Umat manusia saat ini sedang menghadapi sebuah krisis global. Hadirnya makhluk berukuran 400-500 micro yang dikenal dengan nama COVID-19. Enam pekan sejak pertama kali mewabah, virus corona sebenarnya belum memiliki nama sendiri. Corona digunakan merujuk pada kelompok virus serupa yang salah satunya memicu SARS (severe acute respiratory syndrome) dan MERS (Middle East respiratory syndrome).
Dikutip dari DailyMail, tepat hari rabu (12/2/2020) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) resmimengumumkan nama virus mematikan yang bermula di Wuhan, Cina. Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus mengumumkannya pada konferensi di Jenewa, Swiss. Nama Covid-19 dipilih untuk virus yang sejak mewabah mendapat banyak nama seperti corona Wuhan, coronavirus Cina, bahkan flu ular.
Hadirnya COVID-19 ini tentunya membawa keresahan bagi masyarakat. Bukan hanya masyarakat Indonesia tapi hampir seluruh penduduk bumi turut merasakan kekhawatiran yang mendalam dengan adanya virus ini. Mencermati kondisi hadirnya COVID-19 sampai saat ini kalau kita melihat data memang menunjukkan angka yang luar biasa. Dimana data global perkembangan tercatat sejak pada tgl 28 Maret 2020 ada sekitar kurang lebih 201 negara yang terkena dampak COVID-19. Dimana ada (624.103 orang positif ), (300.883 orang meninggal), (25.207 orang dirawat) dan (142.361 orang sembuh ).
Teror virus corona seakan tengah mempermainkan penduduk bumi dengan aturan main yang ganas. Sejak munculnya COVID-19 ini sosial media tak henti hentinya memperlihatkan kepada penggunanya dengan menyajikan berbagai teori konspirasi adanya COVID-19 ini. Dimana yang paling populer adalah adanya COVID-19 ini untuk pengurangan populasi dunia demi tercapainya New Word Order. Istilah yang selalu dipakai oleh penganut konspirasi membawa saya sendiri merasakan ada kejanggalan dalam situasi ini.
Jika kita merujuk pada sejarah virus corona sebenarnya sudah lama ada dan berkembang dengan berbagai virus akibat ‘modifikasi genetik’. SARS yang terjadi di China, Guangzhoy adalah virus corona yang terjadi pada november 2002 – juli 2003 dalam kurung waktu 2 tahun telah menelan korban sebanyak 700 orang. Disusul dengan MERS yang terjadi di Negara Arab, Tenteng juga adalah virus corona pada tahun 2012 dalam kurung waktu 3 tahun menelan korban jiwa sebanyak 866 orang. Dan sekarang tiba-tiba muncul virus baru yang belum pernah ada sebelumnya adalah COVID-19 yang terjadi pertama kali di Cina, Wuhan tahun 2019 dalam kurung waktu 1.5 bulan memakan korban sebanyak 3000 orang.
Dimana tingkat penyebarannya jauh lebih pesat, dan jauh lebih cepat dari sepupu-sepupunya yaitu SARS dan MERS. Tentunya ini menjadi pertanyaan, apa yang menyebabkan pesatnya penyebaran COVID-19 ini ? Apa yang membuat COVID-19 menyebar begitu pesat?
Kalau diurut kebelakang pandemik yang malanda seluruh penduduk dunia di abad 20 lalu terjadi sejak perang dunia pertama pada tahun 1918. Flu awalnya adalah produk senjata biologis yang pada tahun itu belum ada obatna. Korban kematian akibat flu sebanyak 50 juta orang diseluruh dunia.
Penelitian dari virologi scienceDirect meraka sudah melakukan eksperimen modifikasi genetik pada virus corona tahun 2017. Yang katanya kuncinya adalah ‘Asam Amino’ pada virus tersebut. Ketika ingin virus tersebut berhenti menyebar hilangkan Asam Aminonya.
Kemudian ketika ingin virus corona cepat menyebar tambahkan Asam Aminonya. Dan itulah yang terjadi pada COVID-19 menyebar begitu pesat karena ada tambahan Asam Amino dari virus corona yang sudah ada. Apakah ini alami atau buatan manusia? Menurut prof. Chi-Tai fang, Nasional Taiwan University mengatakan “penambahan asam amino pada virus corona sangat tidak wajar.Biasanya mutasi virus tidak radikal seperti itu”.
Serangan wabah virus corona diseluruh dunia ternyata sudah diprediksi oleh Bill Gates sang pendiri Microsoft sejak tahun 2015. Bill Gates saat itu secara tidak sengaja melakukan kampanye bencana virus flu pada tahun 2015.
“Saat ini risiko terbesar bencana global bukanlah seperti (bencana nuklir) melainkan seperti (bencana virus). Jika ada sesuatu yang membunuh lebih dari 10 juta orang dalam beberapa puluh tahun kedepan kemungkinan besar adalah virus berdaya infeksi tinggi, bukan peperangan “. Ucapnya dalam sebuah forum. Selain itu kejanggalan lainnya yang membuat menggelitik perut menurut sumber data yang kredibel penyebaran virus corona ini sudah disimulasikan 2 bulan sebelum virus tersebut tersebar di wuhan. Hasil simulasi tersebut COVID-19 menyebabkan 65 juta orang meninggal.
Mereka mensimbolisasikan kematian akibat COVID-19 ini di New York 2 bulan sebelum virus menyebar. Simulasi ini dilakukan oleh John Hopkins University & Medicine yang sekarang jadi garda terdepan informasi mengenai penyebaran virus ini. Ternyata penyebaran virus corona sudah didesaain dan direncanakan dengan sangat matang. Mengapa ada orang yang begitu jahat memodivikasi virus corona supaya cepat menyebar?
Siapa yang diuntungkan dari bencana ini? Lagi lagi para kaum penganut teori konspirasi percaya bahwa yang diuntungkan dalam bencana COVID-19 ini yang mengakibatkan hancurnya perekonomian dunia adalah Elit global, New Word Order. Sebenarnya Masih banyak teori konspirasi lainnya yang membahas mengenai asal usul dari COVID-19.
Beralih dari teori konspirasi COVID-19 lantas bagaimana nasib negara Indonesia sendiri dalam menangani kasus COVID-19 ini. Tentunya pemerintah sudah mengeluarkan banyak kebijakan dalam penanganan virus ini. Himbauan social distancing dan physical distancing telah dilakukan agar mencegah penyebaran virus hingga keluar pulalah fatwa MUI pelarangan shalat jum’at di mesjid.
Hingga kebijakan lainnya yang dirasakan oleh pelajar dan juga mahasiswa adalah proses belajar mengajar dilakukan secara online (Daring). Tentunya kebijakan tersebut mengundang berbagai pro dan kontra dalam menjalani kebijakan tersebut yang masing masing menghasilkan untung rugi.
Rupanya Indonesia saat ini telah mengalami krisis ekonomi dalam penanganan virus corona dimana terkuak pada 7 April 2020 pukul 17.48 CNBC INDONESIA mengabarkan bahwa Indonesia baru saja menerbitkan Surat Utang atau Bond terbesar sepanjang sejarah total US$ 4.3 M (sekitar Rp.70 Triliun) yang harus ditanggung, tak lain adalah kita semua, cucu- cucu kita sampai 50 tahum kedepan akibat kirisis corona. Tentunya ini adalah masalah baru lagi yang harus kita selesaikan dalam beberapa tahun kedepan.
Tak hanya sampai disitu pemerintah tak henti hentinya mengeluarkan kebijakan dalam penanganan COVID-19 dimana kementerian hukum dan hak asasi (kemenkumham) telah membebaskan 30.432 narapidana berkenaan dengan virus corona. Ini adalah hal tergila yang dilakukan pemerintah.
Polri pun mewaspadai kejahatan seperti rencana penjarahan di pulau jawa oleh Anarko pada 18 April ketika pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sebagian merasa rakyat digiring kepada kondisi darurat sipil, ribuan napi sengaja dilepas untuk memancing aksi reaksi. Akibatnya pemberontakan terjadi dimana mana karena napi lepas hingga akhirnya diberlakukan darurat sipil akibat alasan keamanan.
Jika darurat sipil diterapkan, maka pemerintah tidak wajib menanggung kebutuhan dasar warga. Berbeda halnya jika pemerintah terapkan karantina wilayah sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang karantina kesehatan. Pemerintah dinilai tak mampu untuk merealisasikan itu sehingga memilih memulihkan pemerintah atau tertib sosial dengan darurat sipil.
Ahli hukum dari UGM Yogyakarta, Oce Madril, tidak habis pikir atas rencana residen Joko widodo menerapkan darurat sipil sebagai langkah terakhir mengatasi penyebaran corona. Padahal Jokowi mendatangani UU kekarantinaan kesehatan sebagai payung hukum menanggulangi wabah penyakit. Covid-19 telah ada di depan mata kita.
Cara kita dalam menyikapi penyakit tersebut akan menentukan kemampuan kita mencegah penyebarannya atau kecepatan penanganannya. Masing-masing telah memiliki keahlian sesuai dengan kompetensi yang telah dibangun. Kita kawal upaya pengambil kebijakan membuat langkah-langkah pencegahan dan penangannya.
Kita patuhi saran dari ahli kesehatan untuk pola hidup sehat yang mengurangi resiko kita terpapar virus tersebut. Begitu banyak kebijakan pemerintah dalam penanganan COVID-19. Serba serbi kelah keluh yang bertumpu menjadi satu demi mengembalikan keadaan Indonesia menjadi normal kembali.
Akhir dari penulis jaga kesehatan, lakukan social distancing, di rumah aja tidak hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga untuk orang lain dan tentunya untuk tenaga medis yang tak henti-hentinya berjuang demi kita semua.
Waspada virus corona, bukan lebay ketakutan karena latah. Waspada tanpa ketakutan berlebih sebab kita tidak takut. Stay safe..
Penulis : Shinta Amelia Syam (Mahasiswi Fakultas Dakwah & Komunikasi UIN Alauddin Makassar)