Opini: Penolakan RUU Minol, Bukti Kemustahilan Penerapan Syariah Islam Dalam Sistem Demokrasi

Pembahasan RUU Minuman Beralkohol (Minol) menjadi kontroversi ditengah-tengah masyarakat. Di DPR sendiri 9 fraksi memiliki pandangan yang berbeda. Salah satu fraksi yang menyetujui pengesahan RUU tersebut adalah fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) .

Anggota badan legislasi  fraksi PKS, Bukhori Yusuf  menjelaskan bahwa dasar  dalam membuat larangan minuman beralkohol adalah dengan melihat dampak negatif yang disebabkan-nya. “Dampaknya negatif semua, minuman beralkohol itu secara kesehatan menimbulkan penyakit yang sangat banyak,” Ungkapnya kepada merdeka.com, Rabu (18/11)

Data menunjukkan bahwa pada tahun 2014 korban meninggal dunia yang dipicu oleh alkohol sebanyak  3,3 juta orang atau setara dengan 5,9 persen kematian, serta 58 persen tindak kriminal karena dibawah pengaruh minuman beralkohol.

Sementara itu, beberapa fraksi yang menolak beralasan bahwa aturan yang ada sudah lebih dari cukup, sehingga dianggap belum perlu untuk membuat UU baru terkait  minol. Terlebih lagi, data kementrian keuangan menunjukkan bahwa penerimaan cukai minol per juli 2020 sebesar 2,64 triliun. Meski mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2019 yang mencapai 7,3 triliun, namun angka tersebut masih terbilang fantastis.

Jika RUU Minol ini disahkan menjadi UU, maka setiap orang yang memproduksi, menjual, menyimpan, maupun mengonsumsi alkohol bisa terancam pidana. Dengan kata lain, perdagangan dan konsumsi miras tidak lagi bisa dilakukan sembarangan, otomatis akan membunuh pariwisata dan akan berdampak pada APBN negara.

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Demokrasi Bukan Jalan Penerapan Islam

Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, seharusnya tidak ada kendala pengesahan RUU Minol di negeri ini. Namun faktanya sungguh sangat miris, penolakan itu justru datang dari sebagian besar kaum Muslim.

Berbagai tantangan atas usulan RUU pelarangan minol karena menganggap RUU ini menyalahi perinsip dasar legislasi ala Demokrasi. Maka  mustahil dapat melegalkan Syariat Islam di negara yang tegak diatas sistem Sekuler Kapitalis. Dimana kepentingan materi, kelompok dan keberagaman diatas kepentingan ummat. Jika melegalkan satu RUU minol saja begitu sulit, bagaimana mungkin dapat menerapkan Islam secara kaffah melalui jalan Demokrasi ?

Dalam sistem demokrasi, standar penentu sebuah peraturan setidaknya dapat dikategorikan menjadi tiga. Pertama Suara terbanyak diatas suara kebenaran, sesuatu yang dapat membawa mudharat bagi ummat bisa menjadi sesuatu yang disanjung-sanjung ketika didominasi oleh suara mayoritas.

- Iklan -

Kedua Standar perbuatan adalah tercapainya materi yang sebesar-besarnya, bukan berdasarkan pada tindakan itu terpuji atau tercelah, baik atau buruk bahkan halal dan haram tidak menjadi pertimbangan selama dapat meraih keuntungan materi.

Ketiga Keberagaman menundukkan agama. Meski menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, namun tidak menjadikan legalitas hukum berdasarkan pada hukum agama, melainkan selalu mengedepankan keberagaman. Jika Minol dilarang karena dalam Islam merupakan minuman haram maka akan menjadi peraturan yang mengintimidasi penganut agama lain.

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Lantas bagaimana kita masih bisa terus berharap pada Demokrasi untuk menjadi jalan penerapan Syariat Islam ?

Khilafah Jalan Penerapan Syariat Islam

Menerapkan nilai-nilai dan ajaran Islam secara kaffah adalah sebuah kewajiban, bukan hanya sebatas larangan meminum minuman beralkohol. Namun seluruh perkara yang berkaitan dengan kehidupan manusia, mulai dari masuk wc sampai masuk surga seluruh perkara tersebut diatur dalam Islam.

Khilafah, nyata pernah ada bahkan belasan abad pernah memimpin peradaban dunia. Menyatukan bangsa, budaya dan agama yang beragam di bawah ayoman satu kepemimpinan politik yang taat kepada Allah.

Melalui sistem kekhilafaan-lah syariat Islam dapat tegak secara kaffah, tanpa mendiskreditkan penganut agama lain. Allah memerintahkan untuk berhukum hanya dengan hukum Islam, tanpa tebang pilih. Apalagi mencampuradukannya dengan hukum batil buatan manusia, menerapkan hukum semata-mata demi menjalankan perintah Allah, bukan karena dorongan materi ataupun kekuasaan.

Tidak pernah ada satu peradaban pun yang tercatat dalam sejarah mampu mewujudkan kebahagiaan hidup sebagaimana diimpikan oleh manusia selain peradaban khilafah. Kondisi ini memang sudah dijanjikan oleh Allah sebagai pemilik syariat dalam firman-Nya :

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS Al-A’raf: 96). Wallahu’Alam

Penulis : Nurhikmah,S.Pd.I / Praktisi Pendidikan

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU