TUKANG kebun di rumahku, Pak Parno, membukakan gerbang untukku seraya berpesan agar aku hati-hati. Dia tak kuberi tahu bahwa pagi itu aku berkunjung ke Klinik Long Live di Jalan Veteran No. 78, Malang, semacam klinik underground.
Aku tergiur atas sebuah kiriman pesan di kotak masuk emailku, mengatakan bahwa mereka melayani berbagai pengobatan. Dan satu hal yang membuat diriku tergerak adalah pernyataan bahwa mereka berani menjamin seratus persen kesembuhanku.
Mereka mengklaim bahwa mereka adalah klinik pertama di dunia yang mengimplementasikan teknologi alien termutakhir ke dalam pelayanan kesehatan. Apa pun itu, kupikir tidak ada rugi jika aku mencoba berobat ke klinik tersebut, tak peduli biaya yang harus kubayarkan lumayan mahal.
Seorang petugas secantik Barbie berkebaya ungu menyambutku dengan hangat ketika aku tiba di lokasi. Dia lekas mengantarkanku ke sebuah bilik berlapis kain hitam. Pada tiap sudutnya diberi bola lampu kecil-kecil memancarkan cahaya merah, kuning, biru silih berganti.
Berdirilah aku di sana di depan sebuah komputer dengan monitor seukuran kurang-lebih empat belas inci dilengkapi tombol di sisi kanan-kiri, mirip sebuah mesin ATM.
Kupencet tombol ON berbentuk kotak merah di sisi bawah. Tiba-tiba layar itu menyala, menampilkan ratusan nama penyakit dalam MENU UTAMA. Semua tereja dalam huruf kapital.
Mulai dari penyakit KESEMUTAN sampai OSTEOPOROSIS, JANTUNG LEMAH, bahkan hingga KEBODOHAN, tetapi aku tak memilih satu pun di antara mereka karena aku lebih tertarik pada MENU LAIN yang terletak di deret paling bawah.
Dalam iklan yang kubaca kemarin itu, mereka merekomendasikan MENU LAIN kepada siapa pun yang ingin memulai hidup baru dengan kondisi tubuh yang prima.
Di dalam MENU LAIN tadi terdapat dua opsi saja. Opsi kesatu berbunyi: REPARASI PENUH. Opsi kedua berbunyi: KEMBALI KE MENU UTAMA. Tak ada yang membuatku ragu memilih opsi kesatu. Maka kupencet tombol itu, dan komputer memberiku catatan berupa peringatan bahwa pilihan yang aku ambil ini akan berdampak besar pada hidupku dan bla-bla-bla hingga berpuluh-puluh paragraf.
Tentu aku tidak membaca teks tersebut sampai selesai karena mataku perih. Kakiku pegal berdiri. Jadi, kutekan saja tombol SAYA SETUJU. Kemudian komputer memberiku beberapa pilihan tubuh baru.
Setiap tubuh yang kupencet memiliki detail spesifikasi tersendiri. Harganya tentu saja berbeda- beda sesuai kualitas fisik. Karena anggaran yang kusiapkan hanya cukup untuk membeli tubuh dengan kualitas standar saja. Aku tidak punya banyak pilihan karena aku bukan orang kaya. Dan setelah beberapa menit memilah-milah, aku akhirnya menjatuhkan pilihanku pada tubuh dengan kode HB-51.
Terdapat beberapa informasi umum persis di samping foto tubuh HB-51 yang telah dengan mantap kupilih tadi. Di antaranya bahwa dia berumur 25 tahun dengan tanggal lahir 28 Januari 2034, memiliki tinggi badan 174 sentimeter, berat badan 65 kilogram, rambut hitam lurus, kulit kuning langsat, golongan darah A, dan dia dibekali IQ 118.
Kupikir dia cukup bagiku jika aku ingin hidup lebih baik. Tubuh yang kukenakan sekarang kurasa sudah terlalu busuk, berumur 65 tahun dengan segudang penyakit mulai dari rematik, asam urat, hipertensi, kolesterol, dan kencing batu. Semua itu membatasi aktivitasku sehari-hari, tentu saja.
Kemarin bahkan aku hampir mati karena jantungku tiba-tiba berhenti saat aku kencing di kamar mandi. Aku ambruk di sana, membangunkan Pak Parno. Kepalaku membentur pintu, dan aku terbangun kembali dalam keadaan berdebar-debar. “Anda kenapa, Tuan?” tanya Pak Parno. “Kepleset” jawabku. Aku muak dengan segala penyakit yang menggerogoti jiwaku.
Maka begitu mengetahui iklan Klinik Panjang Hidup di Malang melalui email yang mereka kirimkan padaku, aku langsung menjual sebagian besar Bitcoin-ku termasuk sebelas hektar tanah warisan almarhum bapakku di Bojonegoro. Demi hidup lebih baik, pikirku.
Aku digiring menuju ke Ruang Pengunduhan Pikiran dan Instalasi di ujung koridor setelah membayar biaya yang tertera di layar komputer tadi ke mesin resepsionis. Di ruang itulah kepalaku kemudian ditempeli kabel-kabel kecil yang terhubung ke sebuah sistem kendali.
Hanya dalam beberapa menit, seluruh data di otakku telah berhasil dikonversi ke dalam format “.SOUL”, tersimpan ke dalam sebuah bio-disket sebesar kulkas dua pintu. “Apa Anda sudah siap, Pak Tua?” kata seorang dokter bernama Usman yang menanganiku. Aku tahu dia bernama Usman karena aku melirik tanda pengenal yang menempel di dada kirinya.
“Tentu saya sudah siap, Pak Dokter,” jawabku penuh keyakinan. Dokter Usman memiliki kepala botak berkilau memantulkan cahaya lampu yang menempel di langit-langit ruangan. Itu cukup membuat mataku silau. Dia terlihat kurus, menggunakan kacamata kebesaran, kulit wajahnya longsor, dan berseragam kemeja tropis layaknya seorang turis di Bali.
Dia menyuntik lenganku. Namun, sebelum aku tak sadarkan diri, aku masih dapat melihat bayang-bayang dua orang perawat masuk ke ruangan dengan membawa peti kaca berisi tubuh HB-51 yang sudah terbungkus oleh pakaian sebagaimana tampak di foto ketika aku memilihnya.
“HB-51. Pilihan yang bijak, Pak Tua!” seru Dokter Usman padaku sebelum aku benar-benar tak ingat apa pun kemudian.
Singkat cerita, ketika aku tersadarkan kembali, aku menemukan diriku terbaring di ranjang di sebelah diriku sendiri. Kemudian aku segera mengetahui bahwa aku telah berada di tubuh HB-51. Aku pun mulai berpikir bahwa aku salah jika tadi aku berpikir bahwa si dokter menyuntikkan obat bius padaku.
Lebih tepat jika kukatakan bahwa si dokter telah menyuntik mati diriku. Kurasakan kepalaku berdenyut-denyut, masih terhubung dengan bio-disket melalui dua kabel hitam.