OPINI : Pilkada Dimasa Pandemi, Jurus Jitu Melanggengkan Kekuasaan

Keputusan untuk tetap melaksanakan Pilkada ditengah pandemi dianggap keputusan yang terlalu dipaksakan.

FAJARPENDIDIKAN.co.id – Ditengah kondisi pandemi Covid-19 yang belum berakhir, pesta demokrasi dalam ajang pemilihan kepala daerah akan tetap diselenggarakan, Pilkada yang sejatinya dijadwalkan pada bulan september terpaksa diundur ke bulan desember 2020, hal itu ditetapkan melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Keputusan untuk tetap melaksanakan Pilkada ditengah pandemi dianggap keputusan yang terlalu dipaksakan. Pasalanya, banyak hal yang patut untuk dipertimbangkan, baik masalah keamanan maupun keselamatan para petugas dan pemilih dari ancaman penularan Covid-19.

Karena dari hasil pemetaan wilayah sebaran Covid-19 terhitung ada 27 kabupaten kota yang terindikasi rawan tinggi, selain itu ada 146 Kabupaten atau Kota yang terindikasi rawan sedang dan 88 kabupaten dan Kota yang terindikasi rawan rendah.

Sementara itu, alasan yang menguatkan tetap dilaksanakannya Pilkada ditengah pandemi adalah banyaknya kekosongan jabatan yang selama ini hanya dijalankan oleh pelaksana tugas kepala daerah. Pelaksana tugas tersebut dianggap hanyalah bentuk legitimasi yang tidak memiliki kekuatan dalam menjalankan pemerintahan.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan “Sebab dampak penundaan Pilkada, bisa mengorbankan ekonomi lebih banyak. Sedangkan kepala daerah yang menjabat pun tidak memiliki kewenangan secara definitif,” kata Mahfud dalam Webinar Internasional bertema An Election in the Time of Pandemic; Protecting the Quality of Democracy and Potential Corruption, Kamis (25/6/2020).

Baca Juga:  Revisi UU ITE 2024: Perbaikan atau Sekadar Tambal Sulam?

Selain kekhawatiran akan penularan Covid-19, faktor lain yang patut untuk dipertanyakan adalah alasan bahwa penundaan pilkada akan mengorbankan ekonomi negara lebih banyak lagi. Bagaiamana mungkin hal itu dijadikan sebagai alasan, sementara anggaran untuk pelaksanaan Pilkada terbilang sangat besar. Tercatat total anggaran pilkada sebesar Rp 14,98 triliun.

Itu menjadi jatah 270 daerah yang menggelar pesta demokrasi lima tahunan itu. Anggaran tersebut belum termasuk dana tambahan yang diajukan kepada Kemenkeu sebesar 4,7 triliun untuk anggaran persedian hand sanitizer, termometer, disinpektan, masker untuk petugas dan alat pelindung diri disetiap tempat pemungutan suara.

Dengan anggaran yang begitu besar tentu tidak masuk akal jika alasan tetap dilaksanakannya Pilkada 2020 adalah untuk menyelamatkan ekonomi negara, justeru hal itu merupakan bentuk pemborosan anggaran ditengah kondisi pandemi yang seharusnya menjadi fokus pemerintah untuk berjuang menanggulangi wabah dan mengurangi dampak penularannya.

Namun, begitulah realitas sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini, berbagai kalangan berpendapat bahwa penyelenggaraan Pilkada dengan anggaran yang begitu besar adalah jalan para kroni penguasa untuk terus melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan kursi pemerintahan.

- Iklan -

Hal tersebut juga menunjukkan bahwa mekanisme demokrasi dalam pemilihan penguasa sangat sulit untuk menghasilkan pemimpin yang ideal. Sebaliknya, sistem demokrasi akan melanggengkan sistem kriminal yang menghasilkan legitimasi perampokan kekayaan negara dan semakin menyengsarakan rakyat.

Baca Juga:  Revisi UU ITE 2024: Perbaikan atau Sekadar Tambal Sulam?

Karena untuk memperoleh suara yang besar dalam sistem demokrasi para politikus membutuhkan kampanye yang masif, tentu hal ini harus disokong dengan dana yang besar pula.maka tidak heran ketika pemimpin yang terpilih akan menerapkan kebijakan-kebijakan yang akan menguntunkan dirinya dan para pemilik modal yang telah menyokongnya dalam proses pemillihan.

Sementara itu, Islam sebagai sebuah Agama dan Ideologi memiliki cara tersendiri dalam proses pemilihan dan pengangkatan kepala negara dan seluruh jajarannya, menempatkan kedaulatan tertinggi ditangan hukum syara’ bukan ditangan rakyat, terlebih lagi ditangan para kapital.

Keunggulan dalam mekanisme pengangkatan kepala negara yaitu metode pengankatan melalui baiat, batas kekosongan pemimpin negara hanya tiga hari, sehingga dalam waktu tiga hari haruslah terpilih pemimpin yang baru. Tidak diperlukan masa kampanye akbar yang membutuhkan waktu yang lama dan menghabiskan dana yang besar. Sementara untuk memilih pemimpin tingkat daerah maka dipilih langsung oleh khalifah karena mereka adalah pembantu khalifah dalam mengurus pemerintahan diwilayah tertentu.

Melalui mekanisme tersebut dengan izin Allah akan menghasilkan pemimpin yang bertanggungjawab terhadap segala wewenangnya. Hal itu didasari oleh kesadaran bahwa kedudukan sebagai pemimpin adalah amanah yang akan dipertanggung di akhirat kelak, bukan sebagai ajang untuk memperkaya diri dan melanggengan kekuasaan yang justeru menyengsarakan rakyat.

Oleh: Nurhikmah,S.Pd.I, Praktisi Pendidikan

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU