FAJARPENDIDIKAN.co.id -Salah satunya pembahasan terkait Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) beberapa waktu lalu yang sontak menuai banyak kritik dari para politisi hingga ormas.
Pasalnya UU HIP dinilai mengandung banyak pasal yang mengarah pada pelemahan Pancasila sebagai ideologi bangsa karena diduga ada kepentingan tertentu hingga menjadi corong lahirnya Ideologi Komunisme yang dibidani oleh rezim.
Pancasila harus dibaca secara utuh dari latar belakang kelahirannya, pidato dan pandangan para pendiri bangsa, para tokoh bangsa dalam BPUPK, Pidato Soekarno 1 Juni 1945, kesepakatan bulat pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Pembukaan UUD 1945 serta Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang diterima secara bulat oleh DPR RI pada 22 Juli 1959.
Karenanya, kata Zuhro, hanya menjadikan keadilan sosial sebagai pokok Pancasila telah mendistorsi makna Pancasila yang terdiri dari lima pokok (dasar), dan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai “causa prima” dari sila-sila Pancasila. Jika mau mengambil satu sila, kata dia, seharusnya cukup merujuk Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang ada dalam dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Republika.co.id)
RUU HIP diharapkan menjadi pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun kebijakan Pembangunan Nasional di berbagai bidang. RUU ini justru memuat banyak polemik mulai dari makna Pancasila sebagai ideologi, apa saja yang bertentangan dengan ideologi, juga bagaimana mewujudkan integrasi hingga polemik soal implementasi di berbagai bidang termasuk bidang ekonomi.
Di satu sisi menetapkan peran negara yang harus lebih dominan dalam menjaga ekonomi rakyat namun juga mendorong kebijakan utang luar negeri dengan alasan memperkuat ekonomi.
RUU ini mengundang polemik dan penolakan berbagai kalangan umat. Salah satu yang mengemuka karena celah keterbukaan terhadap berkembangnya Komunisme. Meski pembahasannya ditunda sementara waktu, tidak berarti selesai pembahasn tentang aspek ideologi ini.
Harus disadari oleh semua komponen bangsa bahwa ancaman tidak kalah besar bahayanya bersumber dari berkembangnya Kapitalisme dan Liberalisme yang makin mengakar di sektor-sektor strategis umat.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melihat RUU HIP bukan hal yang primer saat ini. Artinya DPR sudah salah memutuskan untuk tetap membahas RUU HIP. DPR adalah perwakilan rakyat seharusnya mereka memperhatikan aspirasi rakyat, maka DPR jangan punya agenda sendiri.
Menurutnya, pakar sudah mengkaji RUU HIP kemudian mengatakan bahwa RUU tersebut ngawur. Sebanyak 80 persen isi RUU HIP kontradiksi dan 20 persen agak benar. Maka MUI menolak tidak dimasukkannya Tap MPRS Nomor XXV/ 1966 ke dalam RUU HIP.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sendiri berpandangan bahwa RUU tersebut mestinya cukup fokus pada pengaturan eksistensi, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) BPIP sebagai organ pemerintah untuk melakukan pembinaan idiologi Pancasila.
Oleh karena itu, PPP meminta RUU tersebut tidak masuk secara mendalam dengan mengatur substansi yang pada akhirnya justru menjadi kontroversi baru tentang tafsir atau pemahaman Pancasila. Lebih lanjut, para ahli hukum dan ilmu perundang-undangan sebagian materi RUU HIP ini juga dikritisi soal tepat-tidaknya diatur sebagai materi muatan undang-undang.
Melihat celah lahirnya Ideologi Komunisme melalui Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 yang menjadi landasan hukum larangan penyebaran paham dan ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme, maka PPP akan bersama fraksi-fraksi yang sepaham agar masuk kedalam konsideran maupun penjelasan undang-undang tersebut nantinya.
Namun dilihat dari objek hukumnya, yaitu Pancasila yang diundangkan sebagai haluan ideologi, UU HIP dapat dipandang sebagai “Makna Pancasila”. Maka, dalam penerapan, kedudukannya bisa setara dengan UUD 1945. Bahkan dapat pula berada di atas UUD 1945, karena UU HIP dapat dimaknai sebagai Pancasila itu sendiri.
Dengan demikian UU HIP akan menjadi sumber dari segala sumber hukum negara dan UUD 1945 pun harus tunduk pada UU HIP. Bagaimana realitasnya nanti, akan sangat tergantung pada penguasa. Ini sangat berbahaya. Isi RUU HIP ditafsirkan Ekasila. Katanya Pancasila harga mati, tapi justru ditarik-tarik sesuai kepentingan golongan tertentu. Urutan Pancasila itu juga sudah harga mati termasuk urutannya dari sila pertama sampai ke lima.
Jika melihat ulang sejarah, PKI juga berhasil menjadi “penafsir tunggal” Pancasila. Lalu menjadikan isu anti-Pancasila dan Darul Islam untuk menyerang Masyumi, yang menjadi perwakilan kaum Muslim.
Setelah kaum Muslim bisa dilemahkan dengan pembubaran Masyumi, maka PKI ketika itu bisa menguasai pemerintahan, lalu mengusulkan apapun yang mereka cita-citakan. Jargon “Membela Pancasila” seperti Aidit dan kompatriotnya, justru merekalah yang menjadi pemberontak dan berujung membantai, mengkhianati Indonesia.
Pertanyaannya, apakah perlu membahas RUU HIP saat ini? Apakah yang sudah dibahas founding fathers kita masih kurang bagus? Atau Pancasila akan menjadi alat “gebuk” lawan yang berseberangan dengan pemerintah?
Di tengah situasi pandemi yang sulit, harusnya lebih memprioritaskan keselamatan nyawa rakyat dengan lebih gencar melakukan pengawasan kesehatan, serta memenuhi kebutuhan pokok rakyat agar aktivitas diluar rumah dapat dikurangi dengan mengalihkan aktivitas di dalam rumah, dengan begitu angka penularan virus dapat dikurangi. Karena melihat data penyebaran Covid19 ditiap kota besar masih sangat tinggi.
Sedangkan Islam Kaffah justru harus dihadirkan sebagai solusi, mengenalkan Islam sebagai ideologi yang sangat komprehensif dan terintegrasi. Islam memiliki konsep penyelenggaraan negara mulai aspek filosofi hingga sistem, yang mana islam pernah dijadikan dasar negara dan memimpin dunia hingga 13 abad atau 1300 tahun lamanya, berhasil mensejahterahkan penduduknya baik muslim maupun non muslim, semuanya diperlakukan secara adil dan manusiawi.
Memberi gambaran yang sangat jelas tentang apa saja yang bertentangan dengannya. Tidak ada saling kontradiksi antar bagiannya dan sistemnya, secara integral mewujudkan keutuhan, keadilan dan kesejahteraan.
Justru berbahaya jika ideologi yang sudah baku, berusaha ditafsirkan ulang, akan semakin mereduksi nilai-nilai yang dikandungnya, mengkaburkan makna dan berujung pada rumitnya penatalaksanaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh : Juniwati Lafuku, S.Farm.