OPINI : Pendidikan Sampai Sarjana, Sudah Cukupkah?

Bukankah Najwa Shihab pernah berkata; “ Apa arti ijazah yang bertumpuk, jika kepedulian dan kepekaan tidak ikut dipupuk, apa gunanya sekolah tinggi-tinggi, jika hanya perkaya diri dan famili”.


FAJARPENDIDIKAN.co.id – Pendidikan merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan pendidikan orang belajar dan menemukan ha-hal baru yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Sehingga tidak sedikit dari kita ingin menempuh pendidikan setinggi-tingginya agar senantiasa bisa mengubah cara berpikir kita dari yang sempit menjadi lebih luas.

Selain itu, pendidikan juga adalah senjata utama untuk memecahkan hampir semua yang kita hadapi di kehidupan sehari-hari. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh salah satu tokoh paling berpengaruh di Afrika Selatan yang juga merupakan mantan Presiden Afrika Selatan yakni Nelson Mandela ia berkata “Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat kamu gunakan untuk mengubah dunia”.

Hal ini terbukti bahwa saat ini kita berada di abad 21. Perkembangan teknologi di era globalisasi ini secara tidak langsung menantang kita untuk mampu beradaptasi dengan proses perubahan yang begitu cepat disemua lini kehidupan ini, tak terkecuali dibidang pendidikan. Sehingga, hal yang harus kita tempuh untuk meningkatkan kualitas kemampuan kita disegala bidang yakni dengan melalui pendidikan atau bersekolah setinggi-tingginya.

Sebab, jika pendidikan kita rendah, maka kita akan tergerus oleh zaman dan tidak mampu berkembang atau stagnan ditempat saja. Oleh karena itu, tidak sedikit dari kita berlomba-lomba atau berusaha semaksimal mungkin dengan melakukan segala cara agar kita bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Banyak yang ditempuh oleh para pelajar atau mahasiswa sehingga ia mampu bersekolah setinggi-tingginya baik itu melalui program beasiswa yang telah disediakan oleh pemerintah ataupun mencari pekerjaan sampingan agar dirinya bisa menempuh pendidikan setingi mungkin.

Hal ini karena bagi sebagian mereka beranggapan bahwa, yang bisa membedakan kita antara yang satu dengan yang lain ditengah-tengah masyarakat adalah pendidikan. Sebab, tidak sedikit dari orang-orang yang pendidikannya tinggi mendapat tempat tersendiri ditengah masyarakat dan terkadang juga cukup disegani oleh sebagian masyarakat.

Maka dari itu, menempuh pendidikan tinggi merupakan impian hampir semua orang. Terlebih lagi jika orang-orang tersebut terlahir dari orang-orang yang memang sudah berlatar pendidikannya tinggi, misalnya anak seorang dosen, guru, atau bahkan seorang professor. Sehingga, baginya itu pendidikan adalah sebuah keharusan yang perlu ditempuh olehnya karena memang ia terlahir dari orang-orang yang berintelektual. Pendidikan juga sejatinya membuat orang berakhlakul karimah, dan memegang nilai-nilai atau norma yang telah dibuat oleh pemerintah setempat.

Sehingga, jika kita adalah orang-orang yang berpendidikan, maka kita termasuk orang-orang yang berkarakter dan berbudi luhur kepada sesama. Nilai-nilai kemanusiaan tetap harus dijunjung tinggi bagi para pelajar atau mahasiswa yang saat ini atau telah menempuh pendidikan setinggi mungkin. Karena jika pendidikan tersebut tidak mengubah pola perilaku dan pola berpikir kita maka kita termasuk orang yang sia-sia dalam menempuh pendidikan itu sendiri.

Tapi yang menjadi problem dan pertanyaan kita sampai hari ini, pendidikan tinggi sampai sarjana sudah cukupkah untuk membekali diri kita hidup di era revolusi industri 4.0 ini dengan banyak tantangan yang harus dilalui untuk tetap eksis dan tidak tertinggal karena kemajuan teknologi dan informasi yang berkembang? Tentu untuk menjawab masalah ini banyak perspektif yang muncul dalam melihatnya dari banyak sisi. Sebab, pendidikan sampai sarjana menurut sebagian besar orang, masih belum cukup, karena pendidikan yang ditempuh dalam kurun waktu empat tahun di perguruan tinggi (S-1) belum memberikan spesifikasi keilmuan kepada orang tersebut.

Oleh karena, pembelajaran yang ditempuh saat kuliah S-1 masih sekedar rumpun ilmu umum yang dikaji dalam jurusan yang dipilih artinya belum memusatkan konsentrasi pengkajian dalam mengimplementasikan ilmu atau jurusan yang dipelajari dikampus. Tapi, disisi lain ada yang menganggap bahwa pendidikan sampai sarjana itu rasanya sudah cukup bagi mereka. Mungkin saja mereka menganggap bahwa pendidikan sampai sarjana itu sudah cukup menjadi sebagai persyaratan untuk mereka memasuki dunia lapangan kerja.

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Karena kita juga banyak melihat bahwa hampir rata-rata perusahaan besar ketika membuka lowongan kerja salah satu syaratnya minimalnya ijazah S-1 sehingga ia hanya ingin kuliah sampai sarjana saja. Bisa juga karena mereka ingin mendaftar sebagai calon pegawai negeri sipil sehingga mereka kuliah sampai sarjana.

Tapi bagi penulis sendiri melihat bahwa, pendidikan sampai sarjana itu bukan persoalan cukup atau tidak cukupnya, tapi kita harus melihat dedikasi dan kepedulian seseorang tersebut ditengah masyarakat ketika mereka dibutuhkan oleh orang-orang yang berpendidikan yang lebih rendah dari mereka apakah orang yang sudah sarjana ini telah hadir untuk mereka? Sebagai bentuk kepekaannya terhadap kondisi sosial dimasyarakat.

Bukankah Najwa Shihab pernah berkata; “ Apa arti ijazah yang bertumpuk, jika kepedulian dan kepekaan tidak ikut dipupuk, apa gunanya sekolah tinggi-tinggi, jika hanya perkaya diri dan famili”. Melihat kata-kata dari mbak nana yang sapaan akrabnya ini, kita bisa memberikan pandangan baru, bahwa esensi dari pendidikan itu sendiri bukan sekedar kita ingin cari popularitas ditengah masyarakat, bukan juga karena kita ingin memperkaya diri dari segala hal. Tapi, hakikat dari pendidikan itu sendiri yakni bagaimana kita bisa bermanfaat terhadap sesama terlebih lagi jika mereka membutuhkan ilmu kita untuk belajar dari pengalaman kita sendiri.

Sehingga pendidikan sampai sarjana bagi penulis bisa dikatakan telah cukup, jika orang yang telah lulus kuliah ini mempunyai dedikasi kepada masyarakat. Apalah arti pendidikan itu sendiri jika hanya membuat diri kita sombong dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar kita. Meskipun diri berpendidikan tinggi tapi esensi dari pendidikan itu sendiri yakni memanusiakan manusia tidak ada dalam diri seseorang, makanya sejatinya tujuan dari pendidikan itu belum sempurna.

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Karena betapa banyak kita lihat orang-orang diluar sana yang pendidikannya sampai S-3 bahkan diluar negeri ia kuliah sampai ia bergelar professor, akan tetapi karya dan dedikasi mereka dimasyarakat tidak begitu nampak, atau bahkan dirinya sendiri tidak begitu dikenal oleh masyarakat kecil. Karena mereka hanya selalu berkecimpung dengan orang-orang yang punya kekuasaan, sehingga waktu mereka untuk orang-orang yang dibawah mereka tidak begitu dipedulikan.

Maka dari itu tidak ada yang salah ketika orang ingin kuliah setinggi mungkin bahkan sampai ia bergelar professor. Akan tetapi, pendidikan yang tinggi itu alangkah baiknya harus diiringi dengan karya apakah itu berupa buku, ataupun tulisan-tulisan yang dalam karya itu kita bisa memberikan inspirasi dan motivasi kepada masyarakat agar mereka yang ditakdirkan tidak mampu untuk merasakan nikmatnya duduk dibangku perkuliahan bisa tetap semangat dan termotivasi untuk tetap sabar dalam menjalaninya.

Ataukah kita juga bisa mengiringi dengan membuat sebuah wadah, apakah itu berupa komunitas, yayasan dan sebagainya yang bisa kita berikan ke masyarakat untuk wadah bagi mereka untuk tetap belajar meski ia tidak mampu kuliah sampai sarjana. Sehingga, secara tidak langsung semua dedikasi dan karya-karya kita yang kita terapkan ditengah masyarakat dapat membawa manfaat bukan hanya untuk kita tapi juga untuk orang lain. Maka ketika pendidikan kita misalnya hanya sampai sarjana, karena mungkin keterbatasan ekonomi yang kita miliki sehingga tidak bisa melanjutkannya bukan hal yang perlu dipersoalkan.

Tapi yang perlu untuk direnungkan pada orang-orang yang telah menyelesaikan kuliahnya di perguruan tinggi ialah, apa yang telah engkau berikan pada bangsamu dan masyarakatmu setelah pendidikan tinggi telah engkau lalui. (*)


Penulis M. Syahrul Yasin adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar. Ia adalah penulis buku “ Figur-figur ‘Radikal’ & ‘Keras’ ” : Sebuah Biografi Singkat dari Figur-figur yang Menginspirasi yang terbit tahun 2019. Saat ini ia dipercayai menjadi Ketua Forum Pelajar dan Mahasiswa (FPM) Simpul Pena Agupena Sulawesi Selatan periode 2020-2023.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU