Pelajaran dari Ukraina

Ukraina hari ini begitu panas membara. Negaranya remuk redam di hajar rudal, bom dan misiu yang dimuntahkan oleh artileri, kaveleri, helikopter dan pesawat Rusia. Bahkan pasukan infanteri sudah masuk ke jantung ibukota Ukraina, Kiev.

Kantong-kantong militer strategis Ukraina diporak-porandakan oleh Rusia. Tak luput juga rumah sipil. Sebagian ikut “tersentuh” ledakan mortir. Porak-poranda dan rusak berat.

Dari krisis Ukraina kita bisa belajar banyak hal, pertama: fakta negara super power dunia itu masih ada. AS dan Rusia. Menyusul China. Mereka bertiga inilah yang saat ini menguasai percaturan dunia. Baik politik, ekonomi dan bidang lainnya, semua berputar di ketiga negara tersebut.

Artinya, kita bisa memetakan, sejatinya sebuah negara itu “membebek” ke siapa selama ini? Ke AS, Rusia ataukah China? Sikap dan hubungan politik sebuah negara selama ini “lebih mirip” ke negara mana, disitulah sejatinya kita bisa membaca siapa sejatinya “tuannya.” Tuan itu bisa satu atau bahkah semuanya dijadikan tuan.

Dalam kasus Ukraina, sikap AS dan Eropa jelas akhir-akhir ini. Awalnya mendukung full Ukraina, ternyata “balik badan.” Namun kini mereka ramai-ramai mengecam dan akan memberikan “sanksi ekonomi” kepada Rusia sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tindakannya. Sikap inipun diikuti negara-negara pengikutnya; jepang, Australia, dan lain-lain.

Sikap China lain lagi, melalui utusan tetap PBB, mengatakan harus ada solusi “masuk akal” untuk krisis Ukraina. China tidak secara tegas mengutuk aneksasi Rusia, juga tidak tegas melakukan pemboikotan sebagaimana yang dilakukan AS dan sekutunya, juga tidak tegas mendukung Rusia.

Dari 2 sikap negara besar di atas, kita bisa membaca arah sikap politik Pemerintah RI yang disampaikan oleh Presiden. Lebih cenderung ke arah mana bisa kita telusuri.

Kedua: perlunya kemandirian dalam sikap politik dan membangun negara kuat. Apa yang terjadi pada Ukraina cukuplah tragis. Dia menggantungkan nasib negaranya pada AS dan Uni Eropa. Dia berkeyaninan akan di bantu oleh “sekutunya” ketika akan menghadapi Rusia.

Tapi apa yang terjadi, Ukraina dibiarkan begitu saja bertarung dengan Rusia. Presiden Ukraina bahkan berpidato dengan nada memelas mengungkapkan kekecewaannya kepada AS dan Uni Eropa. Dia merasa ditinggalkan disaat membutuhkan.

Ini jadi pelajaran penting. Jangan pernah menjadi “negara kacung.” Sebuah negara akan menjadi “kacung” selamanya kepada tuannya jika semua aspek “tergantung” pada negara lain.

- Iklan -

Ciri sebuah negara bergantung pada negara besar adalah dengan melihat praktik politiknya. Selama para calon pemimpin masih harus dapat “restu” dari negara-negara besar untuk maju mencalonkan diri dalam pilpres maka yakinlah, negara tersebut tetap jadi kacung.

Baca Juga:  Transformasi Pendidikan Indonesia Pasca-Kurikulum Merdeka

Selama negara tersebut mengikuti sistem politik negara-negara besar maka sejatinya telah memposisikan sebagai negara “bahwan” barat. Sebab barat akan mampu “mengontrol” sebuah negara ketika mereka ikut “software” mereka.

Hal lain untuk mengecek apakah sebuah negara itu “kacung” negara lain adalah dengan melihat praktik ekonominya. Selama faktor-faktor ekonomi strategis, seperti penguasaan sumber daya alam, tambang, migas, dll masih dikuasai oleh para oligark yang terkoneksi dengan oligark global yang berasal dari negara-negara super power tadi maka yakinlah negara tersebut akan tetap menjadi “kacung”.”

Sebab para oligark akan “mengamankan” kepentingan bisnisnya di negara tersebut hatta harus “mengkondisikan” pemimpin di negara tersebut. Semua harus tunduk pada kepentingan para oligark. Dan saat ini sepertinya fenomena itu semakin terang terkuak.

Dari Ukraina kita bisa belajar betapa pentingnya mandiri, kuat dan tidak membebek kepada negara-negara besar. Jika sudah tidak berguna maka mereka akan “tega” membiarkan untuk “disembelih” oleh yang lain.

Ketiga: perang fisik itu ada dan nyata. Jika selama ini ada anggapan bahwa tidak akan terjadi pernah fisik karena dunia sudah berubah, maka dengan adanya krisis Ukraina mengkonfirmasi bahwa anggapan itu salah total.

Negara-negara besar akan menggunakan kekuatan militernya untuk menyerang negara lain jika “legasi” atas tindakan yang dilakukan di anggap sudah “benar dan kuat” oleh dia. Itu yang terjadi dan dilakukan oleh Rusia. Demi untuk menjaga keamanan dan kepentingan Rusia. Jika perlu “memaksa” negara lain ikut kepentingannya.

Apa yang dilakukan oleh Rusia sejatinya 11-12 dengan AS dan sekutunya. Mereka dengan “dalih” perang melawan terorisme, AS dan sekutunya menganeksasi Afghanistan, menyerang Irak, dll. Semua hancur lebur.

Jadi perang fisik itu ada dan nyata. Bukan ilusi atau tidak mungkin terjadi. Sebuah negara yang baik adalah yang menyiapkan sebaik-baiknya ketika memang terpaksa perang fisik terbuka.

Keempat: pelajaran penting lainnya adalah sebuah negara wajib mempersiapkan dan mempunyai kekuatan militer yabg terbaik. Baik secara personel militer maupun peralatan perangnya.

Baca Juga:  Hari Pahlawan, Merdeka atau Mati, Prabowo "The Last Emperor"

Lihatlah Rusia, dengan kekuatan militer yang di punya, baik jumlah personil dan dukungan senjata yang mutakhir mampu membuat Ukraina “bergidik” dan “ciut nyali” nya.

Kita tidak bisa lagi hanya mengagung-agungkan jagonya personil militer semata tanpa dukungan peralatan militer terbaru dan canggih maka apalah di kata. Jika peralatan perang sudah tua, bahkan jatuh atau tenggelam sendiri tanpa perang, maka klaim mempunyai kekuatan militer bagus dan siap perang adalah sebuah “mimpi” saja.

Terlalu “offer” percaya diri. Personil militer yang mantap dan dukungan peralatan yang mumpuni tentu menjadi hal mutlak jika ingin kekuatan militernya bagus.

Kelima: musuh nyata ancaman militer dari luar itu nyata, yakni AS, Rusia dan China. Jangan salah mendudukkan mereka. Yang harusnya musuh menjadi kawan. Bahkan membebek. Tentu ini akan menjadikan sebuah negara “di pandang sebelah mata” oleh mereka. Hubungan diplomatik yang ada “sejatinya” adalah hubungan tuan dan bawahan.

Walau di poles dan dinampakkan seolah-oleh setara dan saling menguntungkan. Padahal sejatinya tidaklah begitu. Asimetris, negara besar mendapatkan keuntungan lebih besar daripada negara pembebek. Kalaulah ada dapat keuntungan, tidaklah sebesar negara tuannya.

Jika salah mendudukkan ketiga negara besar tersebut maka jangan heran pula jika akhirnya negara bebek tersebut “membuat musuh” di dalam negeri. Malah menjadikan rakyatnya musuh sendiri. Tokoh Islam dan ajarannya dianggap kriminal dan teroris. Ini akibat salah mendudukkan siapa sejatinya musuh.

Dan salah dalam mengidentifikasi siapa kawan dan lawan. Serta salah dalam bersikap kepada negara besar tersebut. Yang harusnya lawan yang harus diwaspadai malam menjadi pengekornya.

Islam, agama, umat dan tokohnya yang seharusnya menjadi potensi dan penopang bagi kelangsungan bernegara jangan dimusuhi apalagi diperangi dan dikriminalisasi. Terlebih lagi sampai mengkriminalisasi syariat Islam tentang Khilafah dan jihad.

Jelas ini adalah sebuah kekeliruan yang sangat fatal. Ingatlah perang kemerdekaan, potensi umat Islam begitu luar biasa. Itu karena semangat jihad. Apalagi itu dikomandoi oleh seorang Khalifah. Tentu akan lebih dahsyat. Oleh karenany jangan pernah disia-siakan.

Oleh: Gus Uwik (Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU