FAJARPENDIDIKAN.co.id – Kasus penyebaran virus Covid19 di Indonesia, kian hari kian mengkhawatirkan. Pasalnya, tingkat jumlah penderita terus bertambah. Hal ini membuat wacana PSBB kembali menguat. Selain itu, kematian para dokter terus bertambah. Tentu ini hal yang merugikan, karena jumlah dokter yang terbatas, sementara pasien lebih banyak.
Ngotot Pilkada Ditengah Pandemi Membuka Kluster Baru Penularan Covid19
Pasca terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 yang menjadi landasan hukum atas penundaan waktu pelaksanaan pilkada serentak akibat adanya bencana nasional wabah Covid-19.
Pemungutan dan penghitungan suara di 270 daerah yang pada awalnya dijadwalkan bulan September menjadi Desember 2020. Penundaan pilkada selama tiga bulan itu dapat dilaksanakan dengan asumsi apabila pandemi Covid-19 berakhir pada Mei 2020.
Ada beberapa perubahan dalam perppu tersebut, yakni Pasal 120 serta penambahan pasal 122A dan 201A. Isi perppu tersebut menyatakan dalam hal pemungutan suara serentak pada Desember tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam berakhir.
Namun, Menko Polhukam Mahfud Md menilai, usulan soal Pilkada Serentak kembali ditunda sulit diwujudkan karena perubahan UU membutuhkan waktu. Selain itu, penerbitan Perppu juga perlu persetujuan DPR dan belum tentu disetujui.
“Kemarin kan KPU dan DPR sepakat tunda, lalu presiden keluarkan Perppu-nya sehingga ketika dibahas lagi di DPR selesai, tidak ribut. Kalau presiden mengeluarkan sepihak juga kalau DPR menolak celaka itu, sudah telanjur batal, ditolak,” ungkap Mahfud (Cnnindonesia.com).
Wacana penundaan pilkada pernah dibahas oleh pemerintah, KPU, dan DPR. Namun, waktu itu, kata Mahfud, diputuskan pilkada tetap digelar 9 Desember 2020. Ada dua alasan. Pertama, pemerintah dan DPR tidak mau 270 daerah di Indonesia serentak dipimpin oleh pelaksana tugas. “Kita tidak mau. Jumlah 270 itu yang besar,” kata Mahfud.
Kedua, jika ditunda karena Covid-19, sampai kapan? Sampai kapan Covid-19 berhenti dan tidak lagi berbahaya? Toh, sampai hari ini, angka positif Covid-19 masih terus menanjak.
KPU telah memutuskan untuk tetap menggelar pilkada serentak di 270 daerah, terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pendaftaran pilkada dibuka 4-6 September 2020. Kemudian, 23 September 2020, penetapan paslon, dan 26 September-5 Desember 2020 ditetapkan sebagai masa kampanye.
Dirut Indo Barometer, Mohammad Qodari meminta pemerintah dan DPR merespons serius pilkada sebagai klaster Covid-19. Jika tetap dilaksanakan, UU Pilkada perlu direvisi. Kegiatan kampanye dengan pengumpulan orang, seperti rapat umum, pentas seni, dan kegiatan olahraga harus ditiadakan.
“Cukup dengan door to door campaign, alat peraga atau kampanye daring,” kata Qodari.
Bagi calon yang melanggar, harus ada sanksi yang tegas, mulai sanksi ringan hingga diskualifikasi. Jam kedatangan pemilih ke TPS juga harus diatur guna menghindari pengumpulan massa. “Perlu dalam UU dicantumkan penempatan TNI/Polri dalam mengatur jarak para pemilih di luar lokasi TPS,” papar Qodari.
KPU diimbau melakukan simulasi proses pilkada di 270 wilayah pilkada agar berbagai kemungkinan terburuk dapat diantisipasi secara komprehensif. Simulasi tidak hanya saat pemungutan suara, juga pengiriman surat pemberitahuan pada pemilih (formulir B6 KWK), ritme kedatangan pemilih, sampai dengan selesai pencoblosan.
Lebih jauh, Qodary menyatakan pilkada 9 Desember bisa menjadi superbig spreader alias bom atom kasus Covid-19. Dari simulasi yang dilakukan, kata Qodari, pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. Itu berdasarkan estimasi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam pilkada serentak.
Menurut Qodari, setidaknya ada empat syarat untuk mencegah penyebaran Covid-19 dalam proses pilkada. Pertama,membagikan masker ke seluruh rakyat Indonesia. Paling tidak 80% warga Indonesia sudah memiliki masker dan memakainya setiap hari.
Kedua, pemerintah harus merevisi UU untuk menghapus semua bentuk kampanye dengan kerumunan, pengaturan jam kedatangan pemilih, dan mengatur jaga jarak di luar TPS oleh aparat Polri dan TNI.
Ketiga, adanya sanksi yang tegas dan jelas kepada para calon kepala daerah yang melanggar larangan pengumpulan massa di pilkada sebagaimana diatur dalam UU Pilkada yang sudah.
Keempat, KPU harus melaksanakan simulasi pilkada di 270 wilayah pilkada, mulai dari distribusi surat pemberitahuan kepada pemilih, mengecek jam kedatangan pemilih ke TPS, sampai dengan penghitungan suara.
Sistem Islam Mudah Dan Murah
Demokrasi adalah sistem yang mahal, hal ini dapat dilihat dari penyelenggaraannya yang menelan dana tidak sedikit. Dapat dipastikan, banyak pihak yang menolak penundaan pelaksana pilkada karena takut kehilangan kesempatan dalam menduduki kursi kekuasaan. Selain itu, tingginya angka golput sebelum pandemi, dipastikan lebih tinggi lagi saat pandemi, justru menjadi ajang manipulasi data dan kecurangan yang lebih mudah untuk mendulang suara.
Harusnya pemerintah melihat, isu pilkada bukan hal urgen yang harus dibahas saat ini, namun melihat integritas penguasa dalam menangani pandemi, menghentikan angka penularan dan menstabilkan kebutuhan pokok masyarakat adalah hal yang sangat diharapkan saat ini. Justru sebaliknya, jika ngotot melaksanakan pilkada, maka muncul jumlah ledakan kasus penularan baru, hal ini sungguh mengkhawatirkan. Apalagi kondisi masyarakat yang memang tidak memperhatikan protokol kesehatan, semakin membuat kapan berakhirnya pandemi sukar di prediksi.
Dalam sistem Islam di bawah naungan Khilafah, dimana memilih pemimpin (Khalifah) merupakan sebuah kebolehan (mubah) karena hanya bagian dari cara (uslub) menentukan Khalifah. Setelah terpilih/ditentukan maka ia harus diangkat dengan metode baku (thariqah) yang telah dicontohkan oleh Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam, yaitu bai’at.
“Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barang siapa melanggar janji, sesungguhnya dia melanggar janjinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar” (TQS Al Fath: 10)
“Barangsiapa melepas tangannya (bai’atnya) dalam mentaati pemimpin, ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat dengan tanpa memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal dalam keadaan tiada baiat di pundaknya maka matinya seperti mati jahiliyah.” (HR. Muslim)
Kepemimpinan kaum muslimin setelah wafatnya Rasulullaah diwarnai dengan berbagai kisah yang menunjukkan bahwa betapa posisi Khalifah bukanlah posisi yang menggiurkan kala itu. Hal ini wajar terjadi karena Islam memandang bahwa kepemimpinan adalah amanah yang besar pertanggungjawabannya di dunia apalagi di akhirat kelak.
“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Ahmad)
Oleh karenanya proses pemilihan pemimpin dalam Islam tidaklah serumit pemilu saat ini yang memakan biaya tak sedikit. Prosesnya pun sederhana dan tak berbelit sehingga tidak membuka peluang sedikitpun bagi terjadinya kecurangan. Hal ini karena kaum muslimin tidak bisa kosong dari kepemimpinan melebihi 3 hari 2 malam berdasarkan perkataan Umar bin Khattab radhiyallaahu ‘anhu sebelum wafat karena ditikam, yang kemudian menjadi ijma’ sahabat :
“Jika saya meninggal maka bermusyawarahlah kalian selama tiga hari. Hendaklah Suhaib yang mengimami shalat masyarakat. Tidaklah datang hari keempat, kecuali kalian sudah harus memiliki amir (khalifah).” (Al-Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 256).
Terlebih lagi, ketakwaan individu serta kontrol masyarakat terpelihara di dalam Khilafah, dimana ketiganya merupakan pilar-pilar pengokoh penerapan Islam kaffah. Sehingga tidak ditemukan fenomena saling sikat dan saling sikut antar calon Khalifah dengan menghalalkan segala cara, apalagi dengan ujaran kebencian atau sentimen agama seperti yang terjadi saat ini.
Wallahu a’lam
Oleh : Juniwati Lafuku, S.Farm.