OPINI : War on Radikalisme, Tendesius Terhadap Islam

FAJARPENDIDIKAN.co.id – Tidak henti-hentinya perang melawan radikalisme digulirkan. Sejak babak baru kepemimpinan dimulai 25 Oktober 2019, salah satu Wamen yang dilantik yaitu Zainut Tauhid sudah menyatakan bahwa masalah radikalisme adalah hal yang sangat penting.

Presiden pun secara khusus, memberi amanah kepada Menag Fahrur Razi agar mempriotitaskan agenda melawan radikalisme. Di samping itu, Kemenkopolhukam juga sangat bersemangat bicara tentang radikalisme.

Ironisnya, standar yang dipakai menetapkan ukuran radikalisme, tetap saja umat Islam, khususnya yang terlihat berusaha menjalankan syariat agamanya. Persis saat barat melakukan propaganda global war on terrorism.

Berulang kali Menag mengeluarkan statement kontroversi yang membidik pada Islam. Mulai dari pelarangan ceramah menyampaikan ayat atau hadits sensitif, larangan cadar dan celana cingkrang, sampai melarang ASN punya pemikiran Khilafah. Parahnya radikalisme pun dianggap bisa masuk dan bermula dari anak-anak good looking, yang penguasaan bahasa arabnya bagus, serta hafidz Qur’anuran.

Menkopolhukam pun juga berulang kali menantang debat Khilafah, menuding Khilafah tak ada dalam al-Qur’an. Bahkan berkomentar tentang anak kelas 5 SD yang sudah mengenal mahram adalah virus jahat yang harus diperangi.
Narasi perang melawan radikalisme sangat tendensius, sebab hanya menyasar pada Islam dan umatnya.

Kerinduan umat untuk menjalankan syariat agama secara totalitas dalam kehidupan dianggap masalah. Padahal ini tak terlepas dari kesadaran penuh umat akan kekokohan dan keteguhan prinsip Islam sebagai solusi permasalahan bangsa, yang sekaligus tentu mengancam eksistensi penjajahan asing yang selama ini merugikan umat. Maka narasi perang radikalisme lebih menonjolkan perang yang justru memperkuat indikasi adanya kepentingan asing.

Tudingan sepihak anti pancasila
radikal kerap kali dikaitkan dengan anti NKRI dan anti pancasila. Padahal, umat Islam tak pernah merusak bangsa layaknya yang dilakukan oleh para koruptor kelas kakap. Tidak menggunakan kekerasan seperti yang dilakukan oleh kelompok separatis di Papua. Namun pemerintah tak pernah memberi label radikal pada mereka yang nyata membuat kerusakan. Sebab yang paling dianggap menghambat kepentingan pembangunan infrastruktur dan ekonomi di bawah kaki tangan penjajah adalah ide Islam.

Baca Juga:  Transformasi Pendidikan Indonesia Pasca-Kurikulum Merdeka

Wajar, sebab Islam datang untuk menghilangkan segala bentuk penjajahan, dengan esensinya untuk membawa rahmat.
Sungguh Ironis, sebab nyatanya justru di sisi lain rezim penguasa sendiri mempertontonkan sikap anti NKRI melalui berbagai kebijakan yang pro liberal. Apakah melindungi kepentingan cengkraman asing dan membasmi rakyat sendiri bisa dikatakan pancasilais?

Bahkan Budayawan Sujiwo Tejo sendiri berkomentar bahwa sebenarnya Pancasila itu tidak ada, yang ada hanya gambar garuda pancasila dan teksnya. Lantas bagaimana bisa kita menuding orang anti dengan sesuatu yang wujudnya tidak ada. Dalam pandangannya, ketiadaan pancasila itu bisa dibuktikan. Kalau lancasila ada, masyarakat tak beli air, lapangan kerja gampang. Bila ada Pancasila, masak iuran kesehaan (BPJS) menjadikan masyarakat kejet-kejet, tidak boleh perpanjang SIM, paspor, lantas di mana pancasilanya?

- Iklan -

Sebenarnya, masih banyak fakta lain yang menunjukkan bahwa tudingan radikal kepada umat Islam karena dianggap anti Pancasila hanya berupa alasan semata, demi menutupi kerusakan mereka sendiri yang nyatanya tidak mampu mengimplementasikan semangat pancasialis yang digaungkan-gaungkan.

Tanpa sadar, narasi radikalisme untuk menekan umat Muslim adalah pesanan penjajah raksasa yang tidak ingin eksistensi kekuasannya tergulingkan. Semestinya, Indonesia bisa besar dengan umat muslimnya yang mayoritas. Sebab ajaran Islam salah satu esensinya adalah menurunkan keberkahan. Namun sirna keberkahan itu sebab ajarannya justru dicurigai, dikriminalisasi, dan hendak dimusnahkan.

Baca Juga:  Hari Pahlawan, Merdeka atau Mati, Prabowo "The Last Emperor"

Harus dipahami bahwa radikalisme adalah produk industri Islamophobia yang digencarkan Barat dan akhirnya diamini oleh seluruh Negeri termasuk Negeri Muslim. Berawal dari usaha menumbuhkan keraguan pada umat Islam akan kebenaran Islam, menghilangkan rasa bangga terhadap ajaran Islam, memberi stigma buruk, dan westernisasi segala aspek kehidupan kaum Muslim agar berkiblat pada gaya hidup barat dan akhirnya meninggalkan tsaqafah Islam.

Bagaimana mereka menjalankan ini semua? Mudah saja, pertama bisa melalui sarana media massa yang diarahkan untuk kepentingan peradaban barat. melalui kurikulum pendidikan yang dimaksudkan untuk menyebarluaskan konsep barat dan menyimpangkan serta menentang konsep peradaban Islam. Mendirikan sekolah, universitas, berbagai partai politik yang menyerukan peradaban barat. Memberi dukungan dan sponsor pada kaum elit, terpelajar, intelektual, demi mempromosikan mereka menjadi tokoh pemikir di Negeri kaum Muslim.

Memerangi penggunaan bahasa arab dan membangkitkan bahasa selain arab.
Maka, sebagai Muslim kita tidak perlu merasa terbawa dengan arus drama penudingan radikalisme yang selalu dialamatkan pada Islam, sebab radikalisme hanyalah alat propaganda yang diciptakan dan dilabelkan hanya untuk meredam kebangkitan Islam, dan melenyapkan ide batil lainnya.

Semestinya, tudingan ini semakin membesarkan hati kita untuk berjuang lebih keras, sebab pekatnya malam adalah tanda fajar akan segera datang, kemenangan Islam sudah semakin dekat. Insya Allah. Wallahu a’lam.

Oleh: Arinda Nurul Widyaningrum
(Mahasiswi UIN Alauddin Makassar)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU