Opini: Teriak “Anti Korupsi” Tapi Miskin Legitimasi

"Di negeri yang penuh muslihat, korupsi seolah jadi perkara lumrah. Perburuan menjadi paling kaya, menjadi hobi para abdi negara." - Najwa Shihab

Dilansir dari TEMPO.CO, Jakarta –Komisi Pemberantasan Korupsi menahan tersangka kedelapan dalam kasus suap pengurusan perkara yang menyeret hakim agung nonaktif Sudrajad Dimyati.

Tersangka itu adalah Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana. KPK menyangka Sudrajad Dimyati  dan lima pegawai MA itu menerima suap terkait pengurusan perkara pailit KSP Intidana. Sudrajad diduga menerima Rp 800 juta.

Di pundak pemimpin yang bebas korupsi, di situlah masa depan negeri. Tetapi ketika melihat korupsi di Indonesia, maka kita akan mengambil pelajaran penting bahwa korupsi adalah bukan lagi hal sensitif tapi menjadi perbincangan yang selalu hangat terjadi.. Korupsi yang dilakukan berjamaah seolah sudah menjadi karakter di Indonesia, bahkan juga di lembaga peradilan dan penegak hukum.

Dilansir dari JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan pemerintah akan membentuk konsep besar sistem peradilan di Indonesia.

Mahfud menjelaskan, konsep besar sistem lembaga peradilan ini akan disusun setelah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan akhir tahun 2022. Dalam konsep besar itu, kata Mahfud, akan dibuat integrasi sistem peradilan sehingga fungsi dan batasan kewenangan setiap lembaga hukum bisa diatur lebih jelas.

Namun, apakah korupsi akan selesai setelah membuat konsep baru dlam peradilan ? Sepertinya, ini adalah langkah sistematis yang terus berulang dengan solusi yang sama pada setiap kasus. Setiap ada yang terjerat korupsi selalu diberikan solusi parsial yang hampir tidak pernah memberikan solusi jera pada pelakunya.

Sistem Peradilan Bukan Permainan

Jika aparat penegak hukum terlibat korupsi, suap, dan menerima gratifikasi, maka keadilan dan penegakan hukum sudah tentu dipertanyakan. Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan sepanjang 2020 rerata sanksi yang diberikan kepada pelaku korupsi terlalu ringan. Hanya 4 tahun.

Pemerintah juga royal memberikan remisi alias pemotongan masa tahanan terhadap terpidana korupsi. Pada September ini saja ada 23 terpidana korupsi yang bebas bersyarat. Khusus Jaksa Pinangki, ia mendapatkan diskon masa tahanan hingga 60%.

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Pemerintah beralasan bahwa hal itu adalah amanat undang-undang. Peradilan juga tidak aman dari intervensi politik. Sering hukum berlaku tumpul kepada mereka yang bersama rezim, tetapi tajam kepada kelompok yang berseberangan.

- Iklan -

Terlihat jelas bahwa sistem demokrasi yang merupakan bagian dari  sistem kapitalisme, meniscayakan adanya  kaedah tujuan menghalalkan segala cara dan keuntungan menjadi hal utama, menjadikan perubahan apapun tak mungkin dapat memberantas korupsi secara tuntas.  Apalagi adanya politik transaksional, membuat  Reformasi   hukum tak akan mampu menegakkan supremasi hukum.

New Change” Untuk Indonesia Anti Korupsi

Untuk memberantas perlu langkah baru yang jitu. Namun pembentukan kerangka baru lembaga peradilan tak akan mampu memberantas korupsi selama masih menggunakan sistem demokrasi. Hanya sistem Islam yang mampu memberantas korupsi secara tuntas melalui penerapan aturan Islam.

Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawab itu tidak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah. Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi. Inilah keagungan dan keistimewaan Islam sebagai aturan dan solusi kehidupan.

Inilah langkah Islam dalam memberantas korupsi dan mencegahnya.

1)  Aktualisasi Ideologi Islam

Islam tidak sekadar mengatur ritual, tetapi juga mengatur kehidupan, khususnya dalam pemilihan penguasa dan pejabat negara. Pemimpin negara (khalifah) diangkat berdasarkan rida dan pilihan rakyat untuk menjalankan pemerintah sesuai Al-Qur’an dan Sunah. Begitu pun pejabat yang diangkat untuk melaksanakan syariat Islam.

Pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota majelis umat memiliki sifat berkualitas, amanah, dan tidak berbiaya tinggi. Hal ini bisa menekan korupsi, suap, dan lainnya.

Sekalipun demikian, tetap ada perangkat hukum yang disiapkan untuk mengatasi kecurangan para pejabat atau pegawai negara. Terdapat juga larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh dengan cara tidak syar’i, baik dari harta milik negara atau milik warga.

Baca Juga:  Revisi UU ITE 2024: Perbaikan atau Sekadar Tambal Sulam?

3)  Adanya  Politik Ri’ayah

Politik ri’ayah bertujuan untuk mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa, bukan tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elite rakus. Oleh karena itu, untuk menjamin loyalitas dan sikap totalitas dalam mengurusi umat, pemerintahan Islam memberikan gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Dalam pemerintahan Islam, biaya hidup juga murah karena politik ekonomi negara adalah menjamin pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif akan digratiskan oleh pemerintah, seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan, dan birokrasi.

Adapun kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) bisa diperoleh dengan harga yang murah. Perekonomian dalam pemerintahan Islam akan digerakkan dengan berbasiskan sektor riil yang akan memberikan lapangan kerja yang luas bagi rakyat. (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam).

Harta kekayaan calon pejabat atau pegawai negara akan dihitung sebelum menjabat. Saat menjabat pun akan dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan, diverifikasi apakah penambahannya itu syar’i atau tidak. Jika terbukti korupsi, harta akan disita dan dimasukkan kas negara, serta pelakunya akan diproses hukum.

4)  Sanksi Tegas dan Efek Jera

Sanksi tegas dalam Islam memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Oleh karena itu, hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati.

Khalifah Umar pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah yang saat itu menjadi gubernur Syam. (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123). (Al Wa’ie)

Inilah langkah baru yang tidak akan pernah diupayakan dalam sistem demokrasi. Hendaklah kita memperjuangkan perubahan menuju arah Islam dan solusi Islam untuk memberantas korupsi. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang akan menerapkan syariat Islam kaffah.


Penulis

Penulis: Rahmi Ekawati, S.H, Citizen Writer

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU