OPINI : UKT Dikomersialisasi, Wajah Buruk Pendidikan Kapitalis

“Aku sudah merasakan semua kepahitan hidup dan yang paling pahit ialah berharap pada manusia” (Ali bin Abi Thalib).

FAJARPENDIDIKAN.co.id – Perkataan Khalifah yang ketiga (Ali bin Abi Thalib) ini sangat cocok untuk diberikan kepada para mahasiswa(i). Sebelumnya, mereka dijanjikan akan mendapatkan keringanan dalam pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) tetapi hal itu dibatalkan dikarenakan anggarannya dipindahkan untuk menangani pandemi virus corona.

Kemudian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menganggarkan 1 triliun untuk program dana bantuan uang kuliah tunggal. “Dan juga kami mengalokasikan dana sebesar 1 triliun, terutama Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan mahasiswa PTS untuk meringankan beban UKT mereka sehingga mereka masih bisa lulus, masih bisa melanjutkan sekolah mereka, dan tidak rentan drop out,” Kata Mendikbud Nadiem Makariem, Kompas.com (21/06/2020).

Sebagaimana yang terjadi di kampus penulis sendiri, UIN Alauddin Makassar mengeluarkan surat “Keputusan rektor Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Nomor 491 Tahun 2020 tentang keringanan UKT mahasiswa di lingkungan UINAM atas dampak bencana pandemi covid-19”.

Surat keputusan ini berisi tentang syarat dan pra syarat untuk mendapatkan keringanan pembayaran UKT/BKT. Keringanan yang didapatkan mahasiswa sebesar 10% dari nominal UKT yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk mendapatkan bantuan dana tersebut, terdapat sejumlah kriteria yang disyaratkan kepada mahasiswa dan pengecualian bagi mahasiswa yang orang tuanya bekerja sebagai PNS, Polri, TNI, dan sebagainya.

Jika melihat kriteria yang diberikan oleh pimpinan kampus, rasa-rasanya terlalu tanggung. Misalkan, si A selama ini membayar UKT dengan kategori 3 sebesar 1.150.000 jika di potong 10% akan mendapat potongan sebesar 115.000. jika diakumulasikan harga kuota yang dipakai selama belajar daring dengan potongan tersebut, agaknya lebih banyak pengeluaran kuota daripada potongan tersebut. Ketika berkata adil seharusnya seluruh mahasiswa mendapatkan keringanan itu tanpa membeda-bedakan, karena yang terdampak covid-19 bukan hanya sebagian masyarakat tapi seluruh masyarakat tanpa memandang bulu.

Coba kita merenung sejenak pada masa pandemi covid-19, proses perkuliahan sama sekali tidak menggunakan sarana dan pra sarana kampus. Selama kuliah daring pun menggunakan uang pribadi dalam pembelian kuota. Jadi, jika kita tetap harus membayar UKT/BKT bukankah ini tidak wajar dan tidak manusiawi?

Maka, jika ini terus berlanjut akan banyak mahasiswa(i) yang akan putus kuliah diakibatkan tidak mampu membayar UKT/BKT. Apa lagi dalam masa krusial seperti sekarang, kita dianjurkan untuk #dirumahaja tetapi kebutuhan pokok tidak dipenuhi. Menghasilkan uang untuk makan pun susah apatah lagi untuk membayar uang kuliah. Dimana peran negara sebagai pelayan umat?

Kebijakan ini berdampak bagi seluruh mahasiswa di tanah air, sehingga mereka mengelar aksi protes terhadap kebijakan tersebut. Salah satunya Aliansi UIN Alauddin Makassar (Al Maun) menggelar aksi penolakan yang dilakukan di jalan Sultan Alauddin depan kampus 1 UIN Alauddin Makassar, jumat (26/06/2020) “Aksi ini adalah respon dari kami lembaga kemahasiswaan atas penolakan terkait SK No. 491 yang kami nilai tidak rasional dan tak sesuai yang kami harapkan,” Tutur Yoyo ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (DEMA-U) UINAM.

Dengan kasus ini sudah sangat jelas bahwa pendidikan bukan lagi ajang untuk meningkatkan kualitas bangsa tapi menjadikan pendidikan sebagai bahan komersial yang dapat meraup untung sebesar-besarnya. Padahal pendidikan merupakan sebuah kebutuhan dasar yang harus dijamin oleh negara tanpa memandang bulu. Sebagaimana yang tertuang pada pasal 31 ayat 1 UUD 1945.

- Iklan -

Bisa saja UKT/BKT dimurahkan bahkan digratiskan oleh pemerintah. Mengingat SDA Indonesia yang melimpah ruah, baik dari sektor riil, pertambangan, pertanian, dan pertikanan. Seharusnya, dengan modal itu bisa dimaksimalkan untuk menggratiskannya. Namun apalah daya, sebagian besar sumber daya yang ada dikuasai oleh asing dan aseng. Sehingga penyaluran atau pengelolaannya tidak berjalan dengan baik.

Lain halnya jika Islam yang menjadi poros kehidupan, sudah pasti rahmat yang didapatkan. Dimana seluruh permasalahan sudah pasti mendapatkan solusi yang tuntas (bukan tambal sulam) Karena menjalankan kehidupan berdasarkan Wahyu bukan nafsu.

Sebagaimana yang terjadi pada masa ke-Khilafaan Abbasiah yang menjadi pusat peradaban dunia. Banyaknya mencetak ilmuan-ilmuan hebat yang karyanya masih dipakai hingga saat ini, membuktikan bahwa sistem pendidikan dan ekonomi saling menopang sehingga pendidikan pada saat itu dapat diperoleh dengan gratis untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

Seperti hak kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam, sepenuhnya dikelola oleh Negara dan didistribusikan dengan merata ke seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Sebagaimana yang terdapat dalam hadist “Umat Islam berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api” (HR. Ahmad). Alhasil kekayaan alam bisa meng-cover seluruh aspek kehidupan.

Sehingga bukan romantisme belaka pada saat kejayaan Islam pendidikan bisa didapatkan secara gratis. Hal ini hanya bisa didapatkan saat hukum Islam diterapkan diseluruh aspek kehidupan.

Oleh: Nurul Firamdhani As’ary, Mahasiswi UIN Alauddin Makassar

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU