OPINI : POP: Potret Buram Sistem Pendidikan Kapitalis

FAJARPENDIDIKAN.co.id – Program Organisasi Penggerak (POP) kebijakan yang di usung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Salah satu dari sekolah penggerak yang dibentuk oleh Kemendikbud, sebuah lembaga yang melibatkan beberapa organisasi masyarakat dan para relawan pendidikan yang dapat ikut serta menciptakan sekolah penggerak di Indonesia. Program ini bertujuan agar organisasi sekolah makin terlibat dalam membantu sekolah meningkatkan kualitas belajar siswa, serta meningkatkan kualitas para pendidik.

Kebijakan yang katanya unggulan ini banyak menuai protes dari berbagai kalangan, karena proses seleksi yang dilakukan oleh pemerintah dinilai tidak transparan (ketidakjelasan). Walaupun pemerintah mengatakan bahwa proses seleksi yang dilakukan telah transparan dan objektif.

Dengan alasan itu (ketidakjelasan) terdapat organisasi besar mengundurkan diri dari program tersebut. Seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Lembaga Pendidikan Ma’arif PBNU, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen), dan PP Muhammadiyah.

Mundurnya beberapa lembaga dalam program ini telah menjelaskan bahwa terdapat kejanggalan dalam pelaksanaannya. Salah satunya, terdapat peserta yang diragukan kemampuannya dalam dunia pendidikan karena tidak terdapat rekam jejak pendidikannya.

Rector Universitas Al-Azhar Indonesia, Asep Saefuddin, yang juga seorang pengamat pendidikan menilai POP harus memiliki konsep yang kuat. Asep mengatakan, Kemendikbud harus memeriksa Why, What, How (2W1H) dari program tersebut. “Di tataran Why, kemendikbud harus mampu mengkaji sampai ke akar-akarnya. Dengan kedalaman, ketajaman, dan keluasan analisis, tentunya berdampak pada What dan How,” kata Asep Ahad (26/7).

Program ini harus jelas menyasar ke titik-titik yang kurang dalam pendidikan. “Ini semua harus jelas. Jangan-jangan kita menggaruk kaki padahal tangan yang gatal” kata dia lagi.

Baca Juga:  Revisi UU ITE 2024: Perbaikan atau Sekadar Tambal Sulam?

Untuk program ini sendiri, pemerintah menyediakan dana yang tidak main-main. Rp.595 milyar pertahun disediakan untuk dibagi kepada organisasi yang lolos dalam program ini. Dana yang di kucurkan untuk organisasi terbagi menjadi tiga kategori. Gajah, Macan, dan Kijang. Gajah akan menjadapatkan anggaran sebesar Rp20 milyar per tahun, Macan Rp 5 milyar per tahun, dan Kijang mendapat 1 milyar per tahun. BBC News Indonesia (24/7/2020).

Hingga yang perlu di pertanyakan. Bagaimana program ini bisa berjalan jika ormas-ormas besar yang selama ini berkecimpung di dunia pendidikan tidak ikut serta? Sebaiknya program ini dapat di tunda bahkan di tiadakan.

Apa lagi di masa pandemi sekarang, harusnya pemerintah lebih memprioritaskan para siswa yang kesulitan melakukan pembelajaran daring, karena keterbatasan ekonomi, listrik dan telekomunikasi. Hal itu lebih mendesak ketimbang melanjutkan program tersebut.

- Iklan -

Jadi, bukan hanya pemerintah yang meminta haknya kepada masyarakan tetapi mereka melupakan kewajibannya dalam mengurusi masyarakat.

Program ini pun sarat akan adanya persekongkolan antara pemerintah dan para pemodal, karena tak lepas dari target keuntungan perusahaan-perusahaan. Maka, menghasilkan kualitas guru yang mereka diidamkan harus sesuai dengan kepentingannya. Selain itu, ini berpotensi buruk terhadap arah pendidikan Negara yang bisa di setir sesuai kehendak mereka. Tambah langgenglah perhahabatan antara pemerintah dan para pemilik modal.

Dari dulu problematika pendidikan di Indonesia belum juga menemui titik terang. Mulai dari fasilitas pembelajaran, proses pembelajaran, hingga kurikulum yang di terapkan. Membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia memang selalu sakit. Adanya program ini semakin membuktikan bahwa pemerintah hanya menjadi pengatur (regulator) bukan pelaksana dalam melayani urusan rakyatnya.

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Dengan adanya konsep ini (Negara hanya sebagai regulator) maka sangat mudah mendapatkan kesalahan dalam setiap kebijakan yang di keluarkan. Karena, cara kerja yang di perlihatkan sejak awal telah salah. Membuat kebijakan sesuai hawa nafsu tanpa memikirkan dampak kedepannya bagaimana. Jadi, jika menemui kesalahan mudah baginya mengatakan ‘bukan urusan saya’ sehingga dapat menyalahkan pihak lain. Maka, hal ini bukannya menghilangkan problematika tapi malah menambahnya. Dengan begitu, apa yang perlu di banggakan menganut sistem ini?

Dengan keriwetan yang terjadi sudah pasti membutuhkan solusi yang tepat, solusi yang datangnya dari pencipta alam semesta, apalagi kalau bukan sistem Islam. Islam mempunyai solusi dari A-Z. dalam Islam, Negara wajib bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya tanpa harus meminta bantuan pada asing dan aseng. Sebagaimana hadits Rasul.

“Khalifah/kepala Negara adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas pengurusan rakyatnya” (HR. al-Bukhari).

Dalam dunia pendidikan misalnya, tidak terdapat sekolah yang berbiaya tinggi, sebab sarana dan pra sarana pendidikan itu ditanggung oleh Negara yang berasal dari Baitul mal (Kas Negara). Sehingga wajar dahulu didapati pendidikan murah bahkan gratis tetapi hebatnya dapat melahirkan ilmuan-ilmuan yang hebat. Dikarenakan orientasinya adalah akidah Islam.

Maka, jika telah mengetahui sistem Islam adalah solusi yang terbaik. Maka, apa yang menghalangi kita untuk tidak berjuang mewujudkan sistem ini terealisasikan dalam bingkai Negara? Wallahu a’lam.

Nurul Firamdhani As’ary
(Mahasiswi dan Aktivis BMI)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU