Membincang isu keperempuanan, rasanya tidak jauh dari pembahasan isu kesetaraan gender. Terlebih lagi, isu ini semakin marak disuarakan di masa kini. Eksistensi perempuan acapkali diabaikan dalam kehidupan sosial dan bernegara.
Pengabaian ini tentu bukan takdir yang turun dari langit begitu saja. Perempuan ditempatkan sebagai manusia kelas dua dipengaruhi berbagai faktor penyebab yang menjadikannya terbentuk ke dalam tatanan sistem budaya, soaial, bahkan bernegara.
Secara sosial dan budaya, Indonesia yang masih sangat kental patriarchal society system, perempuan seringnya ditempatkan semata-mata berfungsi reproduktif. Karena persepsi semacam ini, perempuan seringkali dipandang hanya berperan di rumah saja untuk melanjutkan keturunan dengan melahirkan dan mengasuh anak. Istilah lainnya adalah perempuan itu hanya mengurusi urusan “dapur, sumur, dan kasur”.
Sialnya, perempuan yang berada di rumah juga harus bertugas mengerjakan semua beban pekerjaan domestik yang dipersepsikan hanya bisa dilakukan oleh perempuan. Fungsi reproduksi yang secara kodrati melekat pada perempuan ini memang seringnya dihubungkan dengan pekerjaan domestik rumah yang dianggap pula sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh kaum perempuan.
Sistem budaya yang amat kental dengan patriarki ini tidak berhenti di dalam lingkungan keluarga saja. Di sistem sosial, perempuan juga tidak jarang dipersepsikan sebagai manusia yang memiliki kelemahan, keterbatasan, tidak logis, dan sering menggunakan perasaan. Olehnya, perempuan dianggap tidak lebih kompeten dibanding laki-laki untuk bekerja di sektor publik yang kompetitif dan rasional.
Sementara di sisi lain, laki-laki dipersepsikan dan ditempatkan berfungsi produktif. Mereka berfungsi dan berperan sebagai pencari nafkah di ruang publik. Kesempatan mereka untuk menduduki peran-peran strategis dalam sektor publik lebih terbuka lebar dibandingkan perempuan. Sebagai pencari nafkah, kaum laki-laki dianggap bertanggung jawab penuh terhadap keberlangsungan rumah tangga sekaligus berfungsi sebagai kepala rumah tangga.
Tidak jarang kondisi seperti ini membentuk relasi kekuasaan di dalam rumah tangga. Status laki-laki sebagai kepala keluarga seringkali bertindak sebagai penguasa dalam keluarga. Bentuk komunikasi dan hubungan seperti ini tidak hanya menguasai keluarga, tetapi juga membentuk keluarga dalam kekuasaan laki-laki dan menemptakan perempuan sebagai manusia kelas dua di dalam keluarga. Hal yang serupa tidak jauh berbeda di sektor publik.
Memanglah benar bahwa perempuan sudah banyak yang duduk di posisi sebagai pemimpin di ranah politik, ekonomi, pemerintahan, dan sebagainya. Namun, untuk mampu berada di posisi strategis tersebut, para perempuan harus berusaha dua kali lipat dibanding para laki-laki. Kaum perempuan harus membuktikan dirinya kepada masyarakat bahwa mereka juga mampu melakukan sesuatu yang dianggap “pekerjaan laki-laki”.
Budaya patriarki ini mandarah daging dan masih tersosialisasi di tengah masyarakat karena tidak dapat dimungkiri bahwa budaya ini mendapat legitimasi dari berbagai aspek kehidupan. Karenanya, meski dalam sejarah sekalipun banyak perempuan yang memegang peran penting untuk masyarakat dan negara, tetap saja jarang menuai apresiasi terhadap peran dan kemampuannya.
Dalam pandangan Islam sendiri, posisi perempuan dan laki-laki tidak dibedakan. Bahkan, perempuan memiliki posisi yang istimewa dengan menempatkan posisi surga yang ada di telapak kaki ibu (perempuan). Allah Swt. berfirman dalam surah An-Nahl (97), “Man amala shalihan min dzakarin aw untsa wa huwa mukminun falanuhyiyannahu hayatan thayyibatan” yang artinya “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”
Tidak ada pembedaan selain amalan saleh yang dikerjakan dalam hal ini. Laki-laki maupun perempuan menempati posisi dan porsi yang sama di mata Allah Swt. Argumen lain untuk kesetaraan peran penting laki-laki dan perempuan juga dikemukakan pula oleh Prof. Nina bahwa hal ini selalu diucapkan dalam doa kita sehari-hari. Doa itu adalah “Allahummaghfir lii wa li walidayya warhamhuna kamaa rabbayaani shaghira”. Artinya, Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku dan kasih sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidikku di waktu kecil.
Kata ‘kama rabbayani’ dimaknai orang tua. Dengan demikian, yang dimaksud adalah ayah dan ibu. Mereka mempunyai peran yang sama, setara dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Jadi, apabila hanya ibu saja yang mengasuh dan mendidik anak, bisa dikatakan ayah tidak akan mendapat kasih sayang dari Allah Swt.
Kondisi tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan terhadap perempuan tentulah akan berbeda untuk setiap perempuan. Hal ini bergantung kembali pada lingkungan dan keluarganya. Akan tetapi, secara umum tekanan sosial terhadap perempuan masih tetap sama. Ketika konservatisme agama meningkat, tekanan berbasis pemahaman dogma terhadap perempuan akan melegitimasi praktik ini.
Kondisi hari ini sedikit jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Saat ini sudah semakin banyak perempuan dan juga laki-laki yang mulai “bangun” terhadap isu keperempuanan. Meski di sisi lain pun tetap saja masih ada beberapa pihak atau kelompok yang justru melanggengkan tekanan dan ekspektasi sosial terhadap perempuan, terutama melalui propaganda media sosial.
Seiring dengan dengan pemahaman terhadap isu gender tersebut, perempuan hebat tidaklah cukup dengan hebat dalam mengurusi urusan domestik rumah tangga saja, tetapi juga mesti mampu dituntut hebat dalam urusan publik. Perempuan harus berani mengambil peran dalam masyarakat dan menunjukkan eksistensi serta potensi dirinya.
Prof. Nina mengemukakan tiga kondisi yang harus dipenuhi agar perempuan menjadi berdaya, baik di urusan domestik maupun di urusan publik, yaitu berpendidikan tinggi, memiliki akses terhadap informasi, dan kemampuan memanfaatkan informasi untuk mengakses berbagai kesempatan dan peluang karier yang memerlukan kompetensi.
Terkait tingkat pendidikan, data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa perempuan yang melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi lebih banyak dibandingkan laki-laki. Ada 32,2 persen perempuan dan 29,55 persen laki-laki di tahun 2020. Potensi ini seharusnya menjadikan perempuan tidak lagi menempati posisi kelas dua karena memiliki daya saing akademik yang tidak kalah dengan kaum adam.