FAJARPENDIDIKAN.co.id – Disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR melalui Rapat Paripurna pada Senin (5/10) telah menuai kritik dari berbagai kalangan termasuk aktivis lingkungan. Aturan tersebut dianggap mengabaikan kelestarian lingkungan, ditambah dengan kemudahanpercepatan perizinan serta kepastian legalitas usaha olah lahan yang dijamin UU ini merupakan jalan pintas tanpa hambatan bagi korporasi melakukan penjarahan secara legal atas lingkungan.
Hal tersebut mengacu pada perubahan poin UU No. 32 tahun 2009, dengan dicabutnya terminologi ‘izin lingkungan’ berimplikasi pada berubahnya posisi AMDAL dalam proses perizinan berusaha, di mana AMDAL bukan lagi sebagai hal yang wajib untuk memutuskan kelayakan izin usaha akan tetapi hanya menjadi pertimbangan saja. Semakin maraknya izin pendirian usaha yang tidak perlu melakukan wajib AMDAL menimbulkan dampak lingkungan yang semakin tak terkendali.
Selain itu, UU Cipta Kerja Pasal 12 UU No. 18 tahun 2013 tetap dipertahankan, UU ini mengatur tentang larangan bagi masyarakat yang tidak memiliki perizinan berusaha untuk membawa alat-alat menebang, memotong, atau membelah pohon. Namun, ditambahkan pasal baru, 17A tentang sanksi administratif bagi masyarakat yang menebang pohon, yang bertempat tinggal di sekitar kawasan hutan, paling singkat lima tahun. UU Cipta Kerja ini malah melemahkan dasar hukum untuk menangkap para pelaku ilegal skala besar dan terorganisasi sebagaimana tertuang dalam UU No. 18 tahun 2013. Di sisi lain, UU ini pun tidak peka terhadap persoalan status hak masyarakat setempat atas tanah dan hutan.
Manager Kampanye Iklim Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yuyun Harmono menyesalkan pengesahan aturan yang disebut UU Ciptaker itu. Beberapa poin tentang perlindungan lingkungan hidup, menurutnya, harus dihapuskan. Di sisi lain, banyak deregulasi perlindungan ketenagakerjaan dan pemberian akses yang sangat mudah kepada investor.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati juga mengatakan pengesahaan UU Cipta Kerja merupakan puncak pengkhianatan negara terhadap hak buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, dan lingkungan hidup serta generasi mendatang. Kemaslahatan rakyat yang ingin diwujudkan melalui UU Cipta Kerja ini hanyalah dalih, sebab kenyataannya penguasaan lahan dalam kapasitas besar tercatat dimiliki oleh para pemodal (Katadata.co.id, 13/10/20).
UU Cipta Kerja, Buah dari Sistem Ekonomi Kapitalisme
Melalui UU Cipta Kerja, terlihat bahwa negara memberikan hak istimewa kepada korporasi dalam memperparah krisis lingkungan di negeri ini. UU ini pula mencerminkan kepentingan ekonomi pemerintah tidak diimbangi dengan komitmen untuk menjaga sumberdaya hutan dan lingkungan secara lestari. Dominasi kepentingan ekonomi di atas kepentingan lingkungan menunjukkan kecenderungan pemerintah yang menggunakan kekuasaan untuk membuka satu demi satu pintu eksploitasi sumberdaya hutan tanpa pertimbangan lingkungan hidup. Mengesahkan UU ini telah menandakan titik awal potensi kerusakan lingkungan yang terstruktur melalui produk legislasi yang sah secara hukum oleh pihak korporasi karena UU Cipta Kerja merupakan produk sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi negeri ini. Jadi jangan heran, jika hampir seluruh undang-undangnya memihak korporasi.
Dalam sistem Kapitalisme individu dibebaskan untuk menguasai apa yang menjadi kepemilikan umum bahkan memiliki aset negara sekalipun. Negara bahkan memfasilitasi individu untuk menguasai sejumlah aset meski berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Pemindahan hak pengelolaan lahan dari negara ke individu adalah kesalahan fatal sistem kapitalisme dalam hal ini. Alhasil ruh bisnis yang melatarbelakangi pengelolaan lahan hanya mengejar keuntungan, seraya menafikan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Alhasil, kerusakan lingkungan adalah konsekuensi logis pemindahan wewenang pengelolaan ini. Dengan berharap pada sistem kapitalisme menyelesaikan masalah lingkungan itu mustahil akan terjadi, karena sudah menjadi rahasia umum Kapitalisme akan selalu berpihak pada kepentingan pemodal. Maka selama negara mengadopsinya, selama itu pula hak rakyat akan terus dirampas.
Islam Menjaga Lingkungan Hidup
Dalam sistem pemerintahan Islam, regulasi dan undang-undang yang dibuat tidak akan menyalahi syariah. Legislasi hukum dalam sistem Islam dibuat sesuai ketentuan Islam. Tidak ada politik kepentingan. Tidak ada pula produk hukum yang dibuat berdasarkan kepentingan manusia. Syariah Islam telah mendudukkan hukum yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia secara menyeluruh.Untuk hal tersebut, Islam telah membagi masalah kepemilikan yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Selain membagi jenis-jenis kepemilikan, Islam juga memberi batasan pemanfaatan pada masing-masing kepemilikan tersebut. Tujuannya agar tak ada pelanggaran hak atas kepemilikan individu, kepemilikan umum juga negara. Maka, individu dibolehkan memiliki lahan pertanian, namun tidak boleh menguasai harta milik umum seperti tanah hutan, tanah yang mengandung tambang dengan jumlah yang sangat besar, tanah yang di atasnya terdapat fasilitas umum seperti jalan, rel kereta dan sejenisnya.
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Abyadh bin Hammal, “Sesungguhnya Ia pernah meminta Rasulullah saw. Untuk mengelola tambang garamnya. Lalu beliau memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang dari majelis tersebut bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir,’ Rasulullah kemudian bersabda, ‘Kalau begitu cabut kembali tambang tersebut darinya.’” (HR At-Tirmidzi).
Berdasarkan konsep kepemilikan dalam Islam, maka tidak diperbolehkan tanah hutan diberikan izin konsesi kepada korporasi/individu baik untuk perkebunan, pertambangan, maupun kawasan pertanian. Sebab satu-satunya yang diberi kewenangan untuk mengelola adalah negara sebagai bentuk pengurusannya terhadap rakyat. Karenanya, solusi menjaga kelestarian lingkungan tidak lain dan tidak bukan hanya dengan kembali kepada aturan Islam kaffah.
Oleh: Nurul Mutmainnah Arif (Aktivis Muslimah, Mahasiswi Universitas Negeri Makassar)