FAJARPENDIDIKAN.co.id – Ada yang berbeda dengan musim haji tahun ini, kuota jamaah haji dikurangi dan dipilih secara online. Sekalipun begitu, pelaksanaan ibadah haji tahun ini tetap terlaksana sesuai dengan protokol kesehatan.
Jumat 31 Juli 2020 bertepatan dengan 10 Dzulhijah 1441 H, umat islam di seluruh dunia akan merayakan hari raya Idul Adha dalam suasana pandemi. Sekalipun begitu, suasana pandemi tidak mengurangi semangat umat islam dalam melaksanakan syiar islam, berhaji ke baitullah dan menyembelih hewan kurban.
Pandemi Menghasilkan Banyak Krisis
Berdasarkan data Satgas COVID-19 yang dilansir laman resminya, terdapat 57.393 kasus suspek. Jumlah ini lebih tinggi dari kasus suspek pada 28 Juli yang tercatat hanya 46.648 orang. Jumlah tersebut berdasarkan data yang masuk ke pemerintah pusat hingga Rabu siang, baik melalui tes real time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) maupun Tes Cepat Molekuler (TCM) (Tirto.id).
Pandemi juga menghasilkan banyak krisis ikutan di sektor kesehatan (kebutuhan terhadap fasilitas kesehatan lebih banyak, kebutuhan vaksin, banyak nakes yang meninggal karena tertular Covid19), Sektor ekonomi (kemandegan hingga depresi dan resesi) serta krisis sosial (Pendidikan, ketahanan keluarga dan kerusakan generasi). Hal ini menunjukkan, solusi New Normal yang digadang-gadang pemerintah nyatanya justru menjadi masalah baru, tingkat penderita dan angka kematian terhadap Covid19 semakin mengkhawatirkan. Namun lagi-lagi, issu ini seakan tak terasa ditengah masyarakat, orang-orang hidup seperti biasa, beraktivitas kadang tak patuh protokol kesehatan, bahkan virus Corona tidak mematikan.
Penuhi Seruan Allah dan rasulNya
Pada hari raya Idul Adha , kembali kita mengenang peristiwa agung pengorbanan Nabi Ibrahim as. dalam menaati perintah Allah SWT. Ia diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail as, buah hati, harapan dan kecintaannya yang telah sangat lama didambakan. Allah SWT melukiskan hal itu:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ
Lalu ketika Ismail telah sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Anakku, sungguh Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelih kamu. Karena itu pikirkanlah apa pendapatmu.” (TQS ash-Shaffat [37]: 102).
Menghadapi perintah itu, Nabi Ibrahim as. mengedepankan kecintaan yang tinggi, yakni kecintaan kepada Allah SWT. Ia menyingkirkan kecintaan yang rendah, yakni kecintaan kepada anak, harta dan dunia.
Perintah amat berat itu pun disambut oleh Ismail as. dengan penuh kesabaran. Ia mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya:
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Ismail berkata, “Ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan kepada engkau, In syaa Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar.” (TQS ash-Shaffat [37]: 102).
Kisah kedua hamba Allah SWT tersebut tentu harus menjadi teladan bagi kaum Muslim saat ini. Tak hanya teladan dalam pelaksanaan ibadah haji dan ibadah kurban, namun juga teladan dalam berjuang dan berkorban demi mewujudkan ketaatan kepada hukum-hukum Allah SWT secara kâffah.
Saat ini kita menyaksikan banyak hukum Allah SWT yang diabaikan, khususnya syariah Islam yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara; di bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, hukum pidana, pendidikan, politik luar negeri dan sebagainya. Syariah Islam yang belum diamalkan secara kâffah dalam kehidupan kita inilah yang menyebabkan kehidupan kaum Muslim saat ini terpuruk dan terjajah.
Memang, perubahan besar dunia menuju tegaknya syariah secara kâffah tersebut tidak mudah; memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang besar dari segenap kaum Muslim. Namun, dengan pengorbanan serta persatuan seluruh elemen umat, insya Allah perjuangan yang memang sekilas tampak sulit itu akan menemukan hasilnya dalam waktu yang tidak lama lagi. Demikianlah sebagaimana yang telah Allah SWT janjikan:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka—sesudah mereka berada dalam ketakutan—menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan apapun. Siapa saja yang kafir sesudah janji itu, mereka itulah orang-orang yang fasik (TQS an-Nur [24]: 55).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Oleh : Juniwati Lafuku, S.Farm.