OPINI : Tidak Sense of Crisis, Cacat Bawaan Pemerintah Kapitalistik

Padahal, menurut Jokowi, kondisi sejak tiga bulan lalu dan setidaknya tiga bulan ke depan dalam suasana krisis.

FAJARPENDIDIKAN.co.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta para menteri membuat kebijakan luar biasa (extraordinary) untuk menangani krisis akibat pandemi Covid-19. Jika para menteri membuat kebijakan biasa saja seperti kondisi normal maka Jokowi mengancam akan merombak kabinet (reshuffle).

Kinerja sejumlah sektor mendapat sorotan. Saat berpidato membuka sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, 18 Juni lalu, Jokowi mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja sejumlah bawahannya. “Saya harus ngomong apa adanya, tidak ada progres signifikan (dalam penanganan krisis akibat Covid-19). Tidak ada,” kata Jokowi dalam video sidang kabinet tersebut yang baru diunggah Sekretariat Presiden di akun Youtube resminya, MInggu (28/6).

Padahal, menurut Jokowi, kondisi sejak tiga bulan lalu dan setidaknya tiga bulan ke depan dalam suasana krisis. Ia merujuk pada proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dibuat beberapa lembaga internasional belum lama ini.

“OECD bilang pertumbuhan ekonomi (dunia) terkontraksi 6% bisa sampai 7,6% minusnya. Bank Dunia (proyeksi ekonomi dunia) bisa minus 5%.” Karena itu, Jokowi meminta para menteri memiliki sense of crisis yang sama dalam menangani kondisi tersebut. “Jangan biasa-biasa saja, jangan anggap normal,” katanya.

Ada beberapa sektor yang mendapat sorotan. Pertama, bidang kesehatan dengan anggaran Rp 75 triliun. Jokowi mengkritik penggunaan anggarannya baru sekitar 1,53%. “Pembayaran dokter, tenaga spesialis keluarkan. Belanja peralatan keluarkan,” katanya. Dengan begitu, uang beredar di masyarakat tersebut dapat memicu aktivitas perekonomian.

Kedua, bantuan sosial ke masyarakat. “Ini harusnya 100% sudah disalurkan,” katanya. Ketiga, sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). “Segera stimulus ekonomi bisa masuk ke usaha kecil mikro, mereka tunggu semuanya. Jangan biarkan mereka mati dulu, baru kita bantu,” kata Jokowi.

Baca Juga:  Revisi UU ITE 2024: Perbaikan atau Sekadar Tambal Sulam?

Ia menambahkan, stimulus ekonomi juga diberikan kepada sektor manufaktur yang merupakan industri padat karya. Langkah ini diharapkan bisa mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

“Jangan pas ada PHK, duit serupiah pun tidak masuk ke stimulus ekonomi kita.” Jokowi pun mengungkapkan penilaiannya terhadap kinerja bawahannya dalam menangani krisis pandemi. “Saya harus ngomong apa adanya tidak ada progres signifikan,” katanya.

Jokowi mendesak para menteri membuat langkah dan kebijakan luar biasa untuk mengatasi krisis saat ini. Bentuknya bisa berupa pembuatan aturan baru. Presiden pun siap mendukung jika memang dibutuhkan untuk membuat peraturan presiden, bahkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

- Iklan -

“Saya pertaruhkan reputasi politik saya. Langkah apapun akan saya lakukan untuk 267 juta rakyat Indonesia,” katanya. Bahkan, Jokowi siap mengambil langkah lebih besar lagi, seperti membubarkan lembaga atau reshuffle kabinet. “Sudah kepikiran kemana-mana saya. Kalau memang diperlukan karena memang suasana (senses of crisis) ini harus ada”.

Melihat hal ini,  Pengamat Politik Syahganda Nainggolan memprediksikan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal jatuh enam bulan ke depan. prediksi Syahganda Nainggolan itu didasarkan pada kondisi pemerintahan Jokowi yang mengalami banyak masalah. Mulanya, Syahganda menyoroti soal pemindahan Ibu Kota Negara ke Pulau Kalimantan. Menurutnya, Jokowi sempat bepergian ke luar negeri untuk mencari dana demi memindahkan Ibu Kota ke Pulau Kalimantan. “Jokowi baru ke Australia cari uang untuk ibu kota baru, dia ke Canbera dan lain-lain,” kata Syahganda.

Tak hanya Jokowi, Menteri Hukum dan HAM Luhut Binsar Pandjaitan pun disebutnya turut mencari dana untuk memindahkan Ibu Kota. “Kemudian Luhut Binsar Pandjaitan membawa orang ramai-ramai cari uang ke Amerika untuk investasi di Ibu Kota baru,” jelasnya. “Jadi tema mereka ini tema yang aneh yang sebenarnya udah di luar akal sehat.”

Baca Juga:  Revisi UU ITE 2024: Perbaikan atau Sekadar Tambal Sulam?

Ia bahkan menyinggung jumlah uang yang digelontorkan pemerintahan  Jokowi untuk membayar para buzzer. “Makanya mereka membayar buzzer 72 miliar untuk membuat suasana supaya lebih heboh, lebih hebat, kondusif,” jelas Syahganda. Pengamat Politik Syahganda Nainggolan dalam saluran YouTube realita TV, Sabtu (29/2/2020).

Kejengkelan Presiden Jokowi tak ubahnya seperti gertak sambal mengingat kabinet Indonesia Bersatu yang dibentuknya adalah hasil bagi-bagi jatah bagi partai-partai pemenang pemilu. Lingkar oligarki di lingkungan istana bukanlah rahasia. Kemarahan yang diumbar pun secara gamblang mempertontonkan aib penguasa yang tidak mampu menangani wabah.

Sebab, di balik buruknya kinerja pembantu ada pemimpin yang memberi arahan dan kebijakan. Dengan demikian, pemimpinlah yang utama dimintai pertanggungjawaban.

Adanya drama gertak reshuffle juga cenderung mengarah pada upaya cuci tangan, pelemparan tanggung jawab kesalahan, sekaligus pencitraan penguasa. Sehingga lagi-lagi ini bukan demi rakyat. Inilah yang terjadi jika menjadikan sistem Kapitalisme sebagai sistem kehidupan. Kemaslahatan rakyat terpinggirkan. Sedang ketulusan pemimpin dipertanyakan.

Berbeda dengan sistem Islam dalam bingkai Khilafah. Khalifah memilih para pembantunya dengan takaran kesalehan, kapabilitas, amanah, serta bertanggung jawab. Khalifah pun berperan sebagai penanggung jawab utama dalam mengurus dan melayani rakyat.

Ribuan fakta kesejahteraan di bawah naungan Khilafah, ketika syariat Islam diterapkan kaffah dalam bingkai Khilafah. Kemajuan peradaban Islam berteknologi spektakuler namun tetap menjaga keluhuran budi dan aspek kemanusiaan yang begitu tinggi, menegaskan bahwa hanya peradaban Islam yang layak memimpin dunia.

Oleh : Juniwati Lafuku, S.Farm.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU