OPINI : UU Cipta Kerja, Etis atau Tidak?

Prinsip etis menekankan hubungan antara perusahaan dengan pekerja serta kewajiban dan hak masing-masing. UU Cipta Kerja dibuat dengan tujuan melonggarkan aturan usaha, maka sebagian hak dari pekerja terdampak sehingga dimungkinkan mengalami pemangkasan. Tetapi, sebagian justru membuat hak pekerja menjadi lebih terjamin

FAJARPENDIDIKAN.co.id – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja menyelesaikan readyviewed pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada 5/10/2020, dan segera mengesahkannya pada hari yang sama. Pengesahan UU ini kemudian mengundang berbagai reaksi dari masyarakat bahkan sejak RUU masih dalam tahap pembahasan.

Ketidaktransparanan DPR dalam melakukan pembahasan UU Cipta Kerja seperti tidak dipublikasikannya draft RUU menimbulkan berbagai kecurigaan di tengah masyarakat. Keterburu-buruan DPR yang melakukan pembahasan dalam waktu yang begitu singkat seakan mengiyakan kecurigaan banyak pihak akan maksud dibahasnya RUU Cipta Kerja. Selain dinilai cacat prosedur, secara substansif UU Cipta Kerja dinilai hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu terutama pengusaha.

UU yang dikenal sebagai Omnibus Law ini diklaim dapat menarik minat investor sehingga dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. DPR maupun Pemerintah satu suara bahwa UU yang terdiri dari 11 klsater ini dimaksudkan menyederhanakan aturan-aturan usaha sehingga diharapkan banyak perusahaan asing dapat tertarik untuk berinvestasi dan mendirikan bisnisnya di Indonesia.

Melihat dari sisi etika dalam organisasi, maka fokus utama dari permasalahan yang disorot adalah pada klaster Ketenagakerjaan pada UU Cipta Kerja. Prinsip etis menekankan hubungan antara perusahaan dengan pekerja serta kewajiban dan hak masing-masing. UU Cipta Kerja dibuat dengan tujuan melonggarkan aturan usaha, maka sebagian hak dari pekerja terdampak sehingga dimungkinkan mengalami pemangkasan. Tetapi, sebagian justru membuat hak pekerja menjadi lebih terjamin.

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Ada beberapa pasal ataupun ayat yang secara jelas dapat dilihat apakah itu memberatkan atau justru sudah sesuai dengan yang seharusnya. Namun, ada sebagian pasal atau ayat yang tidak spesifik atau terlalu umum sehingga dinilai merugikan.

Contohnya adalah pada Pasal 154A yang mengatur tentang PHK pekerja. Pasal ini menjabarkan alasan yang memperbolehkan perusahaan melakukan PHK terhadap pekerjanya menjadi 14 poin yang sebelumnya hanya berjumlah 9 poin pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 

Pada pasal ini terdapat satu poin yang bersifat umum dan menjadi salah satu poin yang digugat pekerja. Poin tersebut adalah poin 2 yang berbunyi “Perusahaan melakukan efisiensi” yang dianggap terlalu luas dan dapat menjadikan alasan mudah untuk melakukan PHK terhadap pekerja. Poin ini dianggap salah satu poin yang merugikan pekerja.

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Terlepas dari itu, setelah mencermati UU Cipta Kerja sebetulnya apa yang dituntutkan oleh banyak massa pada berbagai demo terutama mengenai 13 poin utama pada klaster Ketenagakerjaan telah terklarifikasi dan sebagian besar dari yang dikatakan pada tuntutan itu tidak benar.

Kesimpulan dari adanya UU Cipta Kerja adalah UU ini memangkas sebagian hak baik pekerja maupun pengusaha, tetapi pengusaha mendapat lebih banyak keuntungan dari pelonggaran usaha. Secara etika dalam organisasi, UU Cipta Kerja tersebut memenuhi prinsip etis utamanya dalam hubungan pekerja dengan perusahaan karena hak-hak pekerja masih mendapat jaminan dan hanya mengalami penyesuaian.

- Iklan -

Melihat gambaran pengesahaan RUU Cipta Kerja secara lebih besar memang benar UU ini menguntungkan bagi pengusaha dan investor. Tetapi dalam jangka panjang pekerja akan terdampak secara positif dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang semakin luas. UU Cipta Kerja juga masih menjamin hak-hak pekerja dengan melakukan pemangkasan yang tidak begitu berarti. (*)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU