pendidikan
Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual (wikipedia, 2019).
Sementara itu, Pandangan klasik tentang pendidikan, pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus; pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat di masa mendatang. Kedua, mentransfer (memindahkan) ilmu pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban (Langgulung, 1980).
Lebih lanjut, pendidikan di mata Freire merupakan sebuah pilot project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. Menjadikan pendidikan sebagai pilot project, berarti kita berbicara tentang sistem politik kebudayaan (cultural politics) yang menyeluruh dan melampaui batas-batas teoritis dari doktrin politik tertentu, serta berbicara tentang keterkaitan antara teori, kenyataan sosial dan makna emansipasi yang sebenarnya (Freire, 1999).
Kehidupan Masyarakat Desa Allamungeng Patue
Desa Allamungeng Patue yang terkenal dengan situs budayanya yakni perjanjian Tellumpoccoe atau perjanjian tiga kekuasaaan, Bone, Soppeng dan Wajo. Allamungeng Patue sendiri berasal dari tiga rangkaian suku kata, yaitu : “Allamungeng” artinya “tempat menanam”, “patu” artinya “batu”, dan “e” merupakan akhiran yang berarti “tempat”. Jadi Allamungeng Patue berarti tempat menanam batu.
Adapun sebab dinamakan demikian, karena dalam tahun 1582, Raja Bone ketujuh yang bergelar “La Tenriruwa BongkangE MatinroE ri Gucinna” bersama Arung Matowa Wajo kesebelas yang bernama “La Mungkace Toudammang MatinroE ri Batana” dan Datu Soppeng ketigabelas bernama “La Mappaleppe PatolaE” , membuat suatu “Persekutuan Tiga Kerajaan” di kampung Bunne (sekarang Dusun Bunne). Maksud utama dari persekutuan tersebut adalah untuk menentang supremasi Gowa atas ketiga kerajaan tersebut. Persekutuan ini dikenal dengan “MattelellumpoccoE” (Tiga kerajaan menyatu dalam persekutuan).
Dalam perjanjian persekutuan tersebut, antara lain diucapkan oleh ketiga raja, yaitu : “Malilu sipakainge, rebba sipatokkong, sipadapi riperi rinyameng, tellu tessibaiccukeng, tessiancinnaiyang ulaweng tasa, patola malampe, warangparang maega, naiyya teya ripakainge iya riduwai”. Artinya : Yang lupa diperingati, yang tumbang ditegakkan, saling menyampaikan kesusahan dan kegembiraan, ketiganya sama kedudukan, tidak menghendaki penguasaan emas dan harta benda, siapa yang tidak ingin diperingati, dialah yang diserang. “Rekkuwa engka maceko, nakkatenni marunrung, nalla maili, temmita deceng”. Artinya: Siapa yang khianat, pegangannya runtuh, tempatnya berpijak longsor, tidak dapat kebaikan selama-lamanya.
Desa Allamungeng Patue merupakan salah satu desa dari 10 desa yang ada di Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone, dengan luas wilayah 17 km2, dengan jumlah penduduk kurang lebih 1.557 jiwa dengan 592 KK dengan mayoritas pekerjaan sebagai petani dan buruh tani.
Pendidikan dan Persepsi Masyarakat Desa Allamungeng Patue
Pendidikan sebagai salah satu modal utama yang memiliki kontribusi penting terhadap kemajuan bangsa tentu harus didukung pula oleh sarana-prasarana pendidikan yang memadai dan yang tidak kalah penting adalah akses pendidikan yang terjangkau. Hasil wawancara dengan beberapa masyarakat desa Allamungeng Patue mengungkapkan bahwa pada hakikatnya pendidikan itu sangat penting akan tetapi kendala terbesarnya adalah akses pendidikan yang memerlukan biaya tinggi.
Desa Allamungeng Patue terdiri dari tiga dusun, yakni dusun Sumpang Lawo, Bunne dan Kawerang dengan jumlah penduduk 1.557 jiwa. Di antara tiga dusun tersebut, terdapat dua dusun dengan tingkat putus sekolah yang tinggi, yaitu dusun Kawerang dan dusun Sumpang Lawo. Dusun Bunne sebagai dusun terluas dengan jumlah 287 KK, disusul dusun Sumpang Lawo dengan jumlah 178 KK dan terakhir dusun Kawerang dengan jumlah 127 KK.
Meskipun dusun Bunne sebagai dusun terluas dengan jumlah penduduk 759 jiwa dan jumlah anak yang layak sekolah 362 jiwa, akan tetapi hanya 96 jiwa yang duduk di sekolah dasar, 28 jiwa di sekolah menengah pertama dan 15 jiwa di sekolah menengah atas serta 223 jiwa masuk dalam kategori tidak sekolah dan putus sekolah. Di dusun Sumpang Lawo terdapat 421 jiwa layak sekolah, 35 jiwa di sekolah dasar, 19 jiwa di sekolah menengah pertama dan 8 jiwa di sekolah menengah atas serta 349 jiwa masuk kategori tidak sekolah dan putus sekolah. Sementara itu, di dusun Kawerang dengan jumlah anak yang layak sekolah 377 jiwa, 26 jiwa di sekolah dasar, 11 jiwa di sekolah menengah pertama dan 5 jiwa di sekolah menengah atas serta 335 jiwa dikategorikan tidak sekolah dan putus sekolah. Dari tiga dusun dalam kurun 2019-2020, yang melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi hanya berkisar 8 jiwa.
Dari hasil presentase data temuan awal 2019 sampai 2020 di atas menunjukkan angka paling rendah tentang minat terhadap pendidikan di desa Allamungeng Patue. Perihal biaya pendidikan dan faktor bekerja sejak dini adalah rerata jawaban dari responden saat dimintai keterangan tentang pandangan mereka tentang pendidikan.
Menurut salah seorang tokoh masyarakat, sebut saja Yusuf yang juga sebagai Kepala Dusun Bunne, berpendapat bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk melanjutkan dan atau tidak melanjutkan jenjang pendidikan anak mereka. Pertama, persoalan akses pendidikan yang tidak terjangkau. Kedua, persepsi instan dan konsumtif masyarakat desa yang cenderung mengikut dengan logika kehidupan modern yang menjadikan kekayaan secara materi sebagai segala-galanya sehingga lebih memilih mencari pekerjaan pada usia dini dibanding melanjutkan pendidikan.
“ulebbireng suroi anakku jokka majjama ko Malaysia daripada na patterui sikola na, nasaba degaga duiku lo pattuntui massikola kasina’. Ko jokkai Malaysia majjama, wedding i na bantu ongkosona anri-anrina. Magatti topa na duppai wasselena”. (saya lebih mendukung anak saya untuk pergi bekerja di Malaysia daripada melanjutkan sekolah karena saya tidak punya cukup uang untuk biaya sekolahnya. Kalau pergi bekerja di Malaysia, bisa juga ia bantu pembiayaan adik-adiknya. Terus langsung dapat memperoleh hasil keringatnya sendiri), ungkap Semmi, seorang warga dusun Sumpang Lawo, desa Allamungeng Patue saat diwawancarai di kediamannya tentang alasannya untuk tidak mendukung anaknya melanjutkan jenjang pendidikan.
Di dusun Kawerang, seorang warga dimintai keterangan tentang pendidikan namun jawabannya sedikit berbeda dengan sebelum-sebelumnya. “iyero yaseng assikolangnge pappada laleng malempu mita tajang. Iya wala palaui warangparangku untu passikolai anakku bara engka mua kasi nulle padanna sibawa nullei tingkakengi rupatta”. (yang dibilang sekolah atau melanjutkan pendidikan ibarat berjalan menuju jalan lurus dan terang. Saya rela keluarkan semua harta yang saya miliki demi melanjutkan sekolah anak saya dengan harapan agar anak saya bisa berguna dan menaikkan derajat kami selaku orang tuanya), ungkap H. Dg. Mappuji.
Masyarakat desa Allamungeng Patue yang notabenenya berprofesi sebagai petani dan buruh tani tentu sangat mengharapkan jika akses pendidikan dapat dijangkau oleh tingkat perekonomian mereka. Akan tetapi, polemik biaya pendidikan nampaknya menjadi penyakit tersendiri di tubuh pendidikan. Hal demikian dapat dibuktikan misalnya maraknya gelombang protes mahasiswa pada pendidikan tinggi yang masih mempermasalahkan biaya pendidikan mahal dan tidak terjangkau dan masih banyak pula masyarakat desa yang nampak kewalahan membiayai pendidikan anak mereka khususnya di desa Allamungeng Patue.
Fenomena anak-anak sekolah atau mahasiswa di perguruan tinggi yang terpaksa berhenti di tengah jalan kian mengalami peningkatan kurva setiap tahunnya. Seperti yang terjadi di Kabupaten Bone, dilansir dari www.instingjurnalis.com, pengamat pendidikan Kabupaten Bone memaparkan jumlah anak yang putus sekolah mencapai 28 ribu orang pada tahun 2019 dengan pelbagai faktor. Salah satunya perekonomian orang tua siswa atau mahasiswa mengalami penurunan.
Selain itu, hal demikian juga diperparah oleh sikon desa yang semakin menunjukkan wujud kemiripannya dengan kota atau terdapat usaha untuk ke sana. Obsesi masyarakat desa terhadap gaya hidup kota terus mengalami peningkatan mulai dari gaya berpakaian, kepemilikan alat elektronik canggih hingga cara berpikir serta bertindak bercorak perkotaan. Tak pelik, kebiasaan masyarakat kota yang cenderung berpikir minimalis dengan adagium “kalau ada yang mudah, untuk apa susah”.
Adagium tersebut membentuk pola kebiasaan baru seperti lahirnya sekelompok masyarakat instan dan konsumtif.
Budaya dan corak metropolitan modern di perkotaan menjalar masuk ke pemukiman masyarakat desa. Perkara tersebut juga didukung kuat oleh orientasi dunia modern yang bergerak pada poros industrialisasi dan yang terpenting adalah poros tersebut membutuhkan SDA agar tetap langgeng. Lingkungan desa yang masih tetap asri dan rindang menjadi sasaran utama para investor yang bergerak pada bidang industri. Desa dengan wajah kota adalah keniscayaan.
Masyarakat desa yang tergiur dengan panorama kehidupan masyarakat kota tentu akan bergerak ke sana selain karena pengaruh obsesi, segala sesuatunya telah disediakan oleh wadah industri. Masyarakat desa hanya perlu bekerja untuk mendapatkan nominal lebih untuk ditukar dengan segala macam kemewahan yang ditawarkan dunia industri. Tak ayal, gotong royong dan segala hal yang berhubungan dengan kekerabatan semuanya berubah menjadi money interest. Membantu tetangga untuk menanam padi di sawah tidak cukup hanya dengan ucapan “terima kasih” melainkan harus dengan nominal pula.
Pendidikan bukanlah lagi menjadi perkara utama bagi masyarakat desa melainkan bekerja untuk kehidupan yang lebih layak. Masyarakat desa yang konsumtif adalah masyarakat yang tercipta dari tatanan dunia dengan prioritas profit-oriented seperti ruang pendidikan yang tampil sebagai kendaraan memperoleh keuntungan bukan lagi sebagai sarana memanusiakan manusia.
Perkara demikianlah yang menjadi polemik bagi dunia pendidikan saat ini dari privatisasi hingga kapitalisasi pendidikan. Maka pendidikan justru akan tampil sebagai mesin pencipta kesenjangan dan ketidakadilan. Pendidikan sebagai sarana pengasahan diri manusia menuju konsep kemanusiaan dan memanusiakan seperti yang termaktub dalam UUD 1945 tentang tujuan pendidikan nasional adalah merupakan sebuah jawaban atas segala polemik di atas, lantas pertanyaannya adalah apakah para aparatur pendidikan berniat dan berusaha untuk menyelaraskan dan menerapkan kembali asa dan cita pendidikan yang termaktub dalam UUD 1945 pada dunia nyata? Kiranya, tidak ada yang mustahil jika diusahakan dengan sepenuh hati untuk kemajuan bangsa dan negara.
Oleh : Askar Nur, Alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Alauddin Makassar