Akibatnya, hak perempuan korban atas keadilan dan kebenaran serta hak keluarga korban pemulihan tidak terpenuhi.
Kondisi ini merupakan simpulan dari pengembangan pengetahuan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tentang femisida: bentuk, ranah, hubungan korban dengan pelaku, dampaknya terhadap keluarga yang ditinggalkan serta perundang-undangan dan kebijakan yang ada.
Untuk itu, Komnas Perempuan merekomendasikan upaya yang lebih sistematis dalam menyikapi femisida, diawali dengan data terpilah.
TEMPO.CO, Jakarta – Organisasi Perempuan Mahardhika melakukan aksi nasional untuk memperingati 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan. Aksi ini digelar di 4 kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Banjarmasin, Makassar, dan Samarinda.Â
HKATPA, kata dia, merupakan rangkaian akhir penyelenggaraan Program Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Tahun 2022. Kegiatan ini dimulai 25 November hingga 10 Desember 2022.
Menurut Tuty, 16 HKATPA ini dilaksanakan dalam bentuk Road Show Jakarta Ramah Perempuan dan Peduli Anak, dengan tema “Ciptakan Ruang Aman, Kenali UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kasus femisida (pembunuhan terhadap perempuan) terjadi makin ekstrem. Namun, pengaduan kasus femisida ke lembaga layanan maupun ke Komnas Perempuan nyaris tidak ada.
Oleh karena itu, data pembunuhan perempuan dicari dari pemberitaan media massa daring rentang 2018—2020. Dari pantauan di media, Komnas Perempuan menemukan 84 kasus femisida pasangan intim sebagai eskalasi KDRT yang berujung pada pembunuhan, baik oleh suami maupun mantan suami korban.
Bentuk penganiayaannya beragam, antara lain dicekik, ditindih, dipukul, dibekap, ditendang, dibacok, dimutilasi, dibanting, dibakar, dsb.
Rutinitas Kampanye Tak Kunjung Usai
Setiap bulan November digelar  peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, (16HKtP) 25 November – 10 Desember.
Kampanye di Indonesia sudah berlangsung sejak 2001, namun kekerasan terhadap perempuan terus saja terjadi, bahkan ketika UU TPKS sudah disahkan Persoalan ini jelas membutuhkan solusi tuntas yang menyentuh akar persoalan.Â
Apalagi regulasi pun ternyata tak bergigi. Solusi tuntas hanya dapat diwujudkan dengan merubah cara pandang yang salah terhadap kehidupan. Cara pandang yang shahih adalah cara pandang berdasarkan Islam, yang menjadikan akidah islam sebagai asas dan dunia adalah tempat beramal yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Regulasi Islam Mengatur Perempuan
Islam dengan kekuatan kepemimpinan dan sistemnya akan menjamin perempuan terlindungi dari kekerasan. Pertama, Khilafah akan menjamin media steril dari tayangan yang berbau pornografi dan kekerasan.
Para Qadhi (hakim) akan bertindak tegas bagi para pelanggarnya dan mencabut segera izin pendirian medianya. Kedua, jaminan sistem ekonomi. Dalam masyarakat Islam, salah satu ciri masyarakat sudah sejahtera adalah ketika perempuannya sudah tidak ada minat bekerja, kecuali untuk mengamalkan ilmunya.
Ini karena syariat telah dengan jelas mengangkat derajat perempuan karena ketakwaannya. Ketakwaannyalah yang akan menggiringnya pada pengoptimalan menjalankan amanah sebagai ibu dan manajer rumah tangga.
Ia akan berusaha sebaik mungkin untuk mengasuh anak-anak mereka, menjadi madrasatul ula, dan menciptakan rumah yang aman dan nyaman bagi seluruh penghuninya. Bukankah ini yang akan melindungi perempuan dan anak-anak dari kekerasan?
Keluarga yang sejahtera dan paham agama akan menciptakan sosok ayah yang dapat menjadi teladan keluarga, bukan predator keluarga seperti halnya sosok ayah dalam sistem hari ini. Ketiga, Khilafah akan memberi sanksi yang sangat menjerakan bagi pelaku kekerasan.
Misalnya, dengan menghukum pelaku pemerkosa dengan hukuman jilid dan rajam; atau menghukum kisas pada pembunuh. Jika sanksinya menjerakan, kekerasan pada perempuan akan hilang dengan sendirinya.
Penulis : Rahmi Ekawati, S.H. Content Writer Makassar