“Sebaiknya Anda tidak berpikir terlalu keras,” kata Dokter Usman. Dia mengatakan bahwa pemindahan telah berhasil dilakukan tanpa kendala apa pun. Dia mengucapkan selamat kepadaku sambil mencopot kabel dari kepalaku untuk kemudian memintaku mencoba berdiri. Aku dapat berdiri meski agak gentayangan. “Silakan pergi ke Ruang Pemindai, Pak Tua. Suster akan mengantarkan Anda ke sana.”
Aku berjalan sempoyongan. Kepalaku terasa pening seperti habis tertiban bola besi seukuran pomelo. Suster merebut lenganku, membantuku berjalan ke luar dari Ruang Pengunduhan Pikiran dan Instalasi menuju ke Ruang Pemindai sebagaimana instruksi dari Dokter Usman tadi.
Dibawalah aku ke satu kamar yang di dalam sana terdapat ranjang berbentuk oval. Kubaringkan diriku di situ. Suster menutup ranjang kapsul tersebut dan memintaku menutup mata. Jadi, aku menutup mataku rapat-rapat.
Kurasakan sentuhan hangat seperti seseorang mendekatkan bara api ke kulitku. Gerakan itu merangkak ke atas diiringi bunyi titut-titut dan ketika sampai ke atas mataku, kurasa aku seperti menatap matahari dengan kondisi mata tertutup.
Begitu selesai, suster memintaku pergi ke mesin resepsionis untuk memperoleh hasil pemeriksaan di Ruang Pemindai. Di sana aku disodori satu lembar kertas. Di situlah aku menemukan keterangan bahwa tubuh HB-51 yang kukenakan tidak mengalami gangguan apa pun dengan data organik yang terinstal di dalam otakku.
Semua tersinkronkan dengan baik. Terakhir, suster memberiku satu suntikan di lenganku yang membuatku merasa semakin melekat ke dalam HB-51 sehingga aku dapat berlari, melompat, dan bahkan salto di tempat. Dokter Usman hanya tersenyum melihatku bertingkah sedemikian akrobatik.
Aku begitu mengagumi tubuh baruku, komplit dengan dandananku yang begitu kasual, memakai kemeja lengan pendek bermotif mawar, mengenakan celana jins longgar dengan bagian lututnya sobek-sobek, plus sepatu datar khas anak muda. Kurasa aku seperti memperoleh hidupku kembali.
“Sekarang semua prosedur penggantian tubuh telah selesai, Pak Tua,” kata Dokter Usman sambil berjalan mendekatiku.
“Berhenti memanggilku Pak Tua, Pak Dokter. Anda seharusnya malu. Lihat setua apa diri Anda dibandingkan dengan saya,” kataku, meledek.
“Baiklah, Anak Muda,” kata Dokter Usman. “Bolehkah saya memanggil Anda demikian? Anak Muda?”
“Saya hanya bercanda, Pak Dokter. Just kidding. Just kidding. Anda boleh memanggil saya apa saja asal Anda suka.”
“Oke, Pak Tua. Sekarang semua prosedur REPARASI PENUH Anda telah selesai,” kata Dokter Usman. “Saya mengucapkan selamat kepada Anda. Tapi sebelum Anda pergi dari sini, ada satu hal yang ingin saya konfirmasikan yaitu perihal tubuh lama Anda. Apakah Anda ingin membawa bangkai Anda pulang, atau Anda ingin agar kami membakarnya?”
“Saya ingin Anda membakarnya.”
“Kalau begitu, ada biaya tambahan sebesar satu miliar rupiah.”
“Satu miliar, Pak Dokter?” tanyaku. “Yang benar saja? Kenapa bisa semahal itu kalau saya boleh tahu?”
“Karena kami akan membakar bangkai Anda dengan kayu gaharu yang direndam minyak zaitun selama tujuh tahun.”
“Apa bedanya jika Anda membakarnya dengan solar?”
“Kami berkomitmen untuk tidak menggunakan bahan bakar fosil untuk membakar bangkai manusia di klinik kami.”
“Terus, apa bedanya jika Anda membakarnya dengan kayu-kayu biasa yang tidak direndam minyak zaitun selama tujuh tahun?”
“Ini adalah tradisi kami, Pak Tua,” kata si dokter. “Ini adalah cara kami menghormati ciptaan Tuhan.”
“Ya, sudah, ya, sudah, Pak Dokter!” kataku. “Izinkan saya membawa pulang bangkai itu.”
“Baiklah, Pak Tua,” kata Dokter Usman sambil membuat suatu catatan di kertas yang dia pegang. “Sekarang Anda boleh pulang. Biarkan petugas kami membantu Anda membawa tubuh lama Anda ke dalam mobil Anda.”
“Itu tidak perlu, Pak Dokter. Dengan tubuh ini, saya tentu bisa menggotongnya seorang diri.”
Kupikul tubuh lamaku untuk kemudian kujebloskan ke dalam mobil. Kubuat bangkai tua itu duduk di sebelahku. Ketika aku bersiul-siul sambil mengemudi, di sepanjang jalan, aku meneliti kerut-kerut di wajah bangkai itu, lalu kulihat wajah baruku di cermin.
Tiba-tiba aku terserang penyakit lapar. Mengerem mendadak, kuhentikan mobilku di depan sebuah warung makan. Aku memesan rawon dengan setumpuk empal di atasnya. Aku makan cepat-cepat seolah-olah tidak akan ada hari esok. Setelah kenyang, kubayarlah tagihanku. Aku
kembali menyetir mobilku, melaju cukup kencang sehingga aku baru tiba di depan rumah sekitar pukul tiga sore. Kubunyikan klaksonku. Kulihat Pak Parno berlari membukakan gerbang untukku. Dia jelas akan kaget dengan diriku yang baru, pikirku. Dia membukakan gerbang dengan memberiku tatapan tolol.
“Pak Parno, ini aku!” seruku sambil mengeluarkan kepalaku dari pintu mobil. Saat aku masuk ke dalam garasi, aku menjerit memanggil Pak Parno. Kuminta dia membantuku menurunkan bangkai yang telah kaku di jok depan mobilku.
Dia malah menolak membantuku, berdiri saja di depan pintu garasi membiarkanku kesusahan seorang diri. Aku melontarkan kata- kata kasar kepada Pak Parno karena telah bersikap kurang ajar kepadaku sehingga kemudian dia pergi entah ke mana.
Ketika aku menyandarkan bangkai itu ke lantai, kepalaku tiba-tiba dipukuli dari belakang. Pukulan itu tak hanya mendarat satu dua kali, tetapi bertubi-tubi sehingga aku ambruk terkapar, tak ingat apa pun setelahnya.
Entah berapa lama aku pingsan, tetapi ketika aku siuman, tubuhku basah kuyup. Rupanya aku disirami air keran oleh seorang polisi berseragam lengkap. Di belakang polisi tersebut, terdapat dua lagi polisi yang bersedekap memperlihatkan raut muka kesal padaku. Nah, di samping mereka ada Pak Parno yang berdiri sambil membawa pentungan kasti. Jelas dialah yang memukuli kepalaku dari belakang tadi. Sialan!
“Setan kau, Darjo!” bentak Pak Polisi sambil memegang gayung. “Belum kapok kau ditendangi di penjara, ha? Dasar otak kriminal! Kalau mau mencuri, ya, mencuri saja, Darjo. Kenapa harus membunuh orang segala?”
“Siapa yang membunuh, Pak Polisi?” tanyaku balik sambil memijat belakang kepalaku yang terasa cenut-cenut. “Siapa pula Darjo?”
Mereka tidak menggubrisku, malah memborgol kedua tanganku ke belakang, menggelandangku ke dalam mobil mereka yang terparkir di depan rumahku sambil sesekali menendang bokongku.
Di kantor polisi aku diinterogasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkanku, menuduh bahwa aku telah membunuh Pak Tua William, padahal akulah Pak Tua William.
Penulis : Zusfani