Pancasila sebagai Manifestasi Moderasi Beragama

Semua dunia tahu, bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Dengan begitu, banyak perbedaan, baik dari suku, agama, ras, dan antargolongan.

Perbedaan inilah yang membuat sikap menghargai terhadap yang lain harus dikedepankan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak boleh ada yang mengklaim bahwa dialah atau kelompoknya yang paling berhak atas tanah Indonesia.

Orang asing sekali pun, selama ia dapat menghargai perbedaan, itu sah-sah saja menetap di Indonesia. Apalagi orang yang lahir dan besar di Indonesia, sekali lagi, “Tidak ada yang berhak menolak mereka atas nama kepentingan golongan apapun”.

Karena perbedaan itulah, kita dituntut sebagai warga negara untuk selalu senantiasa menjaga persatuan nasional, menghilangkan sikap egoisme pribadi maupun kelompok, menghargai keyakinan orang lain dan lain sebagainya.

Maka dari itulah, pendiri bangsa telah merumuskan suatu pedoman untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, yang kita kenal dengan Pancasila. Pancasila ini kemudian mengandung lima dasar sebagai pondasi untuk menjadikan diri kita sebagai pribadi toleran, pribadi berkarakter moderasi dan pribadi perangkul semua perbedaan.

Dari sila pertama sampai terakhir, apabila kita amalkan sebagai suatu kewajiban, yakin dan percaya, seluruh alam semesta bahkan benda mati sekalipun akan iri melihat indahnya kebersamaan dalam perbedaan.

Ketuhanan yang maha esa, berarti kita bebas beragama tanpa ada yang melarang, berhak beribadah di mana saja tanpa diganggu. Menjalani kehidupan beragama tanpa mengusik agama yang lain.

Kemanusiaan yang adil dan beradab, ini merupakan suatu kalimat yang luar biasa jika kita dapat memaknainya. Manusiakan manusia, membantu yang meminta bantuan, menolong yang meminta pertolongan, dan lain-lain tanpa memandang dari mana mereka.

Persatuan Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, berbagai pulau kita dipisahkan, tapi kita dapat dipersatukan oleh semangat persatuan dan merajut kebersamaan di mana pun kita berada.

- Iklan -

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, adalah dimana hak-hak kita sebagai warga negara yang dapat memilih maupun dipilih sebagai pejabat daerah, pejabat pemerintahan, dan wakil rakyat di parlemen. Ini diatur oleh undang-undang bagi siapa pun itu. Musyawarah adalah solusi dari segala permasalah yang ada, baik masalah yang bersifat regional maupun bersifat nasional.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sila yang terakhir inilah yang melengkapi semua sila yang sebelumnya, di mana semua warga negara, berhak atas perlindungan, keamanan, berkerja, beribadah, belajar, berkumpul, menyatakan pendapat, yang semuanya diatur dalam konstitusi negara. Begitu pun dengan hak dan kewajiban, yang menjadikan keadilan itu menjadi seimbang tanpa tumpang tindih aturan.

Baca Juga:  Revisi UU ITE 2024: Perbaikan atau Sekadar Tambal Sulam?

Dari kelima sila itulah, kita sadar sebagai warga negara untuk dapat mengamalkannya, karena Pancasila sudah merupakan suatu konsep yang sempurna dalam merangkul semua perbedaan yang ada.

Namun akhir-akhir ini kita melihat, baik di berita maupun melihat secara langsung, banyak kejadian di mana permusuhan dan kebencian menjadi hal mengerikan yang selalu terjadi. Pengrusakan rumah ibadah, menggangu orang beribadah, menolak pembangunan rumah ibadah menjadi tugas berat kepolisian untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Begitu pun terkait terorisme, bom bunuh diri, diskriminasi agama, penusukan bahkan pembunuhan atas nama agama, juga menjadi trending topik di mana-mana.

Hal yang sering terjadi dan hampir setiap hari terjadi di sosial media, ujaran kebencian tak terhindarkan, mengalir derasnya berita bohong atau palsu di mana-mana, kebencian terhadap keyakinan yang lain, menyerang secara verbal, dan sebagainya. Hal inilah yang menjadi tontonan kita sehari-hari, apalagi anak-anak dapat melihat bahkan ikut-ikutan teribat dalam perbuatan yang sangat mengkhawatirkan itu.

Dengan mudahnya akses internet, dan dalam hitungan detik, sudah tersebar luas  menjadikan diri kita sebgai pribadi amoral, menghilangkan karakter diri sebagai manusia. Kecintaan terhadap persatuan runtuh seketika karena kebencian-kebencian yang kita pupuk sehari-hari.

Kebencian-kebencian ini tidak terlepas dari kepentingan kelompok maupun politik untuk menjatuhkan yang lain. Menyerang atas nama agama selalu dijadikan sebagai tujuan ujaran kebencian tersebut.

Seperti kasus Ahok dalam mempelintir Surah Al-Maidah ayat 51, yang sebenarnya Ahok tidak bermaksud untuk itu. Dia cuma mempertanyakan haknya sebagai non-muslim yang dilarang untuk dipilih dengan adanya surah tersebut.

Tapi yang terjadi kemudian, mereka berbondong-bondong dan berkumpul, kemudian untuk menuntut Ahok diadili. Ini sebenarnya tidak salah, menuntut dan mengadili adalah suatu yang sah dalam negara hukum.

Tapi seringkali juga kita tidak sadar atas perlakuan kita terhadap keyakinan yang lain, mengatakan mereka salah dan sesat, melarang pembangunan rumah ibadah mereka, diskrimanasi terhadap warga Tionghoa dan lain sebagainya.

Begitu pun juga ujaran kebencian dengan maksud tujuan politis, atau ada kepentingan politik di dalamnya. Ketika sudah ada kebencian dalam diri, yang salah dibenarkan, dan yang benar disalahkan. Dan itu terjadi dengan memilih-milih orang, yang sejalan kita puji, begitu pun sebaliknya.

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Seperti kejadian di mana Rocky Gerung mengatakan kitab suci itu fiksi. Fiksi bermakna tidak nyata atau abstrak. Tapi yang terjadi kemudian, tidak ada yang peduli hal itu dan mencari pembenaran pada hal tersebut. Padahal ketika dipelajari, pernyataan Rocky lebih parah dari Ahok tadi.

Ini terjadi karena, sekelompok orang mempunyai kepentingan tertentu, tanpa peduli orang lain, yang penting kepentingannya tercapai.

Saya sama sekali tidak pro maupun anti kepada kasus yang ada tersebut, tapi yang saya sesalkan adalah hal ketika ketidakadilan dalam menilai yang satu dan yang lain. Kita cenderung memilih siapa yang harus dijatuhkan dan siapa yang harus diangkat, walaupun mereka sama-sama salah.

Beragama tidak sebercanda itu. Kita harus tegas pada siapa pun. Salah ya salah, benar ya benar. Jangan ketika dia salah lalu berada di pihak kita, kemudian kita benarkan. Begitu pun sebaliknya.

Tabrakan kepentingan inilah yang menjadikan hari ini Indonesia darurat persatuan. Ada kubu A dan kubu B, ada cebong vs kampret, yang sekarang kadrun vs buzzerRp. Mereka semua, apapun alasannya, pasti mencari kesalahan dari pihak lawan. Tanpa memandang itu benar atau salah. Kita tak lagi objektif dalam melihat sesuatu.

Maka dari itu, pemerintah sebagai penanggung jawab atas ketertiban, bisa mengeluarkan kebijakan yang solutif. Salah satu yang perlu dilakukan adalah mensosialisasikan moderasi beragama di tengah masyarakat dan menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk mempraktikkan moderasi beragama itu.

Menghargai bukan berarti kita meyakini agama yang lain. Tapi membiarkan mereka beribadah dan beragama tanpa diganggu. Ini adalah salah satu konsep moderasi beragama.

Kita jalan, mereka jalan. Yang penting tidak menggangu yang lain. Sekarang bukan lagi zamannya untuk perang menggunakan panah dan senjata lain. Tapi kita sekarang berperang melawan keegoisan diri kita yang tidak senang dengan kesenangan orang lain dan sebagainya.

Maka dari itu, apapun alasannya, kita semua saudara, berbeda-beda tapi tetap satu. Bersama membangun bangsa, tanpa mencari musuh. Ketika orang lain senang, kita juga harus senang, begitu pun sebaliknya. (*)

 

BIODATA PENULIS:

Nama Penulis: Rahmatullah Syabir

Mahasiswa Jurusan Manajemen Dakwah

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU