Panggung Arwah

Lengang.

“Hm, memang Aula ini selalu sepi, kok,” gumamku. Aku melangkah lagi. ” Tapi…… ”

Aku membalikkan badan dengan cepat. Tidak ada siapa-siapa. “Kenapa aku jadi merinding gini, sih?” Kuraba tengkukku.

Kulit lenganku menampilkan bintik-bintik yang tampak nyata di permukaan kulit berwarna coklat sawo matang ini.

“Aneh.” kuusap-usap bahu agar hangat. Kemudian, kulihat kardus lainnya yang tertumpuk. Aku berjinjit mengambil sebuah pigura di bagian atas.

“Yah, yah, jatuh, deh!” Sebuah pigura yang terbungkus dari karton tebal terjatuh. Aku merunduk dan menggapai pigura yang jatuh ke lantai.

“Kaki siapa itu?” gumamku saat melihat sepasang kaki berdiri tidak jauh dariku.

Aku berdiri perlahan lalu menoleh ke arah sepasang kaki tadi dengan cepat. “Tidak ada siapa-siapa!” Aku bergegas meletakkan kembali pigura di tempatnya. Berjalan cepat menuju kardus penyimpanan make-up. Berharap selendang itu secepatnya kutemukan.

“Hm, masa enggak ada, sih? Padahal waktu itu aku ingat jelas, kusimpan selendangnya di dalam kardus,” ucapku sambil terus meneliti satu per satu kardus yang ada.

- Iklan -

“Nah, dapat!” Aku tersenyum lega. Lalu kumasukkan dengan terburu-buru ke dalam tas selendangku dan bergegas keluar Aula.

Praaaaang!

Baru berjalan beberapa langkah, aku mendengar lagi benda jatuh tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku langsung membalikkan badan untuk melihat ke arah sumber suara.

“Tidak apa-apa.” Aku meneruskan langkah. “Aneh, tidak ada yang tampak jatuh dan pecah, tapi suaranya terdengar seperti benda hancur,” gumamku lagi.

Aku berbelok ke arah kanan menyusuri ruang lorong kecil belakang menuju pintu keluar. Di kiri dan kanan penuh dengan kardus bertumpukkan bekas properti pementasan. Tiba- tiba langkahku terhenti.

“Siapa di sana?” tanyaku.

Tidak ada suara. Namun kudapati seseorang sedang berdiri di dekat pintu keluar. “Maaf, bu,” ucapku kepada seorang tua renta berbaju kebaya putih ala-ala zaman dahulu berselendang merah yang sedang berdiri di ruang kiri lorong aula.

“Ibu pegawai kampus baru ya Bu?” tanyaku keheranan, karena wajahnya terasa asing di benakku dan memakai selendang merah yang kucari.

“Ibu di sini sudah lama nak.” jawabnya dengan wajah yang lemas sedikit pucat. “Maaf, Bu. Ibu lagi sakit ya? Kalau lagi sakit, enggak usah dipaksa buat kerja Bu. Mending sekarang ibu pulang aja. Besok ibu bisa kerja lagi.” tawarku tak dijawab.

“Kalo mau, nanti saya antarkan ke rumah ibu.” tawarku lagi dengan penuh rasa kasihan. “Tidak usah, nak. Rumah ibu dekat dari sini.” ucapnya penuh rasa lemas, lalu bergegas meninggalkanku seorang diri.

“Tapi Bu, Bu….” Panggilanku tak digubris olehnya, padahal ingin sekali kutanya berasal dari mana selendang merahnya yang dipakai itu.

“Hm, yasudahlah, pulang saja.” Kulangkahkan kaki menuju pintu keluar. Sesampainya diluar, kulihat Pak Jimin sedang memperbaiki motornya yang mogok.

“Eh pak, bentar Pak.” bisikku padanya sambil memberikan kunci aula.

“Apa kang?” tanyanya sembari mengelap tangannya yang kotor penuh oli yang kemudian mengantongi kembali kunci aula.

“Pak, itu, si Ibu kasian pak suruh pulang aja.” Rayuku sembari menunjuk ke arah aula. “Ibu siapa kang? Ibu negara? Haha . . .”

“Yeeee, serius pak. Malah becanda. Kasian pak udah tua, mending suruh pulang aja, rumahnya deket enggak pak? Kalau deket biar saya aja yang nganter pak, enggak apa- apa kok”.

“Ah, si akang suka becanda aja, si Ibu yang mana atuh kang? Ada-ada saja” ucapnya sambil menggelengkan kepala.

“Aduh si bapak, itu pak. Tadi saya ketemu sama si ibu di dalam.” jawabku. “Hah? Si ibu?” Pak Jimin mengerutkan dahi penuh keheranan.

“Hm, iya si Ibu yang kerja di sini kan?”

“Heh kang, nih bapak kasih tau ya, di sini itu yang kerja semua laki-laki, gak ada perempuan.” ucapnya menegaskan.

Tak banyak kata, aku bergegas meninggalkan kampus dan meninggalkan pak Jimin yang sedang asyik dengan motornya yang bermasalah. Hal janggal yang dirasakan di dalam aula masih mengikutiku sampai ke rumah.

Berkali-kali aku menoleh ke belakang saat merasa ada yang mengikutiku. Entahlah, hanya perasaanku saja atau memang ada yang menguntit. Kadang aku merasa ada yang memperhatikanku dari jarak yang dekat. Semua berawal sejak kejadian mengerikan di panggung aula saat pementasan “Drama Angkatan 17” beberapa hari lalu.

***

“Bagi yang terpilih dan mendapat peran utama di pementasan Drama Angkatan 17, merupakan pengakuan buat kalian sebagai pemain teater yang sesungguhnya,” seruanku bersemangat.

“Wow!” Ekspresi kagum berdengung.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU